Opini
Balasan Iran dan Ancaman Yaman: Titik Nyeri Perdagangan Global

Di tengah pagi yang sunyi, kabar dari Timur Tengah kembali mengguncang kesadaran. Sebuah unggahan di media sosial mengutip seorang pejabat Iran: “Bukan hanya Selat Hormuz—sekarang Laut Merah juga akan ditutup.” Kalimat itu terngiang keras di benak, menyulut bayangan tentang dunia yang makin rapuh, makin tak pasti. Beberapa jam sebelumnya, Amerika Serikat mengumumkan serangan langsung ke tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—dengan menggunakan pembom siluman B-2 dan rudal Tomahawk. Kini, dunia menahan napas, menanti langkah balasan yang mungkin datang dari Iran dan sekutunya.
Ancaman untuk menutup jalur pelayaran strategis tak lagi terdengar seperti gertakan kosong. Ansarullah di Yaman juga menyatakan kesiapan menutup Selat Bab al-Mandab. Di tengah ketegangan geopolitik yang terus menanjak, tampaknya seluruh dunia—termasuk Indonesia—terseret dalam pusaran yang sulit dihindari.
Tekanan domestik di Iran pasca-serangan Amerika meningkat tajam. Sejumlah pejabat, seperti Mannan Raisi, menyebut serangan itu sebagai bentuk deklarasi perang. Dalam konteks ini, Iran tampaknya tidak akan tinggal diam. Selat Hormuz, jalur vital yang mengangkut sekitar 20 hingga 21 juta barel minyak per hari—hampir sepertiga dari pasokan global—menjadi titik genting. Dari jumlah itu, sekitar 80 persen ekspor minyak Iran mengalir ke China. Penutupan selat ini, meskipun mungkin dilakukan secara selektif terhadap kapal-kapal AS, Israel, dan sekutunya, akan memberi dampak besar. Kemungkinan Iran mengambil langkah ini cukup tinggi, ditaksir antara 80 hingga 95 persen. Armada Garda Revolusi Iran (IRGC) memiliki keunggulan berupa kapal-kapal serang cepat, rudal anti-kapal, dan sistem ranjau laut yang siap digunakan.
Namun, pertanyaan besar menggelayut: apakah Iran benar-benar siap menanggung risiko ekonomi yang besar demi sebuah balasan? Mengingat ketergantungan Iran terhadap jalur ini, penutupan total tampak kontraproduktif. Meski demikian, tindakan terbatas bisa tetap menjadi sinyal keras ke Amerika dan sekutunya. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak global sebesar 5 hingga 10 dolar per barel bisa memberikan tekanan langsung terhadap subsidi BBM dan memicu inflasi yang merambat ke seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah geopolitik global bersentuhan langsung dengan harga bahan pokok di warung tetangga.
Sementara itu, di Laut Merah, Selat Bab al-Mandab menyimpan ancaman tak kalah serius. Ansarullah—kelompok bersenjata yang menguasai sebagian besar wilayah utara Yaman—telah melakukan serangkaian serangan terhadap kapal-kapal yang berhubungan dengan Israel sejak 2023. Serangan itu termasuk penyitaan kapal Galaxy Leader pada November 2023 yang menjadi sorotan dunia. Dengan rudal anti-kapal dan drone yang efektif, mereka telah menunjukkan kapasitas tempur yang tidak bisa diremehkan. Pernyataan Juru Bicara Militer Ansarullah, Brigadir Jenderal Yahya Saree, bahwa mereka akan menyerang kapal AS jika Washington mendukung Israel dalam konflik ini, mempertegas bahwa situasi bisa memburuk dengan cepat.
Gangguan terhadap Selat Bab al-Mandab bisa memaksa kapal-kapal dagang memutar rute mengelilingi Afrika, menambah biaya logistik secara signifikan. Dengan volume minyak yang melewati selat itu mencapai 7 hingga 8 juta barel per hari, dampaknya akan terasa global. Di Indonesia, biaya impor barang-barang dari Eropa bisa melonjak. Pelabuhan seperti Tanjung Priok akan menjadi titik rawan tekanan harga barang impor seperti elektronik, tekstil, hingga pangan. Kenaikan biaya ini, cepat atau lambat, akan menyentuh dapur rumah tangga rakyat biasa.
Jejak historis menunjukkan bahwa Iran tidak segan membalas jika diserang. Pada awal 2020, setelah pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani, Iran meluncurkan lebih dari 20 rudal ke pangkalan militer AS di Al Asad dan Erbil, Irak. Saat itu, mereka menggunakan rudal Fateh-313 dan Qiam-1, dan meski memberi peringatan sebelum serangan untuk menghindari korban jiwa, tindakan itu tetap mengirim pesan kuat: Iran akan membalas, namun dengan cara yang diperhitungkan.
Kini, pola yang sama tampaknya mulai terbentuk. Serangan Amerika pada 22 Juni ini terhadap instalasi nuklir vital Iran kemungkinan akan mendorong respons yang terukur namun signifikan. Ancaman penutupan Selat Hormuz dan Bab al-Mandab tampaknya bukan sekadar gertakan. Ini bagian dari strategi tekanan terkoordinasi, yang mengombinasikan kekuatan militer langsung, proksi, dan ekonomi.
Namun, hingga pagi ini, belum ada laporan resmi bahwa Iran benar-benar menutup jalur pelayaran. Apakah ini bagian dari diplomasi tekanan? Atau hanya upaya Iran mengulur waktu sambil menimbang langkah berikutnya?
Kemungkinan eskalasi tetap terbuka. Penutupan parsial Selat Hormuz kemungkinan akan mendorong Amerika meningkatkan kehadiran militernya di kawasan. Armada Kelima AS yang berbasis di Bahrain siap dengan sistem pertahanan Aegis untuk menghadang serangan udara. Operasi penyapuan ranjau laut oleh Task Force 56 juga mungkin diperlukan, dengan risiko yang bisa saja mengancam keselamatan pelaut dari berbagai negara. Di sisi lain, di Bab al-Mandab, koalisi maritim pimpinan Barat dalam operasi “Prosperity Guardian” punya tantangan besar dalam menghadapi rudal dan drone Ansarullah, apalagi setelah dua bulan serangan udara AS pada awal 2025 tidak banyak melemahkan posisi mereka.
Bagi Amerika sendiri, gangguan logistik ini bisa menjadi tekanan domestik yang serius. Kenaikan harga minyak sebesar 5 hingga 10 dolar per barel dapat menaikkan inflasi di AS sebesar 1 hingga 2 persen. Tekanan ini, dalam jangka pendek, bisa memaksa Presiden Trump untuk mempertimbangkan ulang jalur eskalasi. Namun, retorika keras dari Washington—terutama ancaman Trump untuk memberikan “respon yang belum pernah dilihat sebelumnya”—menunjukkan bahwa ruang untuk diplomasi bisa sangat sempit.
Bagi Indonesia, dampaknya nyata dan langsung. Ketergantungan pada impor energi dan barang membuat negeri ini amat rentan terhadap gejolak global. Melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya biaya logistik, serta tekanan terhadap subsidi BBM berpotensi membebani APBN 2025 secara serius. Kita seolah hanya menjadi penonton di panggung konflik global ini, namun konsekuensinya harus kita tanggung bersama.
Iran kemungkinan besar tidak akan langsung masuk ke fase perang terbuka. Langkah pertama bisa berupa gangguan maritim yang cepat dan terukur—mirip dengan penyitaan kapal tanker Stena Impero pada 2019. Dalam satu hingga dua minggu ke depan, serangan rudal ke pangkalan AS di Irak atau Suriah bisa terjadi, mengulang pola yang telah terbukti. Dalam jangka yang lebih panjang, percepatan program nuklir dan ancaman keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) bisa menjadi alat tawar yang kuat. Serangan siber atau dukungan terhadap proksi seperti Hizbullah juga bisa menjadi bagian dari respons bertingkat yang menjaga tekanan tanpa membuka perang langsung.
Di garis depan Laut Merah, Ansarullah telah membuktikan kemampuannya bertahan dari bombardir dan tetap menyerang target strategis seperti wilayah Israel. Dukungan teknis dari Iran, meski tak bersifat langsung mengendalikan, membuat mereka cukup kuat untuk mengganggu jalur perdagangan global. Ketegangan di Bab al-Mandab, yang dilalui oleh 10 persen perdagangan dunia, tidak bisa dianggap enteng. Setiap kapal yang harus memutar rute bisa menambah biaya hingga 1–2 juta dolar. Bagi Indonesia, ini berarti harga barang-barang dari luar negeri akan merangkak naik, menggerus daya beli rakyat kecil. Tapi di sisi lain, siapa bisa menyalahkan pihak yang memilih bertahan di tengah serangan?
Skenario terbaik dari situasi ini—meski tampak samar—adalah jika Iran dan Ansarullah mampu memaksa Amerika menghentikan serangan. Jika tekanan ekonomi dan militer benar-benar terasa dalam satu hingga dua minggu, kemungkinan de-eskalasi bisa muncul, meski hanya sebesar 40 hingga 60 persen. Namun, dengan bahasa kekerasan yang masih mendominasi, harapan ini tampak rapuh.
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan pahit: Selat Hormuz dan Bab al-Mandab adalah titik-titik nyeri dalam peta global. Ketidakstabilan di sana bukan hanya urusan politik tinggi dan diplomasi rumit, tapi juga menyentuh kehidupan nelayan di Teluk Persia, para pelaut di Samudera Hindia, hingga pedagang di pasar tradisional Indonesia. Di balik angka-angka dan strategi militer, ada manusia yang menggantungkan harapan pada stabilitas yang semakin sulit dijaga.
Dan semua ini—ketegangan yang meluas, ancaman penutupan selat, lonjakan harga minyak, hingga risiko gangguan rantai pasok global—berakar dari satu sebab utama: arogansi Amerika Serikat yang terus memaksakan kehendaknya demi membela Israel tanpa batas. Alih-alih menjadi penengah, Washington memilih menjadi pemantik. Alih-alih menghentikan agresi, mereka memperluas konflik. Maka dunia pun membayar harga mahal untuk keberpihakan buta yang menutup mata dari keadilan.
Di tengah semua ini, pertanyaannya tetap sama: bisakah kita, sebagai bagian dari dunia yang terus dilanda badai, masih mencari dan memperjuangkan jalan damai? Atau kita hanya akan terus terombang-ambing oleh keputusan sepihak dari mereka yang merasa paling berkuasa?
Sumber:
https://x.com/A_M_R_M1/status/1936614073367507267?s=08