Opini
£3 Miliar untuk Perang, Inggris ke Mana Arahmu?

Inggris baru saja mengumumkan investasi militer besar-besaran senilai £3 miliar. Sebuah langkah yang mengundang decak kagum sekaligus kegelisahan. Menteri Pertahanan John Healey menyatakan, “Ini bagian dari kesiapan kami untuk berperang jika diperlukan.” Sebuah kalimat yang tak ringan—seolah menggambarkan bayang-bayang krisis global yang makin sulit ditepis.
Di tengah dunia yang bergolak, terutama dengan konflik Ukraina yang tak kunjung selesai, pernyataan itu terdengar seperti lonceng peringatan. Rusia diposisikan sebagai ancaman nyata yang mendekat. Meski Indonesia berada jauh dari jantung ketegangan itu, bukan berarti kita kebal dari dampaknya. Dalam era global yang terhubung rapat, pergerakan militer di satu titik dunia bisa bergaung hingga ke sudut-sudut pasar tradisional di negeri ini. Dunia terasa rapuh. Dan kesiapan perang—oleh sebagian negara—mulai dilihat sebagai jawaban atas kegelisahan kolektif. Tapi benarkah itu satu-satunya jalan?
Langkah Inggris bukan sekadar angka dalam neraca belanja negara. Rencana ini mencakup pembangunan enam pabrik amunisi baru, pengadaan 7.000 senjata jarak jauh buatan dalam negeri, dan revitalisasi industri galangan kapal angkatan laut. Tak hanya itu, sebesar £1,5 miliar akan dialokasikan untuk pembangunan perumahan militer—sebuah sinyal bahwa kesejahteraan prajurit ikut dipertimbangkan. Sisanya difokuskan untuk pabrik-pabrik amunisi dan energetik, yang diproyeksikan akan membuka sekitar 1.800 lapangan kerja.
Tentu saja ini bukan hanya soal militerisasi, tetapi juga soal ekonomi. Di tengah krisis biaya hidup yang melanda banyak negara—termasuk Indonesia, di mana harga beras dan bahan pokok terus menanjak—penambahan lapangan kerja bisa terlihat sebagai titik terang. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan: apa artinya pekerjaan baru jika ancaman konflik justru terus membayangi kehidupan sehari-hari?
Sebagai dasar dari langkah ini, Inggris akan merilis sebuah dokumen strategis setebal 130 halaman pada 2 Juni 2025. Dokumen ini disusun oleh tim yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal NATO, George Robertson. Dalam laporannya, Rusia digambarkan sebagai “ancaman segera dan mendesak”. Konflik Ukraina, yang meletus sejak 2022, dianggap sebagai pemicu utama dari ketegangan yang ada. Rusia, dengan kekuatan militer dan ekspansinya, dinilai mengganggu stabilitas Eropa. Di sisi lain, China disebut sebagai “tantangan canggih dan persisten”. Namun, fokus utama tetap tertuju ke arah Moskow.
Lebih dari itu, Inggris juga mulai membicarakan teknologi militer kelas berat—jet tempur Amerika yang mampu membawa senjata nuklir taktis serta sistem pertahanan anti-rudal tercanggih. Ini bukan lagi soal pertahanan konvensional. Ini adalah kesiapan untuk menghadapi skenario terburuk yang membuat siapa pun merinding membayangkannya.
Lantas, apa hubungannya dengan kita di Indonesia?
Jarak ribuan kilometer dari Ukraina tak lantas menjauhkan kita dari dampaknya. Blokade Rusia atas Laut Hitam, seperti dilaporkan The Guardian pada 9 Oktober 2022, telah menghambat ekspor gandum Ukraina—salah satu lumbung pangan dunia. Hasilnya? Harga pangan global melonjak. Dan seperti domino, efeknya terasa di pasar-pasar tradisional di Jakarta, Surabaya, bahkan pelosok daerah. Inflasi tak bisa dibendung.
Dampak lainnya pun menjalar. Menurut Daily Mail, harga gas di Eropa sempat melonjak drastis—dari 40 pence per therm pada 2021 menjadi £4,96 pada 2022. Di Indonesia, meski harga energi masih disubsidi, kenaikan harga BBM bisa memicu gejolak sosial, termasuk aksi unjuk rasa. Rakyat kecil kembali menjadi korban pertama dari naik-turunnya harga energi global. Dunia yang terhubung membuat krisis di satu tempat menjadi derita bersama.
Langkah Inggris juga mendapat dorongan dari NATO. Aliansi militer ini menuntut para anggotanya meningkatkan kontribusi, sejalan dengan tekanan dari Amerika Serikat. Mantan Presiden Donald Trump pernah mengecam anggota NATO yang “menumpang gratis”, dan hal itu tampaknya terus menjadi pertimbangan serius. Inggris kini menargetkan anggaran pertahanan sebesar 3% dari PDB pada 2034—kenaikan besar yang setara dengan tambahan lebih dari £10 miliar per tahun.
Kita pun bertanya-tanya: dengan dana sebesar itu, berapa banyak sekolah, rumah sakit, atau jalan desa yang bisa dibangun di Indonesia? Bagaimana jika dana itu dialihkan untuk energi terbarukan atau pendidikan? Uni Eropa bahkan berencana menggelontorkan €800 miliar untuk belanja militer, sementara NATO mulai mempertimbangkan target 5% dari PDB. Eropa sedang bersiap. Tapi untuk apa? Perang yang mungkin terjadi, atau hanya untuk mencegah?
Selain persenjataan, Inggris juga meluncurkan sejumlah inisiatif strategis lainnya. Salah satunya adalah program pengawasan bawah laut, untuk melindungi infrastruktur vital seperti kabel komunikasi. Dalam dunia digital saat ini, kabel-kabel bawah laut menjadi nadi konektivitas global. Bayangkan jika salah satu kabel di Selat Malaka—jalur penting internet Asia—disabotase. Dampaknya bisa melumpuhkan ekonomi digital Indonesia dalam hitungan jam.
Ada pula rencana membentuk unit sukarelawan Home Guard, yang bertugas melindungi bandara dari serangan drone dan ancaman siber. Ini mencerminkan wajah baru ancaman: bukan lagi hanya tank dan rudal, tetapi juga teknologi tak kasatmata yang bisa menyerang sistem perbankan, layanan pemerintah, bahkan data pribadi masyarakat. Serangan siber seperti yang baru-baru ini menimpa data publik Indonesia adalah contoh betapa rentannya kita terhadap peperangan jenis baru ini.
Namun, di tengah segala kesiapan ini, ada kegelisahan yang tak bisa diabaikan. Benarkah Rusia adalah ancaman sebesar itu? Lembaga seperti Quincy Institute, dalam laporan mereka pada 8 Juli 2024, mulai mempertanyakan narasi dominan ini. Apakah Rusia benar-benar memiliki kapasitas dan niat untuk menyerang NATO? Konflik di Ukraina memang nyata, tetapi label “ancaman Rusia” bisa saja dibesar-besarkan untuk mendukung agenda politik atau anggaran militer yang makin menggelembung.
Sementara itu, kehidupan warga Inggris juga menghadapi tekanan besar. Rata-rata tagihan energi rumah tangga mencapai £3.500 per tahun. Di Indonesia, buruh dan petani masih bergulat dengan upah yang stagnan, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah perhatian dan dana yang diarahkan ke sektor militer justru mengalihkan fokus dari krisis-krisis yang lebih mendesak dan nyata dalam kehidupan sehari-hari?
Refleksi dari ekonom Michael Hudson pada 3 April 2025 semakin mempertegas dilema ini. Ia menilai bahwa Eropa kini terjebak dalam logika Perang Dingin baru, dan justru mengabaikan krisis energi serta ekonomi yang sebagian disebabkan oleh kebijakan mereka sendiri. Di platform X (Twitter), sejumlah pengguna seperti @Gaudd pada 2 Juni 2025 juga mengangkat isu ini—menyebutnya sebagai strategi klasik: menciptakan “ancaman eksternal” untuk menutupi masalah internal.
Apakah ini hanya taktik pengalihan? Atau apakah memang ada bahaya nyata yang membutuhkan respons militer sebesar ini? Atlantic Council, dalam laporan pada 5 Maret 2025, mencatat bahwa total PDB negara-negara Uni Eropa mencapai lebih dari US\$12 triliun—jauh melampaui Rusia. Namun, kekhawatiran terhadap ambisi Presiden Vladimir Putin tetap menghantui.
Pada titik ini, kita diajak berpikir ulang: di mana batas keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan?
Inggris berjanji akan menciptakan 1.800 lapangan kerja lewat pembangunan pabrik amunisi. Tapi bagaimana jika dana sebesar itu justru digunakan untuk menciptakan masa depan yang lebih damai—melalui investasi pada pendidikan, energi terbarukan, atau program kesejahteraan sosial? Pertanyaan ini tidak hanya berlaku di Eropa. Di Indonesia, kita juga sering dihadapkan pada pilihan serupa—antara anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan dana bantuan langsung tunai. Atau antara belanja militer dan subsidi kesehatan.
CSIS, dalam laporan 27 Januari 2025, menekankan pentingnya NATO mencegah agresi Rusia. Tapi kita juga harus jujur bertanya: bagaimana jika justru kesiapan ini memicu eskalasi? Bagaimana jika retorika keamanan malah mempercepat spiral ketegangan?
Hari ini, 2 Juni 2025, dunia terasa benar-benar berada di persimpangan. Inggris, lewat investasi £3 miliarnya, sedang berusaha melindungi diri dari ancaman yang tampak—dan yang belum tampak. Rusia, konflik Ukraina, serta ketegangan geopolitik menjadi dalih utama. Tapi di sisi lain, rakyat—baik di Inggris, Indonesia, atau di mana pun—masih harus bergulat dengan tekanan hidup yang makin berat. Harga pangan, energi, dan ketimpangan ekonomi bukan sekadar statistik, melainkan kenyataan sehari-hari.
Mungkin yang kita butuhkan saat ini bukan lebih banyak senjata. Mungkin yang lebih mendesak adalah keberanian untuk menghadapi persoalan yang sudah ada di depan mata. Keseimbangan bukan hanya soal strategi militer, tapi juga soal arah peradaban.
Apa yang lebih penting hari ini: perang yang mungkin, atau kemanusiaan yang pasti terluka?