Connect with us

Opini

Armada Amerika, Retorika Maduro, dan Ironi Karibia

Published

on

Ilustrasi editorial Venezuela terjebak dalam absurditas politik, rakyat menghadapi krisis ekonomi dan tekanan internasional.

Langit Karibia yang biru dan tenang kini ditusuk oleh bayangan baja. Kapal perusak Amerika Serikat berlayar gagah, lengkap dengan ribuan marinir yang katanya dikirim untuk memerangi kartel narkoba. Narasi resmi terdengar heroik, seperti sebuah misi penyelamatan. Namun bagi siapa pun yang masih waras, sulit menelan cerita itu bulat-bulat. Kita tahu, kapal perang tak pernah sekadar berlayar untuk menumpas gembong narkoba. Ada motif yang jauh lebih dalam, lebih busuk, dan lebih tua dari sekadar retorika perang melawan kejahatan.

Maduro berdiri di Caracas, berseragam militer, suaranya lantang menggema: Venezuela “impenetrable”, tak mungkin ditembus. Sebuah pernyataan yang terdengar seperti doa sekaligus tantangan. Ia tahu, negeri kecilnya sedang menjadi bidak dalam papan catur geopolitik yang lebih besar. Sementara Washington, dengan segala perangkatnya, menyajikan ancaman dalam bungkus moralitas, seakan-akan perburuan narkoba adalah alasan sah untuk mengarahkan moncong kapal perusak ke tepi perairan Venezuela. Saya rasa kita semua paham, ini bukan perang melawan narkoba—ini perang melawan kedaulatan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Absurd. Itu kata yang tepat. Amerika, negeri dengan konsumsi narkoba tertinggi di dunia, justru menunjuk jari pada Venezuela sebagai episentrum masalah. Seperti orang yang mabuk tetapi menuduh tetangga menjual minuman haram. Mereka menyebut Maduro sebagai bos “Cartel de los Soles” tanpa bukti yang bisa digenggam. Lebih ironis lagi, hadiah untuk kepalanya dilipatgandakan menjadi 50 juta dolar. Sungguh, politik kadang lebih mirip reality show murahan ketimbang diplomasi serius.

Tetapi mari kita jujur, strategi semacam ini bukan hal baru. Setiap kali ada negara yang berusaha berdiri di luar orbit Washington, selalu ada narasi kriminalisasi. Kadang terorisme. Kadang narkoba. Kadang pelanggaran HAM. Semua bisa dijadikan alasan, selama itu bisa menjual cerita ke publik internasional. Venezuela bukan korban pertama, dan saya yakin bukan yang terakhir.

Yang menarik, reaksi regional justru memperlihatkan sesuatu yang jarang terjadi: solidaritas. Kolombia, di bawah Gustavo Petro, mengerahkan 25.000 pasukan di perbatasan. Kuba mengecam keras. Iran ikut bersuara. Bahkan ALBA-TCP mengeluarkan peringatan bahwa militerisasi Amerika adalah ancaman nyata bagi stabilitas kawasan. Bagi Washington, ini tentu bukan pemandangan yang menyenangkan. Karibia yang dulu dianggap halaman belakang Amerika, kini menampilkan wajah pembangkangan yang makin jelas.

Namun di balik retorika perlawanan itu, ada sisi lain yang membuat kita perlu merenung. Venezuela, meski masih rapuh secara ekonomi, ternyata tidak lagi sepenuhnya tergantung pada minyak. Duta Besar José Biomorgi dengan bangga menyebut bahwa negaranya memproduksi 97 persen kebutuhan dalam negeri. Bahkan bisa mengekspor bahan pangan. Bandingkan dengan negeri kita yang sering kali berteriak swasembada, tapi tetap panik setiap harga beras melonjak. Di tengah embargo dan sanksi, Venezuela justru belajar bertahan. Ironi yang seharusnya membuat kita malu.

Amerika, di sisi lain, sedang karam dalam krisis internal. Ekonomi yang limbung, jurang sosial yang melebar, hingga krisis identitas politik yang tak kunjung selesai. Namun alih-alih berbenah, mereka malah sibuk mengirim kapal perang ke Karibia. Bukankah ini seperti orang yang rumahnya terbakar, tapi malah menyiram bensin ke pekarangan tetangga? Satu sisi ingin terlihat berkuasa, sisi lain justru memperlihatkan ketidakmampuan mengurus diri sendiri.

Saya rasa, inti persoalannya bukan sekadar Maduro. Masalahnya adalah simbol. Venezuela adalah lambang kedaulatan yang mencoba bertahan di tengah arus neoliberal global. Negeri yang berani mengatakan “tidak” pada Washington, sekalipun harus membayar harga mahal. Dan itulah yang membuat Amerika begitu gusar. Mereka tidak bisa membiarkan contoh seperti ini lestari, sebab ia bisa menular. Jika satu negara kecil bisa bertahan, apa yang menghalangi negara lain untuk melakukan hal serupa?

Di sinilah absurditas itu terasa kian tajam. Amerika berbicara tentang demokrasi, tetapi memburu kepala seorang presiden dengan hadiah uang tunai. Amerika berbicara tentang keamanan regional, tapi justru mengirim armada bersenjata lengkap yang jelas-jelas mengancam stabilitas. Amerika berbicara tentang perang melawan narkoba, tapi pasarnya sendiri adalah penyumbang terbesar peredaran narkoba dunia. Kata-kata mulia dipakai sebagai topeng, sementara di baliknya hanya ada satu hal: kepentingan ekonomi dan penguasaan sumber daya.

Venezuela, mau tak mau, harus terus menghidupkan retorika nasionalisnya. Milisi rakyat berjuta-juta orang, latihan militer besar-besaran, dan janji bahwa tanah ini “suci” dan tak boleh disentuh imperium mana pun. Sebagian orang mungkin melihat ini sekadar propaganda, tetapi dalam kondisi terancam, propaganda bisa jadi satu-satunya tameng moral yang tersisa. Dan kita tahu, tameng moral sering kali lebih kuat daripada tameng baja.

Bagi kita di Indonesia, situasi ini bukan sesuatu yang asing. Sejarah kita penuh dengan campur tangan asing yang dibungkus dengan alasan manis. Dari era kolonialisme hingga intervensi ekonomi modern, pola yang sama terus berulang: sumber daya kita menjadi daya tarik, sementara kedaulatan kita jadi taruhan. Maka, ketika mendengar Caracas berseru “impenetrable”, ada gema sejarah yang terasa dekat. Seperti cermin yang mengingatkan kita: jangan lengah, sebab kedaulatan tidak pernah gratis.

Apakah Amerika benar-benar akan menyerang Venezuela? Mungkin tidak. Risiko terlalu besar, biaya terlalu tinggi, dan opini internasional bisa berbalik arah. Namun mengintimidasi, mengancam, dan menciptakan ketakutan—itu tetap bagian dari strategi. Mereka tak perlu menembakkan peluru untuk melemahkan lawan, cukup dengan mengepung, menyebarkan narasi kriminal, dan memainkan media. Sementara itu, Caracas harus terus berjaga, sebab sejarah telah mengajarkan: siapa pun yang menantang hegemoni, cepat atau lambat akan jadi sasaran.

Akhirnya, apa yang kita saksikan di Karibia bukan sekadar perseteruan dua negara. Ini adalah panggung bagi absurditas geopolitik global. Negeri yang mengaku pelindung demokrasi justru bertindak layaknya gangster. Negeri yang disebut “diktator” justru membela kedaulatan dan martabatnya dengan segala cara. Dunia terbalik, logika terjungkir, dan kita dipaksa menyaksikan drama ini sambil menahan getir.

Venezuela mungkin tidak sempurna. Maduro bukan malaikat. Tetapi fakta bahwa sebuah negara kecil berani berdiri tegak di hadapan imperium adalah kisah yang layak dicatat. Kisah tentang perlawanan, tentang absurditas, dan tentang harga yang harus dibayar demi kedaulatan. Dan pada akhirnya, mungkin benar kata Maduro: tak ada imperium yang bisa menyentuh tanah yang dianggap suci oleh rakyatnya sendiri.

Sumber:

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: AS vs Venezuela: Kudeta, Sanksi, dan Perlawanan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer