Opini
Antara Brussels dan Washington: Cinta Lama yang Semakin Toksik

Langit diplomasi Eropa kembali mendung. Senin pagi itu, laporan Bloomberg menyeruak seperti alarm yang telat dibungkam: Uni Eropa kembali terjaga dalam kegelisahan lamanya, dihantui bayang-bayang proteksionisme Donald Trump yang belum benar-benar pergi. Tarif, ancaman lama yang seolah jadi mantra favorit Presiden AS itu, kini kembali menghantui seperti mantan kekasih yang tiba-tiba mengirim pesan tengah malam—menegangkan, meresahkan, dan entah kenapa… selalu berhasil mengganggu stabilitas.
Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 30% terhadap produk-produk ekspor Eropa—mobil, tembaga, aluminium, bahkan farmasi dan semikonduktor. Kita bicara tentang jantung industri Benua Biru, bukan sekadar camilan ekspor musiman. Dan seperti biasa, Eropa bereaksi dengan elegansi khasnya: rapat, konferensi pers, penyusunan daftar balasan tarif senilai miliaran euro, sambil menyisipkan kalimat klasik diplomatik: “kami membuka ruang negosiasi.” Sungguh seperti pasangan yang terus tersakiti, tapi tetap mencoba berdamai demi anak-anak.
Di Beijing, Teresa Ribera—komisaris persaingan usaha Uni Eropa—berbicara lantang soal poros baru. Eropa, katanya, tengah memutar arah ke Asia-Pasifik. Perjanjian dagang dengan India menjadi target akhir tahun. Bahasanya menggugah, ambisinya menjanjikan, tapi juga meninggalkan satu pertanyaan getir: sejak kapan Eropa merasa perlu mencari rumah kedua? Sejak dominasi AS tak lagi ramah? Atau karena akhirnya sadar bahwa jadi anak emas tak menjamin perlakuan manis selamanya?
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen memutuskan memperpanjang moratorium terhadap balasan tarif hingga 1 Agustus. Tetapi jangan terkecoh: daftar tarif balasan senilai €21 miliar telah siap, dan paket tambahan €72 miliar masih dalam evaluasi. Mereka bilang ini soal “persiapan,” tapi sejatinya ini adalah pengakuan bahwa cinta lama antara Brussels dan Washington kini rawan berubah jadi toxic relationship—penuh ancaman, saling pantau, dan tak ada lagi ruang percaya.
Sementara itu, Macron, seperti biasa, memilih jalur teatrikal. Dari balik media sosialnya, ia menyerukan aktivasi Anti-Coercion Instrument—senjata hukum yang konon dirancang untuk menahan pemerasan ekonomi. Ia menyebut tarif Trump sebagai “ancaman langsung.” Nada tinggi, tapi juga khas Prancis: revolusioner dalam kata, ambigu dalam aksi. Merkel tak lagi di sana untuk menyeimbangkan romantisme itu dengan realisme khas Jerman. Kini giliran Friedrich Merz, Kanselir baru, yang bicara di layar kaca—serius, sedikit letih, dan penuh nada muram: “Ini bisa menghantam ekonomi terbesar Eropa sampai ke akar-akarnya.”
Yang membuat semua ini makin tragis adalah fakta bahwa kita sedang menyaksikan déjà vu yang menyakitkan. Eropa, yang dulunya bangga menjadi tiang penyangga peradaban Barat, kini seperti saudara tua yang ditinggal AS pergi ke pesta lain—lebih liar, lebih untung, dan lebih bebas. Retorika “values-based diplomacy” tinggal jadi slogan di balik brosur-brosur Uni Eropa, sementara kenyataan memaksanya bermain di arena penuh kalkulasi keras: tarif, kontrol ekspor, negosiasi brutal.
Lalu kita menoleh ke Kanada dan Jepang—dua negara yang juga kena ancam Trump. Keduanya tak tinggal diam. Kanada langsung pasang tarif balasan untuk baja, aluminium, dan suku cadang mobil asal AS. Jepang membentuk task force krisis dan mulai merayu Washington untuk dapat pengecualian. Tapi yang menarik adalah strategi diam-diam mereka untuk memperluas pasar ke Asia dan Amerika Latin. Dalam bahasa bisnis, ini disebut diversifikasi. Dalam bahasa politik, ini adalah sinyal: kami siap lepas dari ketergantungan.
Pertanyaannya, apakah Eropa juga siap? Atau masih sibuk mengulang janji lama bersama Amerika, sambil menatap iri pada yang lain? Jika menggunakan analogi rumah tangga, maka hubungan transatlantik ini adalah perkawinan tua yang tak kunjung cerai meski sudah tak lagi mesra. Anak-anak—dalam hal ini, institusi-institusi global seperti WTO dan NATO—masih jadi alasan untuk bertahan. Tapi kalau salah satu pihak mulai membawa parang—baca: tarif 30%—apakah layak terus bertahan hanya demi nama baik keluarga?
Data Goldman Sachs menyebut bahwa jika tarif Trump benar-benar diberlakukan, maka tarif efektif AS terhadap impor dari UE bisa naik 26 persen. Dan Eropa diperkirakan akan kehilangan 1,2% dari GDP-nya pada akhir 2026. Ini bukan sekadar tekanan ekonomi. Ini ancaman terhadap daya saing global. Jika Trump berhasil menciptakan gelombang baru proteksionisme, maka slogan “free trade” yang dulu dijunjung Barat tinggal jadi dekorasi di museum sejarah.
Menariknya, narasi ini juga relevan bagi kita di Indonesia. Ketika raksasa-raksasa dunia saling jegal lewat tarif, kita yang ada di pinggiran sistem global harus makin lihai membaca arah angin. Jangan terlalu bergantung pada satu blok ekonomi. Jangan terlena pada kemesraan semu. Jangan berharap bahwa yang besar selalu benar. Sebab dalam sistem yang dibangun atas dasar kepentingan, loyalitas adalah barang mewah.
Eropa kini berada di ambang ujian sejarah. Mereka harus memilih: terus menjadi pengikut yang patuh dan terus-menerus “terkejut” setiap kali Amerika bermain kasar, atau mulai merancang kemandirian strategis yang nyata—bukan sekadar jargon. Kalau perlu, keluarlah dari rumah besar lama itu. Bangun fondasi baru, bahkan jika itu berarti bersusah-susah di awal. Sebab jadi mandiri memang mahal. Tapi jadi pengikut yang terus ditendang-tendang, itu jauh lebih menyakitkan.
Dan jika suatu hari nanti Uni Eropa benar-benar berani berdiri tegak, menolak tarif semena-mena, membentuk aliansi ekonomi lintas kutub tanpa harus minta restu dari Washington, maka barangkali dunia akan melihat lahirnya kembali Eropa sebagai kekuatan mandiri. Bukan lagi anak emas, bukan juga bayangan dari Pax Americana. Tapi sebagai entitas yang tahu kapan harus bersalaman, kapan harus menutup pintu, dan kapan harus berkata: cukup.
Namun sejarah jarang memberikan ruang cuma-cuma bagi keberanian yang setengah hati. Karena di balik semua dokumen strategis, daftar tarif balasan, dan kunjungan diplomatik ke Asia-Pasifik, ada kemungkinan lain yang tak kalah besar: bahwa Eropa gagal. Gagal lepas dari pelukan tua yang nyaman tapi mencekik. Gagal menjadikan krisis ini sebagai momen transisi menuju kedaulatan sejati. Bahwa semua retorika otonomi strategis tak lebih dari sabun busa dalam bak kompromi lama.
Jika itu yang terjadi, maka dunia takkan menyaksikan babak baru peradaban, melainkan kelanjutan dari bab yang sudah terlalu sering diulang. Uni Eropa akan tetap jadi mitra, tapi bukan tandingan. Akan tetap terdengar, tapi tak didengarkan. Ia akan tetap berbicara tentang nilai dan hukum internasional, sambil membiarkan dirinya dipinggirkan oleh kekuatan yang lebih berani bermain kasar. Ia akan tetap hadir di panggung dunia, tapi hanya sebagai dekorasi yang rapi—bukan pemain utama.
Dan barangkali, dalam keheningan ruang rapat Brussels yang sejuk dan tertib, akan terdengar bisik paling getir dari zaman ini: bahwa Eropa bukan tak mampu mandiri—ia hanya terlalu takut untuk benar-benar mencoba.