Connect with us

Opini

Agresi Israel Menyatukan Iran, Bukan Memecahnya

Published

on

“Delapan puluh persen rakyat Iran akan menggulingkan para teokrat itu.” Demikian klaim penuh keyakinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam wawancara dengan Fox News, hanya beberapa hari setelah negaranya meluncurkan serangan militer ke Iran. Ia menyebut rezim Iran lemah dan rakyatnya siap bangkit. Ia menyebut sekarang adalah saat yang tepat untuk mengganti pemerintahan. Tapi kenyataan yang tampak di Iran justru mengaburkan seluruh perhitungan Netanyahu: masyarakat tidak tercerai-berai—mereka justru bersatu.

Sejak hari Jumat pekan lalu, ketika gempuran Israel dimulai, Iran tidak menyambutnya dengan unjuk rasa revolusioner, melainkan dengan gerakan solidaritas nasional. Sebuah respons yang jauh dari skenario “perubahan rezim” versi para pejabat Israel. Hotel dan aula pernikahan membuka pintu bagi warga yang mengungsi dari wilayah rawan. Psikolog dan terapis menggelar sesi konseling daring gratis. Relawan dari berbagai lapisan masyarakat membantu manula dan difabel. Para pemain sepak bola, selebriti, dokter, hingga seniman menyuarakan satu pesan: Iran adalah tanah kami, dan kami akan membelanya.

Laporan dari Al-Mayadeen memperkuat gambaran ini. Mohammad Ali Abtahi, mantan Wakil Presiden Iran dari kalangan reformis, mengatakan bahwa agresi Israel telah menyatukan faksi-faksi politik yang sebelumnya kerap berselisih. “Perang ini menghapus sekat-sekat di antara kami, juga antara elite dengan rakyat,” ujarnya. Bahkan para pengkritik pemerintah kini berdiri di barisan yang sama: membela tanah air, bukan tunduk pada hasutan dari luar.

Pesan ini juga digaungkan oleh rakyat Iran sendiri. Dalam laporan CNN, seorang jurnalis lokal mengungkap bahwa rakyat Iran—betapa pun kecewa atau muaknya terhadap rezim—tidak akan mengambil risiko memberontak saat bom menghujani kota mereka. “Kami melindungi keluarga kami. Ini bukan saatnya turun ke jalan. Jalan-jalan sekarang bahkan lebih sepi dari biasanya,” ungkapnya. Bagi warga biasa, hidup adalah prioritas, bukan revolusi dari seruan asing.

Para aktivis di dalam dan luar negeri pun menolak narasi Israel. Arash Azizi, penulis dan analis Iran di New York, menyatakan bahwa meskipun para pejuang sipil di Iran telah lama menuntut kebebasan, mereka tahu nilai perjuangan mereka tak bisa dikaitkan dengan tokoh seperti Netanyahu. “Tak ada dari mereka yang percaya perang ini akan membawa kebebasan,” ujarnya. Bahkan di diaspora, tokoh-tokoh seperti Narges Mohammadi dan Shirin Ebadi bersuara menolak perang—dan bersamaan dengan itu tetap menyerukan perubahan melalui cara damai.

Fenomena ini bukan tanpa preseden. Indonesia pun pernah mengalami hal serupa: di tengah agresi militer Belanda pada masa revolusi, perbedaan politik dan ideologi dikesampingkan demi satu kata: merdeka. Rakyat Indonesia tidak menunggu instruksi dari luar untuk mengganti sistem—mereka memperjuangkannya sendiri. Maka wajar jika rakyat Iran hari ini menolak mentah-mentah seruan Netanyahu agar menggulingkan pemimpinnya di tengah kehancuran yang justru disebabkan oleh rudal-rudal Israel.

Klaim Netanyahu bahwa rakyat Iran diam-diam mendukung upaya Israel sangat tidak berdasar. Bahkan, laporan CNN menegaskan, tak satu pun dari warga yang diwawancarai di Iran menyatakan dukungan pada seruan Netanyahu. Seorang jurnalis Iran dengan getir menyatakan, “Kami ingin melihat perubahan. Tapi bukan seperti ini. Bukan lewat misil. Bukan saat kami harus bertahan hidup.”

Yang terjadi hari ini di Iran adalah kebangkitan nasionalisme, bukan revolusi yang dipaksakan. Israel justru menciptakan ruang bagi Republik Islam Iran untuk menyatukan rakyatnya, memperkuat posisi pemerintah, dan membungkam para pembangkang dengan dalih “kerja sama dengan musuh.” Situasi ini hanya memperparah represi terhadap aktivis sipil, yang selama ini berjuang tanpa kekerasan dan mengandalkan dukungan moral dari komunitas internasional.

Tak hanya dari dalam, suara kritis terhadap pendekatan Israel juga datang dari kawasan. Anwar Gargash, penasihat Presiden UEA, memperingatkan bahwa kawasan Timur Tengah tak bisa diubah melalui kekuatan dan konfrontasi. “Setiap bangsa yang merasa diserang akan membangun rasa persatuan,” katanya. Israel tampaknya lupa bahwa nasionalisme bukan milik satu negara saja. Ia bisa muncul di mana saja, bahkan di Iran, ketika rasa keberlangsungan hidup nasional diguncang oleh agresi luar.

Dalam analisis jangka menengah, bahkan jika rezim di Iran benar-benar berganti, hasilnya tak akan seperti yang diimpikan Netanyahu. Mohammad Ali Shabani, editor Amwaj News, memperingatkan bahwa kemungkinan yang lebih realistis justru terbentuknya pemerintahan militer bersenjata nuklir—bukan Iran yang liberal, demokratis, dan bersahabat dengan Barat. Sejarah di kawasan sudah cukup memberikan pelajaran: kehancuran rezim bukan berarti lahirnya harapan.

Pertanyaannya kini: jika bukan perubahan damai yang dituju, lalu apa sebenarnya agenda Netanyahu? Retorika “demokrasi” dan “kebebasan” yang dibarengi dengan pengeboman, pembunuhan warga sipil, dan penghancuran infrastruktur sipil hanya menunjukkan satu hal—bahwa seruan perubahan hanyalah bungkus dari ambisi hegemonik yang lebih dalam.

Dalam konteks Indonesia, pengalaman 1998 memberikan pelajaran berharga: perubahan sejati tidak datang dari bom dan tekanan asing, melainkan dari kesadaran kolektif dan gerakan akar rumput. Rakyat Indonesia tak pernah meminta intervensi luar untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Maka rakyat Iran pun berhak menentukan masa depannya sendiri, tanpa rudal-rudal yang mencabik rumah mereka.

Netanyahu mengira bisa menumbangkan Republik Islam Iran dengan rudal dan propaganda. Tapi bom-bom yang ia lepaskan tak menjatuhkan pemerintah Iran. Justru rakyat Iran yang selama ini terpecah, kini saling merangkul. Mereka tidak lagi bicara soal friksi faksi politik. Mereka bicara tentang tanah air. Tentang keluarga. Tentang bertahan hidup. Dan dalam situasi itu, mereka memilih bersatu. Bukan untuk melawan pemerintah, melainkan untuk melawan kehancuran yang datang dari langit.

Narasi yang dibayangkan Netanyahu runtuh oleh realitas yang dibentuk rakyat Iran sendiri: bahwa saat tanah yang dipijak diserang, maka pertengkaran dikesampingkan. Persatuanlah yang menjadi harga mati.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *