Connect with us

Opini

Dari Paris ke Berlin: Narasi Perang yang Menyala Lagi

Published

on

Pada awal Juli 2025, dunia kembali diingatkan betapa cepat harapan bisa runtuh dan ketegangan bisa menyusup ke jantung Eropa. Sebuah laporan resmi dari Pemerintah Prancis menyatakan bahwa mereka memperkirakan akan terjadi perang besar di Eropa sebelum tahun 2030. Kalimat itu—dingin, tegas, dan tidak mengandung harapan—bukanlah isapan jempol dalam opini media, tapi bagian dari Strategic National Review yang diterbitkan langsung oleh Sekretariat Jenderal Pertahanan dan Keamanan Nasional Prancis. Sebuah dokumen negara. Sebuah tanda zaman.

Tak kurang dari Presiden Emmanuel Macron sendiri menuliskan kata pengantar dalam laporan itu. Ia menegaskan bahwa dunia telah memasuki era baru yang dipenuhi risiko eskalasi konflik berskala tinggi. Dan nama Rusia disebut berulang kali—lebih dari 50 kali—sebagai ancaman utama terhadap stabilitas Eropa. Menyusul di belakangnya: Iran, Tiongkok, terorisme, separatisme, kejahatan siber, dan jaringan kriminal transnasional. Di tengah semua itu, terasa bahwa Prancis sedang membunyikan alarm: “Bersiaplah. Perang mungkin datang. Bahkan, kemungkinan besar akan datang.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sebagian orang mungkin akan menganggap laporan semacam itu hanyalah bagian dari strategi deterrence—upaya pencegahan melalui unjuk kekuatan. Tapi jika kita perhatikan langkah-langkah yang menyertainya, kekhawatiran itu menjadi nyata. Prancis menyerukan agar ekonomi nasional, bahkan Eropa secara keseluruhan, bergeser menuju kesiapan perang. Ini bukan sekadar membangun pertahanan. Ini transformasi ekonomi-politik yang mendalam: membelanjakan lebih banyak untuk militer, mengalihkan sumber daya, dan mempersiapkan warga menghadapi skenario terburuk.

Jerman, seperti tidak mau tertinggal, bergerak cepat. Menteri Pertahanan Boris Pistorius menyatakan bahwa pasukan Jerman siap membunuh tentara Rusia jika diperlukan. Kata-kata itu, keluar dari mulut pejabat tinggi negara yang dulu dikenal sangat berhati-hati dalam urusan militer, tentu menciptakan gaung yang mengerikan—terutama bagi Rusia, yang memiliki ingatan kolektif pahit terhadap Perang Dunia II. Kremlin menyebut Jerman kini “berbahaya lagi.” Kalimat yang menggigilkan, bukan karena bersifat simbolik, melainkan karena menegaskan bahwa masa lalu belum benar-benar pergi.

Lebih dari itu, Jerman mengajukan permintaan kepada Amerika Serikat untuk membeli sistem peluncur rudal Typhon, yang memiliki jangkauan hingga 2.000 km dan mampu menjangkau Moskow dari tanah Eropa. Rudal ini—yang dahulu dilarang oleh INF Treaty 1987 antara AS dan Uni Soviet—kini menjadi barang dagangan yang sah sejak perjanjian itu runtuh pada 2019. Kala itu, AS menarik diri dengan alasan Rusia melanggar kesepakatan, sementara Rusia menyangkal dan balik menuduh AS melakukan hal yang sama. Hasil akhirnya adalah kekosongan hukum yang mengizinkan perlombaan senjata kembali dimulai.

Jika kita mundur sejenak dan melihat dari perspektif yang lebih luas, tampak bahwa Eropa sedang menggali paritnya sendiri. Bukan hanya karena merasa terancam, tetapi juga karena narasi “ancaman Rusia” telah menjadi semacam fondasi politik baru. Uni Eropa menginisiasi ReArm Europe, proyek militerisasi senilai 800 miliar euro. Negara-negara NATO Eropa sepakat menaikkan anggaran pertahanan hingga 5% dari PDB. Angka itu—untuk Indonesia—setara dengan lebih dari Rp10.000 triliun jika kita menggunakan patokan PDB nasional saat ini. Sebuah pengeluaran yang tak mungkin dibayangkan dalam konteks damai.

