Opini
Antara Diplomasi dan Doomsday: Akankah Trump Menyerang Iran?

Di tengah ketegangan yang mendidih di kawasan Timur Tengah, dunia kembali dibuat gelisah oleh satu nama yang kerap menjadi sumber ketidakpastian global: Donald Trump. Pada 19 Juni 2025, dalam pernyataan yang dikutip Al Mayadeen, mantan Presiden Amerika Serikat itu menyatakan akan memutuskan “dalam dua minggu” apakah Washington akan melancarkan serangan militer terhadap Iran. Meskipun ia menyebut ada “peluang besar” untuk diplomasi, nada ambigu yang menjadi ciri khasnya justru mempertebal kecemasan. Di Indonesia, kekhawatiran atas stabilitas global tak hanya bergaung dalam wacana kebijakan luar negeri, tetapi juga terasa nyata di pompa-pompa bensin dan meja-meja perdagangan.
Ambiguitas bukan hal baru dari Trump. Reuters pernah mencatat bahwa strategi “tidak bisa ditebak” adalah bagian dari taktiknya, semacam diplomasi bayangan yang membuat lawan dan kawan sama-sama gelisah. “Saya mungkin melakukannya, mungkin tidak. Tidak ada yang tahu apa yang akan saya lakukan,” ujarnya seperti dikutip BBC. Namun kali ini, ketidakpastian itu terjadi di tengah situasi yang sangat berbahaya: Israel sejak 13 Juni telah melancarkan serangan ke beberapa fasilitas nuklir Iran, dan dunia menahan napas menanti reaksi berantai.
Serangan udara Israel menargetkan situs nuklir strategis seperti Natanz dan Arak, menewaskan ratusan orang, termasuk 239 warga sipil menurut laporan Al Mayadeen. Sebagai balasan, Iran menghantam kota Beersheba dengan rudal hipersonik, merusak rumah sakit Soroka dan melukai 71 orang. Eskalasi ini seolah menjadi sinyal bahwa api perang dapat menyala kapan saja. Apakah Trump hanya menggertak, atau benar-benar bersiap menekan tombol perang?
Spekulasi tentang kemungkinan aksi militer semakin menguat dengan pergerakan militer Amerika Serikat. The Washington Post melaporkan relokasi pesawat tempur dari pangkalan Al-Udeid di Qatar, pemindahan kapal dari markas AL AS di Bahrain, serta penempatan pembom B-2 dan kapal induk USS Nimitz di kawasan. Associated Press juga mencatat evakuasi diplomat AS dari Israel—sinyal yang tak bisa diabaikan begitu saja. Langkah ini seperti menyusun pion di papan catur, menunggu giliran menyerang.
Indonesia, sebagai negara yang terhubung secara ekonomi dan diplomatik dengan kawasan ini, tak tinggal diam. Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan imbauan perjalanan bagi warga negara Indonesia di wilayah Timur Tengah untuk meningkatkan kewaspadaan. Kementerian Perdagangan dan ESDM juga memantau harga energi, menyadari bahwa lonjakan harga minyak seperti krisis 1973 bisa berulang. Ketegangan global bukanlah hal abstrak bagi kita; ia hadir dalam bentuk inflasi, ketidakstabilan ekonomi, dan kekhawatiran akan keberlanjutan pasokan energi.
Meskipun banyak pihak menanti kemungkinan serangan dalam hitungan hari, Gedung Putih menyatakan bahwa keputusan final baru akan diambil pada 4 Juli, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan AS. Tanggal yang sarat simbolisme ini menambah kompleksitas makna. Apakah Trump akan memilih hari itu untuk menunjukkan ketegasan patriotik dengan meluncurkan serangan militer? Atau justru memanfaatkannya sebagai panggung diplomasi dan pengekangan diri?
Di sisi lain, Iran tidak tinggal diam. Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei memperingatkan adanya “konsekuensi tak terbayangkan” jika AS memutuskan menyerang. Sejumlah sumber menyebut Iran telah menyiapkan rudal dan drone tempur, serta kemungkinan serangan terhadap pangkalan AS di Bahrain dan Qatar yang hanya berjarak 3–4 menit dari garis tembak. Financial Times juga mencatat bahwa pada 18 Juni lalu, Iran memutus akses internet secara luas—indikasi kesiapan menghadapi situasi darurat militer.
Kondisi ini membuat dunia seperti berada di ujung jurang. Namun, di sela-sela ancaman tersebut, ada upaya menyelipkan diplomasi. Reuters melaporkan rencana pertemuan diplomat Eropa dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi di Jenewa akhir pekan ini. Iran menunjukkan kesiapan untuk membuka dialog, tetapi dengan syarat serangan Israel dihentikan terlebih dahulu. Sebuah tawaran yang menggambarkan bahwa sekalipun bersiap perang, jalan damai masih belum sepenuhnya ditutup.
Indonesia, yang selama ini konsisten menyuarakan diplomasi dalam konflik internasional—baik melalui ASEAN maupun OKI—menyambut positif inisiatif semacam itu. Namun kita juga tahu, pengalaman di banyak forum memperlihatkan bahwa jalan diplomasi seringkali kandas di tengah jalan, tergelincir oleh kepentingan nasional, egoisme kekuatan besar, atau lobi senjata.
Sementara itu, sikap Trump tetap tidak konsisten. The Wall Street Journal menyebut ia membantah laporan tentang rencana persetujuan serangan, bahkan menyalahkan media karena “tidak tahu rencananya”. Ini bukan hal baru. Pola serupa ia terapkan dalam krisis perdagangan dengan Tiongkok dan negosiasi denuklirisasi dengan Korea Utara. Strategi “shock and confuse” ala Trump membuat perhitungan politik internasional kian rumit. Seolah dunia dipaksa memainkan catur dalam kabut.
Dinamika di dalam negeri AS juga ikut memengaruhi keputusan Trump. Menurut Newsweek, sebanyak 79% pendukungnya menyetujui bantuan militer untuk Israel. Namun, sebagian tokoh populis seperti Tucker Carlson memperingatkan bahwa serangan militer akan bertentangan dengan janji kampanye “America First”. Ini mengindikasikan perpecahan bahkan di kubu pendukung Trump sendiri, yang terbelah antara dukungan terhadap Israel dan keengganan untuk terlibat lagi dalam perang asing.
Di Indonesia, dilema ini terpantul dalam diskursus publik. Ada yang menyoroti pentingnya solidaritas dengan Palestina dan negara-negara yang menghadapi agresi, tetapi ada pula yang menekankan pentingnya stabilitas kawasan demi kepentingan ekonomi dan keamanan nasional. Dilema ini bukan soal hitam-putih, tetapi spektrum kepentingan yang harus diolah secara cermat oleh para pembuat kebijakan.
Israel sendiri semakin mendesak agar AS segera bertindak. Menurut NBC News dan Financial Times, meskipun serangan Israel berhasil melemahkan sebagian program nuklir Iran, situs Fordow tetap menjadi “benteng” yang sulit ditembus tanpa dukungan AS—khususnya bom penghancur bunker yang hanya dimiliki Pentagon. Dalam konteks ini, tekanan sekutu menjadi faktor penting. Dan kita tahu, sejarah dunia penuh dengan keputusan yang lahir bukan dari kehendak mutlak, melainkan karena tekanan dari mitra strategis.
Ancaman eskalasi semakin nyata. Iran sudah mengisyaratkan kemungkinan menyerang pangkalan AS yang menampung lebih dari 40.000 personel. Jika Fordow benar-benar dihantam, dampaknya bukan hanya akan memicu reaksi militer, tetapi juga bisa menyulut perlombaan senjata nuklir di kawasan. The Washington Post memperingatkan bahwa satu serangan bisa mengakhiri sisa-sisa struktur kontrol senjata yang masih tersisa pasca-Perang Dingin.
Indonesia tentu tidak akan berada di garis depan konflik, namun dampaknya tak bisa dihindari. Harga energi melonjak, perdagangan terganggu, dan kestabilan regional terancam. Pelajaran dari krisis minyak 1973 mengajarkan bahwa konflik di Timur Tengah akan merembet hingga ke pasar Jakarta, ke dapur rumah tangga rakyat biasa.
Melihat semua ini, satu pertanyaan besar menggema: mengapa dunia begitu rapuh terhadap keputusan satu orang? Apakah sistem global memang sebegitu bergantungnya pada manuver individual? Trump, dengan ketidakpastian dan gaya “semaunya sendiri”, adalah potret dari betapa lemahnya tatanan global ketika tak ada konsensus kolektif.
Indonesia, dengan pengalaman sejarah panjang dalam diplomasi dan perdamaian, harus tetap mengambil peran sebagai suara rasionalitas. Sebagai anggota non-permanen DK PBB maupun penyeru damai regional, kita punya modal untuk terus mendorong solusi politik. Hari Kemerdekaan kita pada 17 Agustus mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan, tapi juga bebas dari ancaman perang yang bisa menjajah dalam bentuk lain: ketakutan, kekacauan, dan kelumpuhan ekonomi.
Sementara dunia menanti langkah Trump, Indonesia harus bersiap. Kementerian teknis memantau harga dan pasokan energi, diplomasi publik perlu diperkuat untuk menenangkan warganya, dan masyarakat sipil harus terus menggaungkan pentingnya jalan damai. The Guardian menyebut Trump sebagai pemimpin yang “tidak koheren”, namun dalam kekacauan itulah terkadang muncul keputusan yang mengejutkan.
Kini, tinggal menghitung hari menuju 4 Juli. Dunia berada di persimpangan. Trump bisa memilih menuruti desakan Israel dan meledakkan konflik regional menjadi perang global, atau memilih duduk di meja perundingan, meski untuk pertama kalinya. Kita menanti, dengan cemas dan harap, apakah akal sehat akan lebih unggul dari ambisi. Sebab seperti sejarah mencatat, satu keputusan bisa menentukan nasib jutaan jiwa. Dan sekali lagi, kita bertanya: apakah perdamaian masih mungkin di tengah gemuruh perang?