Connect with us

Opini

Dari Abraham ke Abu Dhabi: Retaknya Mimpi Normalisasi

Published

on

Adalah sebuah ironi yang terlalu telanjang untuk ditutupi diplomasi: Yair Lapid, pemimpin oposisi Israel, tiba-tiba muncul di Abu Dhabi dan disambut langsung oleh Presiden UEA, Mohamed bin Zayed. Bukan Benjamin Netanyahu—sang perdana menteri, sang arsitek retorika anti-Iran, dan sang bintang utama dalam parade militer ke wilayah asing—melainkan Lapid, rival politiknya yang diundang lebih dulu, bahkan lebih hangat. Ini bukan sekadar diplomasi; ini adalah tamparan yang dibungkus senyum dan teh mint.

Sumber laporan dari jaringan Kan 11 menggambarkan suasana yang nyaris kekanak-kanakan dari lingkaran dekat Netanyahu. Mereka marah. Merasa dilangkahi. Menuduh UEA “melakukan intervensi politik” karena menerima oposisi sebelum tuan penguasa resmi. Ini seperti melihat bocah yang tak diundang ke pesta ulang tahun temannya, lalu mengadu ke guru sambil menyeka air mata dengan saputangan kekuasaan. Diplomasi, rupanya, bisa semerepotkan taman kanak-kanak.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi lebih dari sekadar drama elit, peristiwa ini membuka tabir kegelisahan yang jauh lebih besar: Israel sedang terperosok ke dalam lubang yang digalinya sendiri. Serangan militer ke Iran pada Juni 2025 yang dimaksudkan sebagai unjuk taji malah berubah menjadi unjuk rapuh. Iran tidak hanya membalas, tapi membalas dengan penuh percaya diri. Infrastruktur militer Israel dihantam langsung. Untuk pertama kalinya sejak lama, para jenderal Zionis merasakan betapa tidak nyamannya menjadi target, bukan penyerang.

Dan para pemimpin Teluk? Mereka menggigil. Bukan karena solidaritas dengan Israel, tapi karena ketakutan akan diseret ke dalam pusaran perang yang bukan milik mereka. Gulf states yang dulu tersenyum ramah kepada Tel Aviv kini mulai melirik jam tangan mereka, berharap bisa keluar dari perjamuan sebelum musik berhenti. “Unchecked, uncontrollable power is no longer an asset for us. It is a problem,” kata seorang pejabat Teluk kepada The Telegraph. Pernyataan yang seolah terucap dari balik layar drama Shakespearean Timur Tengah.

Ketika Netanyahu bersibuk diri mencitrakan kekuatannya dengan bom dan rudal, para tetangga mulai sadar: kekuatan seperti itu, tanpa kendali dan nalar, adalah hantu yang menakutkan. Dulu mereka berpikir Tel Aviv bisa menjadi benteng dari ancaman Iran. Kini mereka melihatnya sebagai pemantik yang bisa meledakkan seluruh wilayah.

Lebih tragis lagi, Netanyahu bahkan belum pernah bertemu Presiden UEA secara langsung sejak Abraham Accords diteken pada 2020. Sebuah kesepakatan yang dulu dibingkai dengan tepuk tangan Washington, foto-foto manis di taman Gedung Putih, dan janji-janji surgawi ekonomi. Tapi entah kenapa, surga itu terasa makin jauh. Sementara lawan-lawan Netanyahu seperti Lapid dan Bennett justru telah lebih dulu disambut di istana, lengkap dengan formalitas yang dulu dijanjikan untuk perdana menteri Israel. Nyatanya, dunia Arab tampaknya mulai memilih mana Israel yang mereka ingin akrabi—dan jawabannya bukan Bibi.

Lapid sendiri bicara soal Gaza, tentang sandera, dan tentang harapan dunia Arab menekan Hamas agar menerima proposal gencatan senjata. Tapi dunia Arab yang mana? Yang di jalanan kota-kota Amman, Kairo, dan Jakarta yang berteriak menolak normalisasi? Atau para pangeran istana yang kini berpikir dua kali setiap kali ada panggilan dari Tel Aviv? Jangan-jangan, kata “Arab” dalam mulut Lapid itu lebih mirip eufemisme dari kata “orang lain yang bisa kami suruh menekan lawan kami”.

Yang lebih lucu—atau menyedihkan, tergantung selera humormu—adalah bahwa laporan itu juga menyebut tentang kabar Trump, si presiden AS yang sedang mencari panggung. Ia dengan bangga mengumumkan bahwa banyak negara siap masuk dalam gerbong Abraham Accords. Bahkan disebut bahwa Suriah, negeri yang dihancurkan perang yang didukung AS dan Israel, kini disebut sedang menjalin pembicaraan dengan Tel Aviv untuk “mengembalikan ketenangan”. Coba bayangkan Ahmad al-Sharaa atau mantan pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), mengangkat telepon hanya untuk berkata: “Halo, Bibi, mari berdamai.”

Skeptisisme bukan dosa dalam menanggapi ini. Kita berbicara tentang rezim yang membombardir Gaza dan kemudian mengeluh saat dunia mulai menghindar. Kita berbicara tentang negara yang memproklamirkan diri sebagai demokrasi satu-satunya di Timur Tengah, tapi tidak sanggup menerima bahwa rakyat Palestina punya hak untuk merdeka. Kita berbicara tentang pemimpin yang menyamakan kritik terhadap penjajahan sebagai antisemitisme, tapi tetap tersenyum saat melanggar hukum internasional.

Dan di sisi lain, negara-negara Arab kini menghadapi dilema yang menyakitkan: terus mendekat kepada kekuatan yang mulai dianggap sebagai “liabilitas strategis,” atau perlahan-lahan menyingkir sebelum api menyambar rumah mereka. Dunia tidak butuh lebih banyak percikan. Dunia butuh air. Tapi Tel Aviv justru datang membawa korek gas.

Dalam percakapan warung kopi di Jakarta atau obrolan di masjid kecil di pinggiran Aceh, nama Israel bukan lagi terdengar seperti mitra dagang yang menjanjikan. Ia terdengar seperti bahaya. Dan jika narasi ini menular ke ruang-ruang kebijakan—bukan hanya ruang opini publik—maka itu bisa jadi mimpi buruk yang selama ini tidak ingin didengar Netanyahu.

Namun entah karena keangkuhan, atau memang karena merasa tak lagi punya apa-apa selain senjata dan lobi, Netanyahu tetap berjalan seperti biasanya—berteriak, mengancam, lalu diam-diam meminta gencatan senjata. Persis seperti seseorang yang melempar batu ke rumah tetangga, lalu pura-pura bersih saat polisi datang.

Ketika para pemimpin Teluk mulai berpikir ulang, ketika jalan-jalan Arab semakin lantang, ketika Gaza terus membakar hati dunia, dan ketika Iran tidak lagi sekadar ancaman di balik gunung, maka posisi Israel berubah. Bukan lagi sebagai pilar stabilitas, tapi sebagai sumber gempa.

Dan yang paling menyakitkan bagi mereka: dunia mulai menyadarinya.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer