Connect with us

Opini

Ancaman Iran dan Penarikan AS: Ada Apa?

Published

on

Ada yang terasa ganjil ketika Amerika Serikat memerintahkan penarikan sejumlah diplomatnya dari Irak pada awal Juni 2025. Bukan hanya karena keputusan itu diambil secara mendadak dan tanpa penjelasan rinci, tapi karena aroma ancaman yang menyelimutinya terasa seperti deja vu dari bab-bab krisis yang tak pernah benar-benar usai di Timur Tengah. Departemen Luar Negeri AS hanya menyebut “ancaman keamanan yang tidak ditentukan”. Tapi bagi siapa pun yang mencermati geopolitik kawasan, ini bukan sekadar langkah pengamanan biasa. Ini pertanda. Bahwa ada ketegangan yang mendidih, tinggal menunggu luber.

Dan memang, tak butuh waktu lama untuk menyambungkan titik-titiknya. Dalam laporan-laporan terpisah, ketegangan antara Iran dan Israel tengah berada di titik rapuh. Iran berulang kali memperingatkan bahwa jika situs-situs nuklirnya diserang, balasan tak hanya akan diberikan kepada Israel, tapi juga terhadap aset dan pangkalan militer AS di kawasan. Pernyataan ini bukan angin lalu. Disampaikan langsung oleh pejabat tinggi Iran dalam momen yang penuh tekanan, saat negosiasi nuklir terbaru antara AS dan Iran tahun 2025 justru berjalan buntu.

Amerika mungkin bisa menarik para diplomatnya dari zona panas seperti Irak. Tapi apakah mereka bisa menarik pengaruh dan jejak militer yang selama dua dekade terakhir telah tertancap dalam di tanah Arab? Tidak semudah itu. Iran tahu, dan dunia tahu, bahwa kehadiran AS di kawasan bukanlah sebatas urusan diplomasi. Ini soal kendali atas jalur minyak, jalur logistik militer, dan stabilitas proksi yang mengelilingi ‘musuh-musuh bersama’. Maka tak mengherankan jika Iran menyebut bahwa respons atas setiap serangan Israel akan menyertakan “pengusiran paksa AS dari kawasan”.

Baca Juga:Nuklir, Dendam, dan Perang Bayangan Iran-Israel

Lalu bagaimana Israel? Negeri kecil bersenjata nuklir itu telah lama menyuarakan kekhawatiran terhadap program nuklir Iran, bahkan dalam banyak kesempatan menyatakan kesiapan menyerang fasilitas nuklir Iran jika dianggap mengancam. Tapi tahun 2025 bukanlah tahun yang stabil bagi Tel Aviv. Dalam negeri, pemerintahan mereka terpecah dan banyak dikritik karena kebuntuan dalam Perang Gaza yang belum juga usai. Serangan terhadap Iran bisa menjadi pengalih isu, atau justru mempercepat keterpurukan. Dunia mencemaskan skenario kedua.

Dalam situasi seperti ini, siapa yang menekan siapa menjadi kabur. Iran dalam posisi bertahan, tetapi posisinya bukanlah posisi lemah. Dengan jaringan milisi bersenjata di Irak, Suriah, Yaman, dan Lebanon, Iran memiliki kapasitas untuk merespons secara tidak simetris. Serangan balasan bisa terjadi bukan dari Teheran, tapi dari Sanaa, Baghdad, atau Beirut. Serangan drone, roket, bahkan sabotase terhadap instalasi AS di luar negeri bukan hal mustahil. Itulah sebabnya penarikan diplomat dari Baghdad menjadi alarm keras. Bukan karena ancaman langsung dari rakyat Irak, melainkan karena kemungkinan bahwa Irak kembali menjadi panggung perantara konflik dua kekuatan.

Pernyataan Iran untuk membalas jika diserang mengingatkan kita pada logika deterrence klasik, tetapi dalam versi yang lebih kabur dan berlapis. Di sisi lain, AS seakan bermain dua kaki—memperpanjang jalur diplomatik di Wina dan Oman, tapi di saat yang sama tetap memberi ruang bagi Israel untuk mempertimbangkan opsi militer. Ini semacam diplomasi yang dikepung oleh ketidaksabaran.

Kita yang berada jauh di luar zona konflik pun tak bisa lepas dari dampaknya. Indonesia, misalnya, sebagai negara yang selama ini menjalin hubungan baik dengan Iran sekaligus mitra strategis AS, ikut terkena imbas psikologis dari setiap gelombang ketegangan Timur Tengah. Harga minyak yang mudah naik hanya karena satu serangan rudal di Teluk. Kecemasan atas keamanan warga negara Indonesia yang bekerja di kawasan. Juga meningkatnya tekanan global terhadap negara-negara non-blok untuk “memihak” dalam krisis yang tak mereka ciptakan.

Refleksi ini menuntun kita pada pertanyaan lebih dalam: apakah krisis nuklir ini masih soal senjata, atau soal kekuasaan? Sebab sejauh ini, belum ada bukti konkret bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir secara militer. Bahkan lembaga pengawas nuklir internasional, IAEA, dalam banyak laporannya menyebutkan bahwa belum ada pelanggaran eksplisit sejak JCPOA runtuh. Yang ada adalah kecurigaan, ketakutan, dan narasi ancaman yang dijadikan alasan untuk intervensi. Jika ancaman itu digunakan untuk membenarkan agresi militer, maka siapa sesungguhnya yang memulai?

Negosiasi nuklir 2025 sebenarnya membuka celah harapan baru. Namun tekanan dari dalam negeri AS sendiri, termasuk dari Kongres dan kelompok pro-Israel, membuat ruang diplomasi kian sempit. Presiden AS, Donald Trump, juga tak ingin terlihat “lunak” terhadap Iran. Di sinilah tragedi kerap lahir: saat diplomasi digadaikan demi elektabilitas.

Baca Juga: Iran Lawan Tekanan AS, Negosiasi Nuklir di Ujung Tanduk

Sementara itu, rakyat di kawasan tetap hidup dalam bayang-bayang perang. Di Irak, Lebanon, Gaza, bahkan Yaman, yang mereka lihat bukanlah tarik-ulur diplomatik, tapi dentuman rudal, drone, dan sanksi ekonomi yang mencekik. Mereka menjadi korban dari narasi besar yang tak mereka pilih. Dan kita, warga dunia yang memiliki empati, mestinya tak hanya menjadi penonton pasif. Kita bisa menuntut agar Indonesia memainkan peran lebih aktif dalam mendorong solusi damai. Bukan karena kita sok moralis, tapi karena stabilitas dunia tak bisa diserahkan pada negara-negara yang selalu menempatkan senjata di meja perundingan.

Dunia tak kekurangan ruang untuk dialog. Tapi dunia kekurangan keberanian untuk menghentikan siklus kekerasan. Ketika AS menarik diplomat dari Irak, mereka seolah berkata bahwa ancaman itu nyata. Namun apakah mereka juga menyadari bahwa setiap pangkalan militer yang mereka bangun adalah pemantik yang bisa kapan saja meledak?

Iran, dengan segala keterbatasan ekonominya, memilih untuk bersikap tegas. Bukan karena ingin berperang, tapi karena sejarah panjang intervensi membuat mereka tak percaya lagi pada janji kekuatan besar. Dan Israel, seperti biasa, menggunakan ketakutan untuk mempertahankan legitimasi keamanan, meski langkah-langkahnya justru menambah ketidakamanan kolektif.

Kita telah melihat cukup banyak perang yang dimulai dari prasangka. Kita telah melihat kota-kota luluh lantak karena salah tafsir intelijen. Maka sebelum semuanya terlambat, dunia harus bertanya ulang: apakah diplomasi itu hanya basa-basi sebelum perang, atau satu-satunya jalan sebelum kehancuran?

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *