Connect with us

Opini

Antara Rudal dan Reputasi: Iran di Tengah Tudingan dan Fakta

Published

on

Sebuah rudal Iran menghantam jantung kota Haifa pagi itu. Gedung di kawasan bawah kota remuk, jalan-jalan sekitar rusak parah, toko-toko dan bangunan sekitarnya porak-poranda. Radius kehancuran mencapai ratusan meter. Itu bukan fragmen dari film distopia — ini realita getir yang disampaikan langsung Wali Kota Haifa, Yona Yahav, kepada harian Davar: “Tak ada yang terlindungi di sini.” Raut ketakutan terpancar jelas, dan menurutnya, itu sangat wajar.

Serangan itu terjadi sebagai bagian dari Operation True Promise 3, reaksi militer Iran terhadap serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel pada 13 Juni 2025. Dalam gerakan awal tersebut, Israel, lewat kampanye bernama Operation Rising Lion, menggunakan lebih dari 200 pesawat tempur untuk menargetkan lebih dari 100 lokasi di wilayah Iran—mulai dari fasilitas nuklir, markas militer, hingga sentra penelitian strategis. Rudal dan bom itu menewaskan sejumlah ilmuwan nuklir berprofil tinggi serta komandan senior IRGC seperti Major General Hossein Salami, Mohammad Bagheri, Gholam Ali Rashid, dan Amir Ali Hajizadeh. Ini bukan sekadar eskalasi: ini adalah provokasi terang-terangan terhadap kedaulatan Iran.

Kini, Haifa—kota industri dan pelabuhan utama Israel—tak lagi tampak aman. Rudal Iran menghantam kawasan vital, termasuk gedung pemerintahan dan gedung Kedutaan Besar Swiss. Pusat kota yang biasanya ramai pada akhir pekan, terutama Sabtu, berubah sunyi. Hanya beberapa kafe nekat buka kembali, tapi hanya segelintir pengunjung muncul, masih dengan wajah tegang.

Pemerintah kota segera mengerahkan tim untuk memperbaiki jalan dan gedung yang hancur, namun kerusakan fisik bisa diperbaiki; trauma sosial jauh lebih sulit di sembuhkan. Yahav bahkan menyerukan agar wali kota di kota-kota lain menempatkan psikolog di pusat darurat guna mencegah eksodus massal. Ketakutan telah menjadi bagian dari rutinitas—bukan hanya di Haifa, tapi di banyak bagian Israel.

Dampak tak hanya bersifat struktural dan psikologis. Laporan dari The Wall Street Journal menunjukkan bahwa persediaan rudal pencegat Arrow 3 milik Israel kini menipis drastis . Amerika Serikat, sebagai sekutu utama, merespons dengan mengerahkan kapal perusak tambahan ke Mediterania Timur dan memobilisasi sistem THAAD serta interceptor SM‑3, SM‑6, dan SM‑2. Namun meski teknologi bertambah, tekanan justru kian berat. Seorang pejabat AS memperingatkan bahwa Israel bisa kehabisan interceptor dalam beberapa minggu jika serangan Iran terus berlangsung .

Serangan Iran tentu bukan sembarangan. Pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) melancarkan puluhan drone kamikaze Shahed‑136 dan rudal balistik presisi tinggi ke berbagai target strategis dengan skala masif. Target mereka: pusat-pusat militer, persenjataan, dan pusat logistik. Salah satu sasaran utama adalah kilang minyak Haifa—tulang punggung ekonomi energi Israel. Kerugian ekonomi per hari kini berkisar ratusan juta dolar, menekan kehidupan normal di dalam negeri Israel.

Ambil konteks lokal Indonesia: negeri ini juga pernah mengalami trauma kolektif setelah bencana atau kekerasan masal—dan kita tahu bahwa memulihkan bangunan bisa dilakukan. Tapi, memulihkan kepercayaan, rasa aman, dan semangat yang hancur jauh lebih kompleks. Apakah Haifa akan kembali seperti dulu? Atau kenangan akan getaran ledakan dan hantaman sirine akan tetap membekas—bagai bekas luka yang tak kunjung pudar?

Sangat penting dicatat bahwa Iran tidak memulai konflik ini. Serangan udara Israel pada 13 Juni 2025 adalah langkah agresi awal. Israel menyerang fasilitas nuklir Iran dan menewaskan puluhan orang, termasuk ilmuwan nuklir terkemuka seperti Abdolhamid Minouchehr dan Ahmadreza Zolfaghari, sehingga menyentuh fondasi sipil dan ilmiah Iran. Di bawah hukum internasional, khususnya Pasal 51 Piagam PBB, setiap negara punya hak membela diri terhadap agresi bersenjata. Maka serangan balasan Iran adalah pembelaan diri yang sah—bukan ekspansi.

Namun, sayangnya, banyak media arus utama masih memainkan narasi yang bias. Reaksi Iran dipandang sebagai “eskalasi,” sementara serangan awal Israel disebut “pencegahan.” Dengarlah, ini adalah standar ganda yang menyakitkan. Jika kita balik narasinya—anggap Iran yang menyerang duluan ke jantung Tel Aviv—apa yang terjadi? Dunia akan mengutuknya tanpa ampun.

Persis seperti yang terjadi di Gaza selama beberapa dekade. Gaza, berulang kali diserang, lalu dianggap sebagai provokator saat membalas. Iran, hari ini, tampak berada dalam posisi serupa: tak bersalah, diserang duluan, lalu dituduh sebagai ancaman saat membalas. Namun, Iran kini bukan lagi wilayah kecil; ini negeri berdaulat, dengan kekuatan militer dan sistem pertahanan canggih. Meski begitu, ia membalas secara terukur, menggunakan hak membela diri, bukan menjajah.

Pertanyaannya, bagi dunia dan Indonesia: apakah kita cukup obyektif melihat siapa yang memulai konflik dan siapa yang membela diri? Apakah kita hanya mengutuk reaksi Iran tanpa menyoroti agresi pertama Israel? Sebagai bangsa yang pernah dijajah dan memperjuangkan kemerdekaan, seharusnya kita peka terhadap hak negara mana pun atas kedaulatannya.

Iran tak meminta simpati. Yang ia minta adalah keadilan dalam narasi global—pengakuan bahwa ketika negaranya diserang, ia berhak membela. Ini bukan soal ambisi, tapi prinsip dasar internasional.

Di tengah dunia yang selektif dalam melayangkan kemarahan, keberanian Iran untuk membalas bukan hanya wajar, tapi patut dihormati. Ia berdiri di tempat yang tepat, mempertahankan kedaulatan dan harga dirinya. Dan jika dunia percaya pada hukum internasional, seharusnya kita mendukung hak Iran—bukan mengecam pembelaannya.

Karena pada akhirnya, setiap negara punya hak bertahan. Jika Iran diserang terlebih dahulu—hingga ilmuwan dan komandan tewas—maka membalas adalah bukan pilihan, tapi kewajiban. Dan dalam logika yang sederhana ini, di sinilah dunia harus belajar untuk berlaku adil.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *