Opini
Arab Terjepit di Tengah Api: Iran Diserang, AS Ditopang?

Langit Timur Tengah kembali diselimuti awan kelam. Pada dini hari 22 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh serangan udara Amerika Serikat yang menghantam tiga fasilitas nuklir strategis Iran. Bagi Tehran, ini bukan sekadar provokasi—melainkan deklarasi perang terbuka. Iran pun menegaskan haknya untuk membalas, sementara negara-negara Arab—Saudi, Qatar, Mesir, Irak—merespons dengan sikap yang berhati-hati. Tak ada pernyataan keras, tak ada langkah dramatis. Hanya seruan diplomasi, keprihatinan, dan peringatan akan “konsekuensi bencana.”
Di tengah kecamuk ini, dunia menahan napas. Dan di Indonesia, kita bertanya-tanya: ke mana arah konflik ini akan bergulir? Di mana posisi “saudara-saudara” kita di dunia Arab dalam pusaran yang semakin membara ini?
Serangan terhadap Iran tak terjadi di ruang kosong. Kawasan Timur Tengah telah lama menjadi barak senjata dan arena kepentingan global. Tapi kali ini terasa berbeda. Reaksi dunia datang cepat dan keras. Laporan dari The Cradle menyebutkan bahwa Tiongkok “sangat mengutuk” tindakan AS, Rusia menyebutnya “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional,” sementara Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa ini merupakan “eskalasi berbahaya.” Namun di sisi lain, pernyataan dari negara-negara Arab terdengar jauh lebih lembut.
Arab Saudi menyuarakan “keprihatinan mendalam” dan menyebut Iran sebagai “republik Islam yang bersaudara,” namun tetap menekankan pentingnya penyelesaian politik. Qatar memperingatkan akan “dampak katastrofik” dari konflik, namun tanpa menyebut nama AS sebagai pelaku utama. Mesir berseru agar “solusi damai” dikedepankan. Irak, meski sedikit lebih keras, mengutuk serangan itu, namun tetap menjaga nada agar tak memancing gejolak lebih besar. Tak ada satu pun yang menyatakan dukungan terbuka bagi Iran, meski semuanya menyuarakan kekhawatiran.
Mengapa demikian?
Di balik pernyataan yang terdengar netral, ada keseimbangan rapuh yang coba dijaga: hubungan yang ambigu dengan Iran, ketergantungan yang nyata terhadap AS, dan tekanan dari opini publik domestik. Negara-negara Arab berada di titik genting: di satu sisi, mereka punya hubungan historis dan geografis dengan Iran—kadang sebagai rival, kadang sebagai mitra. Di sisi lain, kekuatan militer dan ekonomi Amerika Serikat menjadikan mereka tak bisa bersikap leluasa.
Peta kekuatan menunjukkan bahwa ada sekitar 60.000 personel militer AS di Timur Tengah, tersebar di pangkalan-pangkalan besar seperti Al Udeid di Qatar, Ain al-Asad di Irak, dan sejumlah fasilitas di Bahrain, Kuwait, hingga Arab Saudi. Tak heran bila Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut pangkalan-pangkalan ini bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai “kerentanan ganda.” Ia juga menyatakan bahwa pintu diplomasi ditutup sementara, dan semua opsi—termasuk penutupan Selat Hormuz—tetap di atas meja.
Penutupan Selat Hormuz jelas akan menjadi bencana ekonomi global. Jalur ini mengangkut sekitar 20% pasokan gas alam cair dunia. Bagi negara-negara seperti Saudi dan Uni Emirat Arab, yang sangat bergantung pada ekspor energi, ini bukan sekadar ancaman geopolitik, tapi risiko yang bisa melumpuhkan perekonomian mereka. Maka wajar bila mereka mencoba bertahan di posisi tengah: tidak terlalu dekat dengan AS, tapi juga tak mau menyulut permusuhan terbuka dengan Iran.
Tapi posisi “tengah” ini—apakah benar-benar bisa dipertahankan?
Mari kita lihat lebih dekat. Arab Saudi selama ini bergantung pada sistem pertahanan AS, termasuk dalam menghadapi serangan drone dari Yaman. Qatar adalah tuan rumah pangkalan militer AS terbesar di kawasan. Mesir secara politik dan ekonomis mendapatkan banyak bantuan dari Washington. Irak, meski punya hubungan erat dengan kelompok pro-Iran, masih menerima kehadiran militer AS sebagai bagian dari “perang melawan teror.” Dengan semua ini, mendukung Iran secara terbuka bukan hanya berisiko secara militer, tapi bisa mengancam kestabilan internal mereka sendiri.
Namun, kehati-hatian ini bukan tanpa konsekuensi politik.
Di dalam negeri, masyarakat Arab tidak diam. Sentimen anti-AS dan anti-Israel masih sangat kuat. Ketika konflik Gaza meletus, gelombang demonstrasi memenuhi jalanan di berbagai ibu kota Arab. Jika pemerintah mereka terlihat terlalu lunak terhadap AS, kredibilitas bisa runtuh. Di Irak, kelompok seperti Kataib Hizbullah bisa saja memanfaatkan situasi untuk mengguncang pemerintahan. Di Saudi, sentimen konservatif keagamaan bisa menjadi tekanan terhadap monarki.
Kita di Indonesia tentu tidak asing dengan dinamika seperti ini. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, kita punya keterikatan emosional dengan isu-isu di dunia Islam, terutama Palestina dan Timur Tengah. Kita masih ingat gelombang protes besar-besaran di Jakarta atas agresi Israel ke Gaza. Namun dalam banyak kasus, pemerintah Indonesia tetap menempuh jalur diplomatik yang berhati-hati—mengutuk kekerasan, namun tetap menjaga hubungan ekonomi dan politik dengan negara-negara Barat. Realitas geopolitik tidak pernah hitam-putih.
Respons negara-negara Arab terhadap serangan ke Iran mengingatkan kita pada sikap mereka terhadap Palestina: penuh retorika, minim aksi nyata. Meski menyuarakan dukungan untuk rakyat Gaza, hubungan dengan Israel tetap dijaga, bahkan diperkuat melalui Perjanjian Abraham atau saluran diplomasi tidak langsung. Kini, dalam menghadapi krisis Iran-AS, pendekatan serupa kembali dimainkan: berbicara soal “persaudaraan,” namun tetap berpegangan pada kepentingan nasional dan keamanan strategis.
Apakah ini bentuk pengkhianatan terhadap solidaritas iman? Atau justru refleksi jujur dari realisme politik yang tak terhindarkan?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Di satu sisi, idealisme menuntut keberpihakan yang tegas. Tapi di sisi lain, kenyataan dunia memaksa kompromi. Negara-negara Arab, seperti halnya Indonesia dalam berbagai forum Islam internasional, tak ingin menjadi pion dalam konflik besar. Tapi mereka juga tak mampu keluar dari papan catur global yang dikendalikan oleh kekuatan besar.
Ketika Iran bersiap membalas dan AS memperkuat kehadirannya di kawasan, negara-negara Arab terjebak di titik persimpangan. Apakah mereka akan terus bermain aman di zona abu-abu? Ataukah eskalasi yang lebih besar akan memaksa mereka memilih secara terbuka? Jika pangkalan AS di Riyadh atau Doha menjadi target serangan Iran, bisakah mereka tetap mempertahankan posisi netral?
Dalam kerumitan ini, kita pun merenung: jika Indonesia berada di posisi mereka, apakah kita akan memilih jalan iman, atau jalan kepentingan? Solidaritas memang indah dalam kata-kata, tapi ketika kenyataan datang mengetuk dengan ancaman keamanan dan krisis ekonomi, pilihan tak lagi sederhana. Maka, mungkin inilah saatnya kita jujur pada diri sendiri—dan pada dunia: bahwa dalam dunia yang digerakkan oleh senjata, minyak, dan uang, persaudaraan sering kali harus bertarung keras agar tak dikalahkan oleh pragmatisme.