Opini
AS Serang Iran, Dunia Menunggu Badai Balasan

“Kami telah menyelesaikan serangan kami yang sangat sukses terhadap tiga lokasi nuklir di Iran …” demikian Donald Trump membuka pernyataannya di media sosial, dengan nada penuh kebanggaan dan nada militeristik yang gamblang. Fordow, Natanz, dan Esfahan—tiga nama yang selama ini lekat dengan perdebatan sengit soal ambisi nuklir Iran—kini disebut-sebut sebagai lokasi yang telah digempur habis-habisan oleh Amerika Serikat. Tapi benarkah semuanya telah “dihancurkan”? Atau ini hanya narasi kemenangan dini dari seorang pemimpin yang ingin dikenang lewat kekuatan senjata?
Di balik klaim bahwa serangan itu sukses, terdapat lanskap regional yang semakin retak. Iran membantah bahwa fasilitas nuklir mereka hancur parah. Parlemen Iran menyebut bahwa hanya bagian atas permukaan yang rusak. Tak ada kebocoran nuklir, tak ada korban jiwa. Dan yang paling penting: tak ada tanda bahwa mereka menyerah. Bahkan, ucapan Trump sendiri mengisyaratkan bahwa ini bukan akhir dari aksi militer—hanya permulaan.
Langkah Trump ini bukan tanpa konsekuensi. Tindakan langsung militer AS terhadap Iran merupakan garis merah yang selama bertahun-tahun dihindari banyak pemimpin dunia, termasuk presiden-presiden AS sebelumnya. Namun kali ini, Trump menembusnya. Meski ia sendiri pernah mengecam intervensi luar negeri dan mengutuk “perang tanpa akhir”, ia kini memilih jalur serangan udara. Retorikanya berubah tajam: “Kalau damai tidak cepat terwujud, kami akan menyerang target lain dengan presisi dan kecepatan.”
Fordow bukan situs biasa. Ia dibangun dalam gua-gua pegunungan dekat Qom, terlindungi oleh lapisan batuan setebal ratusan meter. Hanya bom khusus seperti GBU-57 Massive Ordnance Penetrator yang konon mampu menembusnya. Bom itu hanya bisa dijatuhkan oleh B-2 stealth bomber, dan hanya dimiliki oleh Amerika. Jika benar digunakan, ini adalah pertama kalinya senjata itu diterjunkan dalam pertempuran. Tapi tetap saja, laporan dari Iran menunjukkan bahwa mereka telah mengantisipasi: semua yang berbahaya sudah dipindahkan, dan tak ada kerusakan pada fasilitas utama.
Jika benar seperti itu, lalu untuk siapa sebenarnya pesan serangan ini? Mungkin bukan untuk Iran semata. Mungkin lebih untuk audiens domestik Trump, atau untuk Netanyahu, yang sejak lama mendorong AS bertindak lebih agresif terhadap Iran. Dalam video yang dirilis, Netanyahu memuji “keberanian” Trump dan menyebut serangan itu akan “mengubah sejarah.” Pernyataan yang tampaknya lebih seperti afirmasi kepentingan pribadi ketimbang pengakuan objektif atas perubahan geopolitik.
Di Timur Tengah, setiap guncangan senjata tak pernah berdampak lokal semata. Kabar ini segera direspons Yaman. Ansarullah—yang sebelumnya menahan serangan terhadap kapal AS di Laut Merah—kini menyatakan siap kembali menyerang bila Amerika melanjutkan agresinya. Mereka menyebut serangan ke Iran sebagai bentuk agresi terhadap seluruh umat Islam dan menyatakan kesetiakawanan pada Iran. Dalam pernyataannya, juru bicara militer mereka menegaskan, “Kami tak akan tinggal diam bila negara Islam diserang.” Kalimat itu, sederhana tapi sarat peringatan.
Indonesia, sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, tidak bisa lepas dari denyut ini. Meski jauh secara geografis, tapi resonansi moral dan politiknya terasa. Bagaimana mungkin kita bisa diam ketika negara yang selama ini kita jaga hubungannya, seperti Iran, dihantam tanpa otorisasi internasional? Bukankah kita juga pernah merasakan getirnya ketika kedaulatan diinjak, ketika diplomasi dilecehkan oleh kekuatan militer? Atau apakah kita mulai terbiasa bahwa kekuatan ekonomi dan senjata bisa mendikte aturan main global?
Pernyataan Trump yang menyebut ini “momen bersejarah” bagi AS, Israel, dan dunia justru terasa sinis bila dibaca dari perspektif negara-negara Selatan Global. Apa yang bersejarah dari penggunaan bom ribuan kilogram terhadap fasilitas nuklir yang belum terbukti membahayakan secara langsung? Di mana posisi PBB dalam momen ini? Apakah hukum internasional benar-benar berlaku universal, atau hanya bagi yang lemah?
Lebih dari itu, langkah Trump ini membuka kembali luka perjanjian nuklir 2015—JCPOA—yang ia cabut secara sepihak pada 2018. Perjanjian itu, yang didukung PBB dan ditandatangani banyak negara, sempat menahan laju nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi. Kini, tujuh tahun setelah Trump mencampakkannya, ia justru memilih jalur militer yang jauh lebih berisiko. Padahal, dua bulan terakhir Trump sendiri sempat membuka ruang negosiasi dengan Iran. Bahkan, dua kali ia meminta Israel menahan diri agar diplomasi mendapat kesempatan. Apa yang berubah begitu cepat?
Ada ironi besar ketika serangan ini dibingkai sebagai “langkah untuk membawa perdamaian.” Perang, dalam narasi penguasa, sering diklaim sebagai jalan menuju damai. Tapi sejarah—dan akal sehat—tak selalu sepakat. Damai yang datang dari muatan bom justru sering kali menghasilkan dendam yang tertunda. Bila tujuan serangan ini adalah mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, maka jalan militer justru bisa memicu sebaliknya: mempercepat perlombaan senjata di kawasan.
Kita patut bertanya, jika Fordow dan Natanz benar-benar hancur, apakah itu akhir dari program nuklir Iran? Atau justru awal dari babak baru yang lebih tersembunyi, lebih rahasia, dan lebih keras? Dan jika Iran membalas, apakah AS siap menanggung gelombang konflik baru, yang bisa menjalar ke Irak, Suriah, Lebanon, bahkan Laut Merah?
Kekhawatiran ini bukan sekadar spekulasi. Sejak Israel memulai serangan ke situs-situs militer Iran beberapa minggu terakhir, kawasan telah berada dalam ketegangan maksimal. Serangan-serangan itu ditujukan untuk “melumpuhkan sistem pertahanan udara dan rudal Iran,” menurut laporan. Maka, keterlibatan langsung AS bisa dianggap sebagai tahapan lanjutan dari kampanye itu. Ini bukan hanya tentang situs nuklir, tapi tentang dominasi kawasan dan pembungkaman oposisi strategis terhadap hegemoni AS-Israel.
Sebagian pengamat menyebut langkah ini sebagai bentuk penciptaan “momen kemenangan luar negeri” yang bersifat simbolik—untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaannya di awal masa jabatan baru. Dalam politik Amerika, terutama di bawah Trump, narasi kekuatan militer kerap dijadikan peneguh wibawa. Tapi jika itu tujuannya, maka taruhannya sangat tinggi. Bukan hanya nyawa warga Iran, tapi stabilitas global yang sudah rapuh. Dunia tak butuh lagi pemimpin yang bermain-main dengan perang demi simbol kemenangan atau pencitraan kekuasaan.
Di penghujung pidatonya, Trump menyatakan bahwa “ada banyak target yang tersisa,” dan bila damai tak segera terwujud, mereka akan “menghancurkan semuanya.” Kalimat itu bukan hanya peringatan bagi Iran, tapi juga kepada dunia: bahwa kekuasaan tanpa kendali bisa jadi ancaman, bahkan ketika ia dibungkus dengan slogan damai.
Kini dunia menunggu, dalam ketegangan yang nyaris hening. Menanti langkah balasan dari Teheran—sebuah negara yang tidak mencari perang, tetapi juga tak pernah tinggal diam jika harga dirinya diinjak. Iran telah berulang kali membuktikan: mereka tidak akan memulai konfrontasi, tapi jika diserang, mereka akan membalas. Bukan dengan emosi, tapi dengan perhitungan. Bukan dengan gegabah, tapi dengan kehormatan.
Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Iran akan membalas, melainkan kapan, di mana, dan seberapa luas dampaknya bagi kawasan dan dunia. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya situs nuklir atau kepentingan strategis semata, tapi harga diri sebuah bangsa yang selama ini berdiri tegak di bawah bayang-bayang embargo dan tekanan internasional.
Dunia boleh berharap pada diplomasi. Tapi harapan tanpa keadilan adalah ilusi. Perdamaian yang lahir dari intimidasi tak akan pernah utuh. Jika kekuatan militer terus dijadikan alat paksa untuk tunduk, maka jangan heran jika perlawanan menjadi satu-satunya jalan yang tersisa. Dan ketika jalan itu ditempuh, dunia harus siap menghadapi konsekuensinya—sebab Iran bukan bangsa yang akan lari dari badai. Ia justru berdiri tegak menghadapnya.
Sumber:
- https://apnews.com/article/israel-iran-war-nuclear-talks-geneva-news-06-21-2025-a7b0cdaba28b5817467ccf712d214579
- https://apnews.com/article/trump-iran-nuclear-fordo-ef530114e5297884b1c3b76a04a3b1de
- https://x.com/SprinterObserve/status/1936614621370003529?t=LKEUBmDQi4531fA2x8t04g&s=08
- https://english.almayadeen.net/news/politics/us-ships-in-red-sea-will-be-targeted-if-us-attacks-iran–yaf