Opini
Dari Irak ke Iran: Ketika Netanyahu Memutar Ulang Sejarah

Kegelisahan dunia kini terasa seperti dengungan yang tak kunjung reda, seolah sejarah berbisik: “Jangan ulangi kesalahan itu.” “Amerika Serikat telah membuka kotak Pandora, dan tak seorang pun tahu apa konsekuensinya,” ujar Duta Besar Rusia Vassily Nebenzia dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB, sebagaimana dilaporkan RT pada 23 Juni 2025. Kecaman itu menohok: serangan udara AS terhadap fasilitas nuklir Iran dinilai sebagai tindakan “sembrono, provokatif, dan berbahaya.” Kata-kata Nebenzia seolah menggema dari masa lalu, membangkitkan trauma lama: invasi Irak 2003, ketika tuduhan senjata pemusnah massal (WMD) yang ternyata kosong menciptakan penderitaan tak terperi.
Di balik dua episode sejarah ini, ada satu tokoh yang bayangannya tak bisa diabaikan: Benjamin Netanyahu. Ia bukan sekadar pengamat, melainkan aktor utama dalam pembentukan narasi—dari Irak 2003 hingga Iran 2025. Di Indonesia, negeri yang menjunjung diplomasi damai sejak Konferensi Asia-Afrika 1955, kita memandang dengan cemas: akankah dunia kembali terjerumus dalam jurang yang sama, dan mengapa Netanyahu berperan begitu sentral dalam siklus ini?
Pada 12 September 2002, Netanyahu, saat itu bukan perdana menteri, hadir di hadapan Komite Reformasi Pemerintahan DPR AS. Dengan nada penuh keyakinan, ia menyatakan, “Tidak ada keraguan sama sekali bahwa Saddam Hussein sedang berusaha dan maju menuju pengembangan senjata pemusnah massal.” Pernyataan itu, yang mencakup senjata kimia, biologi, dan potensi program nuklir, memberi bobot moral pada rencana invasi AS ke Irak. Ia bahkan memprediksi bahwa menggulingkan Saddam akan memicu “dampak positif luar biasa” di Timur Tengah, termasuk perubahan rezim di Iran.
Namun, realitas berbicara lain. Tidak ditemukan WMD signifikan di Irak. Perang yang berlangsung lebih dari satu dekade menewaskan lebih dari 200.000 warga sipil menurut PBB dan melahirkan gelombang kekacauan yang melampaui batas-batas Irak. Netanyahu salah besar—namun pengaruhnya di Washington tak goyah.
Kini, dua dekade kemudian, skenario serupa berulang. Netanyahu, kembali menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, memimpin Operasi Rising Lion—serangan terkoordinasi terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran pada 13 Juni 2025. Serangan itu menewaskan lebih dari 20 komandan senior Iran, termasuk Ali Shamkhani, seperti dilaporkan Times of Israel dan Middle East Eye. Netanyahu menyebut langkah ini sebagai upaya “pencegahan” terhadap ambisi nuklir Iran.
Namun, laporan IAEA menunjukkan bahwa Iran tidak memiliki program senjata nuklir aktif. Bahkan intelijen AS menyatakan bahwa Pemimpin Tertinggi Iran belum menyetujui pengembangan senjata tersebut. Tuduhan Netanyahu—seperti di Irak dulu—tampaknya lebih dibentuk oleh agenda geopolitik ketimbang bukti yang valid.
Peran Netanyahu dalam dua peristiwa ini bukan kebetulan. Ia adalah penggerak utama dari narasi yang sama: ancaman nuklir, perubahan rezim, dan pembenaran intervensi militer. Menurut The Globalist, dukungannya terhadap invasi Irak justru memperkuat posisi Iran di kawasan. Kini, ketika ia menyebut Iran sebagai “rezim jahat” yang ingin “menghancurkan kemajuan manusia,” sebagaimana disampaikannya di Institut Weizmann yang diserang rudal Iran, kontradiksi dalam ucapannya kian mencolok.
Terlebih, pada 2025, Netanyahu mengakui bahwa Israel tak pernah memiliki bukti kuat soal program nuklir Saddam Hussein pada 2003—meski dahulu ia menyatakan sebaliknya. Jika narasinya tentang Irak terbukti keliru, mengapa dunia masih mendengarkan narasinya soal Iran?
Dari Jakarta, kita merasakan kegelisahan itu. Indonesia, yang pernah mengalami konflik bersenjata di Aceh dan tahu betapa mahalnya perdamaian, tidak bisa berpura-pura netral. Irak 2003 memberi pelajaran pahit: perang yang dipicu oleh tuduhan tak terbukti telah melahirkan terorisme, pengungsian, dan instabilitas global. Kini, dengan serangan Israel ke Iran yang didukung AS, kita melihat potensi bencana serupa. Iran membalas dengan rudal ke Tel Aviv dan Yerusalem, menewaskan 10 orang. Israel membalas dengan lebih dahsyat: 80 korban jiwa di Iran. Ketimpangan ini, sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, memperkuat kesan bahwa keadilan internasional telah menjadi alat selektif.
Netanyahu adalah benang merah yang menghubungkan dua tragedi besar ini. Kesaksiannya pada 2002—yang kini menjadi bahan olok-olok media AS—dan kebijakan agresifnya pada 2025 menunjukkan pola konsisten: memanfaatkan retorika ancaman untuk mendorong respons militer. Menurut The New Yorker, serangan ke Iran telah dipersiapkan Israel sejak lama, dan Netanyahu adalah penggerak utamanya. Ia bahkan tidak menutup kemungkinan menyerang langsung Pemimpin Tertinggi Iran, langkah yang oleh The Guardian disebut sebagai “ilegal dan berbahaya.” Tapi seperti Irak, rencana ini justru bisa memperkuat tekad Iran, seperti yang terjadi pada Korea Utara.
Tak bisa dipungkiri, pengaruh Netanyahu di Washington adalah kunci. Seperti ditulis dalam The Israel Lobby and US Foreign Policy oleh Mearsheimer dan Walt, lobi Israel berperan besar dalam membentuk kebijakan luar negeri AS. Netanyahu berulang kali menjadi wajah dari tekanan itu. Middle East Eye bahkan menyebut bahwa serangan Israel dirancang untuk menyeret AS lebih jauh ke dalam konflik. Dari Jakarta, negeri yang menolak campur tangan dan menjunjung kedaulatan, kita merasa terhimpit. Bagaimana bisa sistem dunia yang menjunjung hukum membiarkan satu orang membentuk narasi perang?
Ini bukan semata soal geopolitik, melainkan soal kemanusiaan. Jika perang ini membesar, dunia akan kembali menanggung beban: krisis energi, arus pengungsi, dan instabilitas global. Kita tahu riaknya akan sampai ke Asia Tenggara—seperti dulu, saat krisis di Suriah dan Irak menimbulkan konsekuensi regional. Veto AS di PBB, pengabaian terhadap IAEA, dan standar ganda terhadap Israel menggambarkan dunia yang kehilangan keberanian moral.
Indonesia memiliki peluang untuk bersuara. Kita bisa mendorong sidang darurat di PBB, menuntut verifikasi fakta oleh IAEA, dan menyerukan agar semua negara—termasuk Israel—tunduk pada NPT. Kita bisa bergerak bersama negara-negara non-blok, mendorong dialog ketimbang konfrontasi.
Sebab bila dunia tak belajar dari Irak, maka Iran bisa menjadi pengulangan yang lebih parah. Dan jika Netanyahu kembali berhasil membentuk arah sejarah berdasarkan ketakutan dan kepalsuan, maka sejarah akan mencatat: kita telah membiarkannya.
Sumber: