Opini
Ancaman Israel, Rayuan AS, dan Keteguhan Iran

Di dunia diplomasi internasional, kerap kali kekerasan dibungkus dengan bahasa damai, dan tekanan dibungkus dalam jubah kerja sama. Laporan terbaru mengenai pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menjadi salah satu contoh paling terang bagaimana ancaman militer bisa dikemas sebagai kebijakan preventif, sementara pada saat bersamaan, sekutunya, Amerika Serikat, memainkan peran penenang melalui tawaran kerja sama ekonomi dan program nuklir sipil. Ini bukan taktik baru, tapi dalam konteks ini, permainan klasik “Good Cop – Bad Cop” menjadi sangat mencolok sekaligus membahayakan stabilitas kawasan dan dunia.
Katz secara terbuka memerintahkan militer Israel untuk menyiapkan serangan ke infrastruktur nuklir dan sistem misil Iran, juga terhadap sekutu-sekutu regionalnya. Dalam pernyataan di media sosial, ia menyebut bahwa “Operasi Rising Lion” hanyalah permulaan dari kebijakan baru Israel pasca-7 Oktober. Kalimat pamungkasnya, “immunity is over”, adalah deklarasi bahwa segala bentuk batas atau norma internasional tak lagi dianggap relevan jika menyangkut kepentingan Israel. Di sinilah wajah “bad cop” tampil tanpa riasan.
Tapi menariknya, di balik ancaman terbuka itu, Amerika Serikat secara paralel menawarkan skema kerja sama besar kepada Iran: pendanaan program nuklir sipil senilai 20 hingga 30 miliar dolar yang akan disalurkan melalui negara-negara Teluk. Skema ini juga mencakup relaksasi sanksi, akses ke dana yang selama ini dibekukan, dan peluang untuk membuka kembali ruang diplomasi nuklir yang sejak era Trump menjadi jalan buntu.
Dua sikap ini bukan kontradiksi, melainkan koordinasi, sebuah peran ganda yang dimaksudkan untuk menekan Iran dari dua arah: lewat ketakutan dan harapan. Israel tampil sebagai penegak brutal, sedang AS berpura-pura menjadi mediator rasional yang menawarkan jalan keluar. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa strategi ini lebih sering menjadi pengantar konflik, bukan penyelesaiannya.
Kegagalan Rising Lion: Ancaman Tanpa Otot
Pernyataan agresif Katz mungkin terdengar meyakinkan bagi sebagian khalayak internasional yang terbiasa melihat superioritas militer Israel sebagai jaminan kemenangan. Namun realitas di lapangan menunjukkan hal berbeda. Operasi Rising Lion—yang dilancarkan dengan target utama infrastruktur strategis Iran—berakhir tanpa hasil nyata. Iran tetap utuh, jaringan sekutunya tidak terputus, dan yang lebih penting, kapasitas balasan Iran terbukti jauh lebih kuat daripada yang diperkirakan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah konflik tidak langsung kedua negara, Iran melakukan pembalasan langsung terhadap Israel melalui peluncuran rudal dan drone dari wilayahnya sendiri. Meskipun sebagian dicegat oleh sistem pertahanan dan bantuan negara-negara Barat, fakta bahwa Iran mampu menembus sistem tersebut secara terbatas adalah tamparan telak terhadap citra keunggulan militer Israel.
Dan yang paling menyakitkan bagi Israel, publik internasional melihat kegagalan ini, termasuk sekutu mereka di Barat. Maka tak mengherankan jika retorika Katz menjadi lebih keras—retorika sering kali menjadi pelindung bagi kegagalan militer.
Strategi Dua Wajah: Tekanan Terstruktur ala AS
Sementara itu, AS mengambil langkah yang terlihat lebih moderat tapi sebenarnya penuh jebakan. Tawaran bantuan ekonomi dan pembangunan program nuklir sipil kepada Iran bukanlah inisiatif murni untuk kerja sama, tapi bagian dari strategi “soft coercion” atau tekanan halus.