Dan Rusia? Mereka menyangkal semua tuduhan agresi. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut bahwa Barat sengaja membentuk “monster” dari Rusia untuk membenarkan anggaran militer yang semakin besar. Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov mengatakan bahwa para pemimpin Barat telah melupakan sejarah dan sedang menggiring Eropa ke arah konfrontasi langsung. Kedua pihak, tentu saja, saling menyalahkan. Tapi dalam situasi seperti ini, siapa yang pertama menarik pelatuk bukan lagi hal utama—karena semua pihak kini berdiri terlalu dekat dengan api.

Pertanyaannya: di mana posisi kita, Indonesia, dalam pusaran ini?

Secara geografis, kita jauh dari Eropa. Namun secara geopolitik dan ekonomi, kita terhubung erat. Ketika dunia bersiap perang, harga komoditas melonjak. Impor energi dan pangan terguncang. Stabilitas regional ikut terdampak. Kita belajar dari Perang Rusia-Ukraina bahwa jarak geografis tidak berarti aman. Ketika gas langka di Eropa, harga LPG melonjak di Jakarta. Ketika jalur pelayaran terganggu, pengiriman komoditas dari dan ke Indonesia pun terganggu.

Selain itu, Indonesia kerap menjadi “wilayah kontestasi halus” antara kekuatan besar. Dalam beberapa tahun terakhir, kerja sama militer, siber, dan intelijen dengan Barat meningkat. Tapi di sisi lain, Indonesia juga menjaga hubungan dengan Rusia dan Tiongkok. Lalu jika perang besar benar-benar meletus di Eropa—apakah kita mampu menjaga posisi netral? Apakah netralitas masih relevan di dunia yang menuntut keberpihakan?

Lebih jauh lagi, bagaimana kita sebagai masyarakat sipil—bukan hanya sebagai negara—memandang perkembangan ini? Apakah kita sekadar menganggapnya sebagai berita luar negeri yang tidak perlu diperhatikan? Atau justru ini saatnya untuk merenung ulang tentang arsitektur keamanan global yang semakin rapuh? Di dunia yang semakin terhubung, retakan di perbatasan Ukraina bisa menjadi gempa sosial di pasar induk Kramat Jati.

Tak bisa dipungkiri, ada semacam pergeseran psikologis di antara elite dunia. Kesiapan untuk perang bukan lagi sesuatu yang tabu. Ia mulai dilihat sebagai keniscayaan. Bahkan, dalam laporan Prancis itu, perang disebut-sebut dengan nada teknokratik—seakan sedang membahas inflasi atau perubahan iklim. Tak ada sentuhan empati. Tak ada gambaran tentang penderitaan manusia. Seolah perang hanya tentang anggaran, strategi, dan teknologi.

Kita pernah hidup di masa ketika “tak ada lagi perang di Eropa” adalah janji besar pasca-1945. Tapi kini, janji itu tampaknya mulai dilupakan. Generasi baru pemimpin dunia tumbuh tanpa ingatan langsung tentang Perang Dunia. Mereka mengenal perang dari buku sejarah, bukan dari reruntuhan. Mungkin karena itu, mereka menganggapnya sebagai opsi, bukan tragedi.

Di Indonesia sendiri, kita seharusnya belajar dari sejarah kita sendiri. Bangsa ini lahir dari konflik, dari darah, dari penjajahan. Tapi kita juga membangun peradaban dari damai. Dari kesepakatan. Dari gotong royong. Kita tahu bahwa perang selalu menyisakan luka panjang. Maka semestinya, dalam kebijakan luar negeri kita, kita tidak hanya sekadar mengejar keuntungan ekonomi atau posisi diplomatik, tapi juga harus menjadi suara yang mengingatkan dunia: bahwa perang bukan hal normal.

Laporan Prancis dan reaksi Jerman menunjukkan bahwa narasi konflik kini bukan hanya kemungkinan, tapi sedang disiapkan sebagai kenyataan. Retorika resmi dan kebijakan senjata berjalan beriringan. Dan jika dunia tidak segera menyadari bahayanya, maka mungkin yang kita saksikan hari ini adalah bab awal dari tragedi besar yang disiapkan oleh tangan-tangan manusia sendiri. Sebelum tahun 2030 tiba, kita patut bertanya: apakah kita benar-benar bersiap menghadapi masa depan? Atau kita sedang mengantar dunia pada kehancuran yang bisa dicegah, tapi tidak dihindari?

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer