Opini
Dari Teroris Jadi Presiden: Kisah Cuci Darah ala Amerika

Pada 7 Juli 2025, sebuah memo resmi dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bocor ke publik. Isinya, tak tanggung-tanggung: Presiden Donald Trump mencabut status “Organisasi Teroris Asing” terhadap kelompok Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal luas sebagai Jabhat al-Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah. Memo itu ditandatangani oleh Menlu Marco Rubio, dan kabarnya sudah disetujui pula oleh Jaksa Agung dan Menteri Keuangan. Satu lembar dokumen, satu dunia absurditas baru.
HTS, bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan Suriah dalam satu dekade terakhir, bukan sekadar organisasi bersenjata. Ia adalah nama lain dari horor: dari ledakan di pasar rakyat hingga eksekusi massal atas nama agama. Empat bulan sebelum penghapusan label ini, HTS disebut-sebut bertanggung jawab atas pembantaian 1.600 warga sipil Alawi di Damaskus. Bukan hanya perang, ini genosida. Tapi tampaknya, darah yang mengalir tak lagi cukup merah untuk jadi perhatian jika si pelaku mulai tunduk pada kiblat kekuasaan.
Ironi menjadi nafas sehari-hari dalam politik global, tapi ini terasa terlalu telanjang. Seolah-olah dunia sedang memainkan lakon buruk yang naskahnya ditulis di ruang rapat Pentagon. Dulu, kita diajari bahwa teroris adalah ancaman global. Bahwa dunia harus bersatu melawannya. Tapi kini, cukup satu pertemuan hangat di Riyadh, secangkir teh manis dan pujian atas “masa lalu jihadistik yang menginspirasi”, dan semua dosa bisa dilupakan.
Ahmad al-Sharaa, eks komandan Nusra yang kini menjabat sebagai Presiden Suriah versi HTS, bersalaman erat dengan Trump. Senyum terpancar, kamera berkedip. Beberapa tahun lalu, nama mereka berdampingan dalam daftar hitam internasional. Kini, berdampingan dalam pidato persahabatan. Kalau ini bukan komedi hitam, mungkin ini satire yang kelewat realistis.
Tentu, tak semua orang kaget. Mereka yang sejak awal membaca perang Suriah sebagai panggung besar bagi ambisi adidaya tahu betul bahwa nama, label, dan nilai bisa dinegosiasikan. Bahwa yang hari ini disebut “teroris”, besok bisa jadi “pejuang kemerdekaan”—asal tahu cara menunduk dan bersalaman. Seperti kata pepatah: jika kamu ingin menjadi orang baik, cukup pastikan kamu ada di pihak yang menang.
Yang membuatnya lebih getir adalah kenyataan bahwa AS—yang dalam dua dekade terakhir memimpin perang melawan teror—kini justru memutihkan salah satu afiliasi Al-Qaeda paling brutal. HTS bukan sekadar punya sejarah dengan Al-Qaeda; ia lahir dari rahimnya. Ia adalah anak kandung dari kebencian sektarian, tumbuh subur dengan dukungan senjata dari luar, dan dewasa dengan darah warga sipil.
Tapi memang, politik internasional punya selera humor yang aneh. Dulu, ketika Nusra digunakan untuk menumbangkan Assad, AS dan sekutunya menyalurkan bantuan lewat kelompok “moderat” seperti Free Syrian Army. Bantuan itu, sebagaimana banyak dokumen CIA bocorkan, nyatanya berakhir di tangan kelompok ekstremis. Tapi tak masalah, karena kala itu tujuannya suci: mengganti rezim. Dan seperti biasa, soal siapa yang berkuasa lebih penting daripada siapa yang mati.
Kini, setelah Assad tumbang dan HTS berkuasa di Damaskus, peta kekuasaan digambar ulang. Sanksi ekonomi dicabut, bahkan ladang minyak Suriah—yang sebelumnya diduduki pasukan AS—konon akan dikembalikan. Tapi kepada siapa? Kepada HTS, tentunya. Seolah negara ini tak perlu rekonstruksi moral, cukup rekonstruksi ekonomi. Selama ada uang yang mengalir, siapa peduli soal masa lalu?
Di Indonesia, kita mengenal istilah “cuci tangan”. Tapi yang dilakukan Trump ini lebih mirip “cuci darah”—menghapus noda sejarah dengan tinta kebijakan baru. Seperti berkata: ya, dulu kami lawan mereka, tapi sekarang mereka sudah jinak, sudah bisa duduk di meja makan, bahkan bisa jadi pelayan restoran demokrasi gaya Amerika.
Bayangkan jika pola ini ditiru. Bahwa siapa pun, asal bisa merebut kekuasaan dan mengangkat tangan kepada sang hegemon, bisa mengklaim legitimasi. Ini bukan cuma menghapus batas antara benar dan salah, tapi juga membuka pintu bagi semua kelompok kekerasan untuk percaya: cukup sabar, cukup brutal, dan cukup loyal—maka pengampunan adalah keniscayaan.
Dan jangan lupa, semua ini terjadi di dunia yang masih menyimpan kamp pengungsi, kota-kota hancur, dan anak-anak Suriah yang bertahun-tahun hidup dalam trauma. Mereka, yang jadi korban paling nyata dari perang, kini harus menerima bahwa pelaku bisa jadi pemimpin, dan pemimpin bisa jadi kawan. Dunia memaafkan terlalu cepat, bahkan sebelum luka kering.
Sebagian mungkin bertanya: mengapa kita di Indonesia perlu peduli? Karena ini bukan sekadar soal Suriah, atau Trump, atau HTS. Ini soal masa depan dunia yang sedang kita warisi. Ketika kekerasan dianggap sah jika ujungnya bisa dinegosiasikan, ketika hukum internasional bisa dibengkokkan lewat pertemuan di hotel mewah, maka jangan kaget jika suatu hari, kekerasan itu mengetuk pintu kita.
Mungkin di masa depan, anak-anak sekolah akan membaca buku sejarah yang mengatakan bahwa terorisme pernah menjadi alat perjuangan yang sah—asal didukung negara besar. Mungkin mereka akan membaca bahwa dunia pernah berhenti membedakan korban dan pelaku, hanya karena pertimbangan geopolitik. Dan mungkin mereka akan bertanya, dengan polos: apakah moral hanya berlaku bagi yang kalah?
Trump, dengan semua kontroversinya, sedang memberi pelajaran penting kepada dunia: bahwa di panggung besar kekuasaan, narasi bisa diubah sesuka hati, darah bisa dinegosiasikan, dan sejarah bisa dihapus asal ada cukup kekuatan untuk menulis ulang. Sebuah pelajaran yang pahit, namun sangat nyata.
Dan ketika dunia sudah menerima itu sebagai hal biasa, maka mungkin kita sudah benar-benar tersesat. Sebab jika dosa bisa diputihkan dengan kesetiaan, lalu apa gunanya perjuangan untuk keadilan? Jika pelaku genosida bisa duduk di kursi presiden hanya karena ia sekarang bersahabat dengan Washington, lalu apa arti semua air mata dan darah yang pernah tumpah?
Mungkin yang tersisa hanyalah getir. Dan kita semua tahu, getir tidak pernah cukup untuk membangun masa depan. Tapi setidaknya, getir bisa jadi pengingat: bahwa kebenaran, di dunia seperti ini, sering kali bukan soal apa yang terjadi—melainkan siapa yang berkuasa.