Opini
Di Ambang Perang Dunia Ketiga: Rudal, Sekutu, dan Dunia yang Terbakar

Ledakan mengguncang Teheran. Sirene meraung di Tel Aviv. Rudal berterbangan, drone saling melintas di langit malam, dan dalam hitungan jam, dua negara musuh bebuyutan saling menghantam dengan kekuatan yang tak lagi menyisakan ruang untuk diplomasi. Ini bukan sekadar konflik regional. Dunia tengah menyaksikan bab pembuka dari sesuatu yang lebih besar—dan lebih menakutkan: potensi Perang Dunia Ketiga.
Eskalasi dimulai ketika Israel menghantam 150 target di Iran, termasuk fasilitas nuklir Natanz dan pangkalan militer strategis, seperti dilaporkan The Guardian. Netanyahu menyebut serangan ini sebagai “langkah pencegahan” terhadap ambisi nuklir Iran. Namun, laporan IAEA dan intelijen AS sejauh ini belum menunjukkan bahwa Iran secara aktif merakit bom nuklir. Di tengah absennya bukti kuat, dunia bertanya-tanya: apakah ini perang karena ancaman nyata, atau karena persepsi dan paranoia yang lama mengakar?
Iran menjawab dengan kekuatan penuh. Lebih dari 400 rudal dan drone diluncurkan ke wilayah Israel dalam Operasi Janji Sejati 3. Haifa, Tel Aviv, dan sejumlah instalasi penting menjadi sasaran. Menurut Al Mayadeen, serangan ini merupakan yang terbesar sejak Revolusi Iran 1979. Ketika proyektil melintas di langit, perbatasan negara-negara kawasan mulai bergolak. Houthi menembakkan rudal ke Tepi Barat. Hizbullah meningkatkan kesiapan tempur. Irak dan Suriah kembali menjadi jalur logistik senjata dan milisi. Konflik yang awalnya terbatas antara dua negara mulai menyeret seluruh kawasan.
Namun yang paling mengkhawatirkan bukan hanya eskalasi regional, melainkan keterlibatan kekuatan global. Amerika Serikat secara terbuka menyatakan akan membela Israel. Presiden Donald Trump, dalam wawancara dengan Fox News, mengakui bahwa pasukan AS telah membantu mencegat rudal Iran. Israel bahkan dilaporkan meminta AS untuk menyerang situs nuklir Fordow, yang hanya bisa dihancurkan dengan bom bunker-buster milik AS. Jika permintaan ini dikabulkan, maka tak ada lagi jarak antara konflik lokal dan konfrontasi global.
Iran pun tak tinggal diam. Mereka mengancam akan menyerang pangkalan AS di Qatar, Bahrain, bahkan Siprus dan Abu Dhabi. Menurut data CSIS, Iran memiliki lebih dari 3.000 rudal balistik dan 5.000 drone Shahed—kekuatan yang mampu menembus sistem pertahanan modern sekalipun. Jika salah satu serangan ini berhasil menghantam pangkalan militer AS dan menewaskan pasukan, Washington tak punya pilihan selain membalas. Dan di titik itulah, garis merah akan benar-benar terlampaui.
Tak hanya AS. Inggris mengirim jet tempur RAF ke kawasan sebagai “dukungan kontingensi.” Prancis menyatakan siap membantu Israel, menurut The Guardian. Rusia mengecam serangan Israel di Sidang DK PBB, sementara Tiongkok menyerukan de-eskalasi. Tapi kedua negara ini—yang masing-masing memiliki konflik aktif di Ukraina dan Laut China Selatan—dalam posisi siaga. Jika kepentingan mereka terganggu, keterlibatan militer tinggal menunggu waktu.
Inilah kondisi yang mengerikan dari konflik modern: tidak ada ruang untuk kesalahan. Sebuah rudal nyasar ke pangkalan militer, sebuah pernyataan diplomatik yang keliru, atau sebuah jet tempur yang ditembak jatuh bisa memicu reaksi berantai. Dunia pernah melihat ini pada 1914, ketika pembunuhan seorang pangeran menyalakan api Perang Dunia I. Kini, kita berada dalam dunia yang lebih terhubung, lebih bersenjata, dan lebih rentan terhadap kepanikan global.
Selat Hormuz, yang dilewati 20% suplai minyak dunia, sudah menjadi titik rawan. Iran mengancam akan menutup jalur itu jika diserang lebih lanjut. Jika itu terjadi, harga minyak bisa melonjak di atas $150 per barel. Inflasi global akan melonjak, dan negara-negara berkembang—termasuk Indonesia—akan mengalami tekanan ekonomi berat. Di titik ini, ekonomi dan keamanan global menyatu. Perang di Tel Aviv berarti gejolak di Jakarta, krisis di Teheran berarti lonjakan harga beras di Manila, Cairo, hingga Lagos.
Konflik juga membuka pintu krisis kemanusiaan. Ribuan orang telah mengungsi dari perbatasan Lebanon dan Suriah. Jika perang melebar, gelombang pengungsi bisa menjalar ke Eropa dan Asia. Organisasi internasional tak akan mampu menampung arus manusia yang terusir oleh bom dan rudal. Dunia akan menghadapi krisis yang lebih dalam dari yang disebabkan oleh perang Suriah atau invasi Ukraina.
Apakah Perang Dunia Ketiga sudah dimulai? Secara teknis, belum. Tapi semua elemen menuju ke sana telah ada: konflik antar-negara, keterlibatan sekutu global, eskalasi senjata, dan disrupsi rantai pasok dunia. Hanya dibutuhkan satu percikan untuk mengubah krisis ini menjadi konfrontasi global.
Indonesia, di tengah semua ini, tidak bisa berdiam diri. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, kita memiliki sensitivitas khusus terhadap isu Palestina. Tapi sebagai anggota G20 dan pendukung kuat prinsip non-blok, kita juga punya tanggung jawab untuk menyerukan de-eskalasi. Indonesia bisa dan harus menjadi suara moderasi, menawarkan ruang diplomasi di saat dunia sedang memilih jalan perang.
Kita harus sadar: dunia hari ini tak kebal terhadap bencana besar. Kita hidup di zaman di mana perang tak lagi membutuhkan jutaan tentara. Cukup satu drone bersenjata, satu serangan salah sasaran, dan satu presiden yang memutuskan menyerang balik—maka peradaban bisa tergelincir ke jurang yang belum pernah kita bayangkan.
Perang Dunia Ketiga mungkin belum terjadi. Tapi dunia sedang membangun panggungnya. Dan jika kita tidak mengubah arah, jika diplomasi terus gagal, dan jika politik internasional terus didorong oleh ego dan dendam, maka generasi kita akan tercatat dalam sejarah bukan sebagai penjaga perdamaian, tapi sebagai saksi kejatuhan peradaban.