Proposal ini mengharuskan Iran untuk:
- Menghentikan pengayaan uranium,
- Membuka akses bagi dana yang selama ini dikunci, namun dalam pengawasan,
- Menerima penghapusan sebagian sanksi, namun tetap dalam kerangka pengawasan Barat,
- Dan pada akhirnya, menerima tawaran damai yang menempatkan Iran dalam posisi lemah dan terkontrol.
Lebih dari itu, AS tetap tidak membatalkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran, termasuk situs Fordow, bahkan di tengah upaya pembicaraan. Ini mengirimkan pesan ganda: “Kami mau berdamai, tapi kami tetap bisa menyerang kapan saja.” Pendekatan seperti ini bukan jembatan perdamaian, melainkan taktik penjinakan bertahap yang bertujuan untuk memaksa Iran tunduk pada tatanan keamanan yang ditentukan oleh Washington dan Tel Aviv.
Iran Bukan Lebanon: Resistensi Terbuka dan Terukur
Pernyataan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, bahwa “Iran bukan Lebanon” adalah penegasan bahwa Iran tidak akan mengikuti pola proksi atau sekutu-sekutunya yang kerap ditekan lewat gencatan sepihak. Iran ingin menunjukkan bahwa mereka adalah aktor utama dengan posisi strategis regional, bukan hanya pion dalam konflik sektarian.
Iran juga mengirimkan sinyal kuat bahwa mereka menolak model negosiasi ala Barat. Penghentian kerja sama dengan IAEA bukan hanya simbol perlawanan terhadap inspeksi, tapi juga sinyal bahwa Iran tidak akan masuk ke meja perundingan di bawah ancaman senjata. Dalam logika geopolitik Iran, keamanan dan kehormatan nasional tidak bisa dipertukarkan dengan bantuan dana atau relaksasi sanksi sesaat.
Risiko Nyata bagi Israel: Perang yang Membakar dari Dalam
Sementara Iran menunjukkan bahwa mereka siap menghadapi tekanan dan serangan, Israel justru berada dalam situasi yang semakin rapuh. Perang di Gaza, tekanan internasional yang meningkat karena pelanggaran hak asasi manusia, dan krisis kepercayaan dalam negeri terhadap pemerintahan Netanyahu adalah latar belakang yang memperlemah posisi Israel untuk menghadapi konflik baru.
Jika Israel tetap memaksakan pendekatan militer terhadap Iran, maka:
- Mereka akan menghadapi konflik multiarena: Iran, Lebanon (Hizbullah), Gaza, dan Yaman.
- Ekonomi mereka akan makin tertekan, terutama karena sanksi balik dari negara-negara Selatan Global.
- Potensi intervensi langsung dari kekuatan besar seperti Rusia dan Cina makin terbuka.
- Dan yang terpenting, dukungan publik internasional akan makin menipis, sebagaimana terlihat dalam gelombang protes pro-Palestina di seluruh dunia.
Dunia Tidak Lagi Buta
Dulu, Israel dan AS bisa bermain dua peran ini tanpa banyak pertanyaan. Tapi sekarang, dunia sudah mulai melihat pola manipulasi ini secara sadar. Informasi alternatif, suara dari Selatan Global, serta sikap negara-negara non-Barat yang lebih independen mulai membentuk narasi tandingan.
Permainan “Good Cop – Bad Cop” ini bukanlah jalan menuju perdamaian. Ia hanyalah cara lama untuk menundukkan perlawanan dengan jebakan ketakutan dan ketergantungan. Dunia butuh pendekatan baru: bukan dominasi militer dan sanksi ekonomi, tapi keadilan, pengakuan atas hak kedaulatan semua bangsa, dan penghapusan standar ganda dalam diplomasi internasional.
Jika Israel benar-benar melanjutkan ancaman yang disampaikan Katz, maka dunia harus bersiap menyaksikan konflik baru yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih membakar daripada perang sebelumnya. Tapi kali ini, biaya politik dan moralnya bagi Israel dan sekutunya akan jauh lebih tinggi.
Karena tidak selamanya rakyat dunia mau dibodohi oleh permainan dua wajah. Dan tidak selamanya rakyat Iran akan tunduk pada diplomasi yang dibungkus sebagai hadiah, tapi sesungguhnya racun.