Connect with us

Opini

Dari Gaza ke Damaskus: Ketika Perlawanan Dijual Lewat Diplomasi

Published

on

“Hubungan antara Israel dan Suriah adalah topik yang paling sedikit dibicarakan di ruang publik, meskipun menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam pertemuan tertutup antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih,” demikian dilaporkan Yedioth Ahronoth.

Kalimat pembuka itu mengandung semua yang menggugah sekaligus menyakitkan. Diplomasi dilakukan tanpa suara rakyat. Proyek besar perubahan kawasan dibicarakan tanpa partisipasi orang-orang yang terdampak langsung. Bahkan isu yang dulunya menjadi garis merah dunia Arab—hubungan dengan zionis—kini didiskusikan tanpa gembar-gembor, tanpa malu, tanpa takut. Hanya ruang-ruang tertutup, sepi dari jeritan Gaza, sepi dari suara pengungsi Suriah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan Yedioth Ahronoth menyebutkan dengan terang: bahwa upaya normalisasi antara Suriah dan zionis bukan sekadar spekulasi, tapi isu nyata yang kini mengisi agenda diplomatik paling rahasia antara Washington dan Tel Aviv. Perbincangan yang dulu terdengar mustahil kini menjadi bagian dari strategi “stabilitas kawasan”. Bahkan disebut-sebut sebagai “undercurrent paling dramatis” dalam diplomasi regional mutakhir. Mungkin karena terlalu dramatis, maka ia tak dibuka ke publik.

Jika laporan itu benar—dan selama ini akurasi Yedioth Ahronoth atas isu-isu sensitif jarang meleset—maka dunia Arab dan Islam sedang menyaksikan apa yang dulu dianggap tabu kini dilucuti dengan kata-kata manis: rekonstruksi ekonomi, reformasi pendidikan, kerja sama pertanian, dan perdamaian. Tapi siapa yang diuntungkan dari “perdamaian” seperti ini? Apakah rakyat Suriah? Apakah keluarga para syuhada Gaza?

Kita tak bisa melupakan pidato Abu Muhammad al-Jolani—atau Ahmad al-Sharaa—yang menggema saat Gaza dibombardir pada 2014. Saat dunia terdiam melihat anak-anak tertimbun reruntuhan dan jet-jet zionis mengoyak langit Palestina, Sharaa berdiri di hadapan para pejuangnya dan mengatakan: “Ini adalah proyek umat.” Ia menyebut bahwa antara mereka dan zionis hanya tinggal pagar kawat dan sisa-sisa rezim Nushairi. Ia bahkan berkata bahwa tugas mereka adalah menyingkirkan penghalang itu, dan meneruskan jalan menuju pembebasan al-Quds.

Namun kini, satu dekade berselang, jalan yang sama sedang dialihfungsikan. Bukan lagi untuk perlawanan, tapi untuk diplomasi. Bukan lagi untuk jihad, tapi untuk investasi. Ironi ini bukan sekadar perubahan taktis. Ini adalah pembalikan total arah sejarah. Bila benar rezim Suriah menjajaki normalisasi, maka secara implisit mereka juga membuka pintu bagi pengakuan terhadap zionis—dan itu berarti menginjak semua darah yang tumpah di Gaza, semua pelarian yang tak kembali di Yarmouk, semua syuhada yang mereka puja dalam pidato-pidato panjang.

Pertanyaannya kini: apakah Al-Sharaa mengkhianati pidatonya sendiri? Ataukah sejak awal, Gaza hanyalah panggung untuk legitimasi perjuangan? Ini pertanyaan yang tak mudah dijawab. Tapi rakyat Suriah, rakyat Palestina, dan bahkan kita di Indonesia punya hak untuk bertanya. Sebab Palestina selama ini tak pernah hanya menjadi isu Arab. Ia adalah simbol. Di Indonesia, nama Gaza tak asing. Bendera Palestina dikibarkan dalam aksi-aksi damai dari Sabang sampai Merauke. Rakyat kita mengumpulkan donasi, membacakan doa, dan memasukkan isu Palestina ke dalam kesadaran sosial keumatan.

Kini, jika pemimpin yang dulu bersumpah atas nama Gaza mulai diam ketika zionis dan Damaskus membuka lembar baru diplomasi, maka rasa kecewa bukan milik Suriah semata. Ia juga menyentuh hati-hati yang dulu percaya bahwa perlawanan itu suci. Bahwa bukan hanya senjata yang penting, tapi prinsip. Dan prinsip itu adalah penolakan terhadap penjajahan.

Laporan Yedioth Ahronoth juga menyebut bahwa pengembalian jenazah mata-mata zionis Eli Cohen menjadi salah satu “gesture” simbolik untuk membangun kepercayaan. Ini adalah bentuk paling telanjang dari diplomasi transaksional. Sebab pada akhirnya, darah dan kenangan bisa diperdagangkan, asal waktunya tepat. Apakah itu diplomasi? Ataukah bentuk baru penjajahan emosional?

Lebih jauh, laporan itu juga menyebut bahwa zionis mungkin akan menarik pasukan dari zona penyangga dengan syarat mereka tetap diperbolehkan melakukan serangan pre-emptive jika ada ancaman. Ini bukan perjanjian damai, ini hanya penataan ulang medan tempur. Tetap ada yang diizinkan membunuh lebih dulu, dan tetap ada yang dilarang membalas. Ini bukan simetri keamanan, ini hanya kamuflase untuk dominasi yang lebih canggih.

Apa yang disebut Yedioth Ahronoth sebagai peluang investasi oleh negara-negara Teluk juga perlu dibaca hati-hati. Sejak kapan rekonstruksi Suriah dilakukan tanpa syarat? Bila Riyadh, Abu Dhabi, dan Amman siap masuk setelah Suriah berdamai dengan zionis, itu artinya harga yang harus dibayar untuk membangun rumah-rumah yang hancur adalah menandatangani perdamaian dengan penjajah Palestina. Ini bukan bantuan, ini barter identitas.

Donald Trump, yang dalam laporan itu disebut masih ingin memperluas Abraham Accords, juga melihat proyek ini sebagai alat pencapaian pribadi. Ia ingin Nobel. Ia ingin masuk sejarah sebagai arsitek “perdamaian” Timur Tengah. Tapi perdamaian yang ia usulkan tak pernah menyentuh inti masalah: penjajahan, pemukiman ilegal, blokade, dan apartheid. Maka, bila ia berhasil, ia akan tercatat bukan sebagai pembawa damai, melainkan sebagai penyempurna penghapusan Palestina dari peta perjuangan regional.

Jika semua ini benar terjadi, maka Suriah akan menjadi babak terbaru dari normalisasi yang penuh luka. Mesir dan Yordania sudah lebih dulu. Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan menyusul. Kini giliran Damaskus. Semua atas nama “stabilitas”. Tapi stabilitas macam apa yang lahir dari pengkhianatan atas sejarah sendiri?

Di tengah semua ini, diamnya Al-Sharaa mencolok. Ia tak lagi lantang berseru bahwa antara kita dan zionis hanya tinggal kawat. Ia tak lagi bicara tentang pembalikan janji Balfour. Ia juga tak menyebut Gaza. Apakah ini evolusi taktis? Atau pengkhianatan strategis? Kita mungkin tak tahu pasti, tapi rakyat tahu diam juga bisa berkhianat.

Untuk kita di Indonesia, ini adalah pengingat bahwa solidaritas tak boleh dikaburkan oleh diplomasi elite. Palestina adalah cermin nurani umat. Dan jika Gaza pernah menjadi alasan seseorang mengangkat senjata, maka diamnya ia ketika Gaza dipinggirkan dari diplomasi adalah kesaksian bahwa perjuangan itu bisa diperjualbelikan.

Pada akhirnya, bukan hanya senjata yang menentukan ke mana sejarah bergerak. Tapi keberanian untuk tetap berkata tidak—bahkan ketika mayoritas dunia berkata ya.

 

Sumber:

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer