Opini
Damaskus dan Peringatan Tentang Masa Depan Kita

Ketika Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf, berdiri di hadapan Sidang Umum Shura Council, ia tidak sekadar berbicara atas nama parlemen. Ia menyuarakan kekecewaan, ketegasan, dan sekaligus peringatan kepada dunia Islam atas satu kenyataan pahit yang terlalu lama diabaikan: agresi zionis terhadap Suriah bukanlah sebuah insiden tunggal. Ia adalah bagian dari pola. Pola penaklukan. Pola destabilisasi. Pola penghancuran bertahap atas kemerdekaan dan integritas kawasan yang berani berkata tidak pada hegemoni Barat dan ilusi damai bernama normalisasi.
Pernyataan Ghalibaf bahwa serangan terhadap Damaskus bukanlah akhir, tetapi pertanda awal dari babak baru, menyiratkan kegelisahan yang dalam. Bahwa target berikutnya bisa siapa saja. Ibukota negara mana pun yang berani mempertahankan kedaulatannya. Pernyataan ini bukan sebatas diplomasi retoris; ia merupakan refleksi atas sejarah panjang di mana zionis bertindak melampaui batas, menabrak hukum internasional, dan lolos dari kecaman nyata komunitas global. Di balik retorika itu, ada realitas yang menyakitkan: bahwa dunia, termasuk negara-negara Muslim, terlalu sering diam.
Apa yang terjadi di Suriah bukanlah semata soal politik luar negeri Iran. Ini tentang prinsip. Tentang solidaritas. Tentang mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia yang semakin membenarkan kekuatan sebagai ukuran kebenaran. Ketika infrastruktur pertahanan Suriah dihancurkan satu per satu oleh rudal-rudal zionis, tidak ada mekanisme internasional yang mampu mencegahnya. Tidak ada Dewan Keamanan yang bisa diandalkan. Tidak ada suara dari ibu kota-ibu kota Arab yang dulu lantang berbicara atas nama Palestina. Yang tersisa adalah puing-puing, dan kebungkaman yang menyakitkan.
Di saat dunia sibuk merayakan “perdamaian Abraham”, Ghalibaf menyebut mereka yang menggantungkan harapan pada hubungan dengan Israel sebagai “naif”. Kata yang keras, tapi sulit disangkal. Karena perdamaian semu itu tak mencegah jatuhnya bom di Damaskus. Tak mencegah kematian anak-anak Palestina. Tak menghentikan penghancuran rumah, sekolah, dan rumah sakit. Apa gunanya perdamaian jika hanya melindungi satu pihak, dan membiarkan yang lain diratakan?
Pernyataan ini bergema jauh ke luar ruang sidang. Abbas Araghchi, Menteri Luar Negeri Iran, menambahkan bahwa serangan terhadap Suriah adalah sesuatu yang “terlalu mudah diprediksi”. Bukan karena ia pantas terjadi, tetapi karena dunia telah membiarkan pola ini berlangsung terlalu lama. Dalam unggahannya di platform X, Araghchi menyebut rezim zionis sebagai entitas “rabid”—liar, tanpa kendali, dan hanya memahami satu bahasa: kekuatan. Sebuah diagnosis politik sekaligus cerminan frustrasi terhadap kegagalan pendekatan multilateral dalam menghadapi agresor yang tak pernah jera.
“Which capital is next?”—pertanyaan Araghchi ini mengandung lebih dari sekadar retorika. Ia adalah gugatan. Kepada para pemimpin dunia. Kepada PBB. Kepada kita semua. Jika hari ini Damaskus, apakah besok Baghdad? Beirut? Tehran? Atau bahkan Jakarta—dalam bentuknya yang lain—dengan tekanan ekonomi, intervensi politik, atau propaganda budaya yang melemahkan kemandirian bangsa?
Sulit mengabaikan bahwa apa yang terjadi di Timur Tengah memiliki gema yang terasa hingga Asia Tenggara. Di Indonesia, misalnya, suara-suara solidaritas terhadap Palestina dan perlawanan terhadap zionisme tetap nyaring, tapi apakah itu cukup? Kita mungkin tidak menghadapi bom yang menghantam ibu kota, tapi bentuk kolonialisme dan penjajahan modern menjalar dalam berbagai bentuk: ketergantungan ekonomi, tekanan diplomatik, bahkan serbuan narasi yang mengaburkan kebenaran.
Dalam konteks ini, Iran memosisikan diri sebagai penjaga garda depan. Sebuah sikap yang mengundang pujian sekaligus cibiran. Namun, tak bisa disangkal bahwa konsistensi Iran dalam membela Suriah dan Palestina telah menciptakan garis tegas di tengah kekaburan geopolitik saat ini. Ghalibaf menyebut “Israel” sebagai musuh bagi perdamaian dan stabilitas. Ini bukan sekadar sikap ideologis, tetapi didasarkan pada jejak sejarah panjang agresi yang terus berulang—tanpa konsekuensi serius dari dunia internasional.
Serangan udara terhadap Suriah pada 17 Juli lalu hanyalah salah satu dari serangkaian tindakan sepihak zionis yang terus dibiarkan. Dengan alasan keamanan, mereka menghancurkan. Dengan dalih pertahanan, mereka menyerang lebih dulu. Dan ketika ada yang membela diri, mereka disebut teroris. Dunia seperti terjebak dalam logika ganda yang tak masuk akal: bahwa penjajah bisa menjadi korban, dan perlawanan dianggap ancaman.
Namun, tak semua diam. Di banyak tempat, rakyat tetap melawan dengan caranya masing-masing. Termasuk di Indonesia, di mana solidaritas terhadap Palestina tetap tumbuh, terutama dari kalangan muda. Tapi apakah cukup berhenti di titik itu? Ataukah kita juga harus lebih berani menyuarakan sikap terhadap normalisasi yang makin terbuka? Apakah pemerintah Indonesia berani mengecam agresi terbaru terhadap Suriah seperti mereka dulu mengecam pelanggaran terhadap Palestina?
Apa yang dipertaruhkan bukan sekadar wilayah atau batas negara, tetapi prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan internasional: kedaulatan, integritas teritorial, dan hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Ketika prinsip-prinsip ini dihancurkan satu demi satu, siapa yang akan selamat?
Di sinilah pentingnya menghubungkan laporan ini dengan dua proyek besar: “Israel Raya” dan “Marshall Plan Timur Tengah.” Keduanya tampak berbeda, tapi tujuannya sama—memenangkan dominasi zionis di kawasan. Proyek “Israel Raya” adalah proyek de jure dan de facto ekspansi, sementara “Marshall Plan” versi Arab adalah upaya menciptakan kawasan damai di bawah bayang-bayang satu entitas: Israel. Kedua gagasan ini hanya mungkin berjalan jika negara-negara seperti Suriah dilumpuhkan.
Iran, dalam konteks ini, bukan hanya pembela Suriah, tapi penghalang bagi rencana-rencana tersebut. Ia berdiri di antara proyek-proyek hegemoni dan sisa-sisa kedaulatan yang masih bertahan. Dan dengan menyuarakan peringatan terbuka seperti yang dilakukan Ghalibaf dan Araghchi, mereka mengirim pesan kepada semua pihak: bahwa waktu untuk bersikap telah tiba.
Kita bisa bertanya: sejauh mana bangsa ini, Indonesia, bersedia menjadi bagian dari dunia yang melawan? Apakah kita hanya akan menonton, atau ikut berdiri di barisan mereka yang menolak tunduk? Ketika Damaskus dibom, bukan hanya langit Suriah yang terbakar—tapi juga nurani umat manusia.
Sebab hari ini Damaskus. Besok mungkin yang lain.