Connect with us

Analisis

Perang di Suriah, Pelarian Netanyahu dari Meja Hijau

Published

on

Benar-benar pemandangan yang megah: seorang perdana menteri duduk di bangku terdakwa, dikepung dakwaan korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan intervensi kebijakan luar negeri untuk urusan personal. Di depannya, jaksa penuntut mengangkat kembali skandal visa Arnon Milchan, sang produser sekaligus sahabat dekat yang kebetulan tahu terlalu banyak soal urusan dalam negeri dan luar negeri Israel. Tapi sebelum pertanyaan sempat menggigit lebih dalam, Netanyahu menerima amplop. Sebuah amplop. Disusul kabar bahwa Jenderal IDF datang langsung ke pengadilan. Dan seperti sinyal Tuhan turun dari langit, sang perdana menteri berdiri, meninggalkan kursi pesakitan, dan melangkah keluar—untuk menyelamatkan dunia, katanya.

Dalam waktu singkat, ledakan terdengar di Damaskus. Bukan metafora. Benar-benar ledakan. Markas besar Staf Umum Militer Suriah jadi sasaran. Israel, melalui Menteri Pertahanan yang tampak seperti komentator sepak bola jalur perang, menyampaikan: serangan ini untuk melindungi komunitas Druze di Suwayda. Persis seperti plot film superhero, di mana saat tokoh utama tersudut oleh kenyataan, muncul ledakan di kejauhan, lalu layar berganti menjadi latar perang.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dan publik pun lupa siapa terdakwa hari ini.

Ironisnya, tak ada yang menyangkal bahwa komunitas Druze di Suwayda tengah menghadapi situasi mengerikan. Foto-foto ulama mereka yang diculik, dicukur paksa kumisnya—simbol martabat bagi kaum Druze—dan dieksekusi, benar-benar menyesakkan. Tapi pertanyaan yang tak bisa ditunda: sejak kapan Israel—negara yang gemar mendirikan tembok dan menutup akses air untuk komunitas lain—mendadak menjadi pelindung minoritas? Apakah darah Druze baru terasa berharga saat bisa dijadikan tameng bagi pemimpin yang tengah tenggelam?

Netanyahu tampaknya punya bakat luar biasa untuk membaca peluang dari reruntuhan. Ia tahu betul bahwa perang adalah tempat terbaik untuk menanamkan kesan kepemimpinan. Tak peduli betapa rapuhnya legitimasinya di meja hijau, selama suara dentuman artileri lebih nyaring dari suara hakim, ia masih bisa tampil sebagai juru selamat.

Publik Israel pun disuguhkan pilihan yang sederhana: percayalah pada pemimpin yang bisa memerintahkan jet tempur menembus Damaskus, bukan pada jaksa yang hanya bisa membaca transkrip panggilan telepon. Dan memang, siapa yang tak lebih terkesan pada tombol peluncur rudal daripada berkas pengadilan?

Yang lebih menyedihkan: ini bukan pertama kalinya Netanyahu memainkan skenario ini. Saat Gaza dibombardir pada 2021, sidangnya juga tengah memanas. Saat serangan ke Jenin dan Nablus meningkat, ia sedang dikritik keras atas reformasi hukum yang memicu demo besar-besaran. Kini, saat namanya kembali muncul dalam gugatan intervensi visa yang menguntungkan sahabat bisnisnya, tiba-tiba Israel menyerang markas militer negara tetangga.

Kalau kebetulan bisa berulang sebanyak ini, barangkali bukan lagi kebetulan. Barangkali ini skenario.

Tentu saja, militer Israel tak menyebut ini sebagai intervensi. Kata-kata yang digunakan selalu lebih manis dari realitasnya: “perlindungan kemanusiaan”, “dukungan pada minoritas”, “tindakan pencegahan terhadap potensi kekejaman”. Tapi bahasa bisa menipu. Bahkan bedil bisa dijual sebagai bentuk belas kasih, jika narasi dibentuk dengan cukup rapi. Dan Israel, seperti kita tahu, adalah negara yang sangat ahli dalam menata narasi.

Yang menjadi korban tentu saja tak hanya warga Druze atau rakyat Suriah, tapi juga akal sehat. Sebab publik terus-menerus didorong untuk percaya bahwa seorang terdakwa bisa berubah menjadi penyelamat dalam hitungan menit, hanya karena menerima sebuah amplop dari perwira militer. Di panggung ini, absurditas bukan lagi kejutan—melainkan norma.

Sialnya, dunia pun tetap menonton, bahkan mungkin terkagum-kagum. Media global memberitakan eskalasi militer, bukan eskalasi korupsi. Opini publik digiring ke arah “kesiapan Israel untuk menanggapi krisis”, bukan ke arah “bagaimana Netanyahu lolos dari pengadilan dengan cara yang sangat sinematik.” Kita semua seperti penonton bioskop yang bersorak saat adegan ledakan, tapi lupa film ini awalnya tentang pencurian.

Bagi Netanyahu, sidang pengadilan hanya babak sampingan dari opera politik besar yang ia tulis sendiri. Ia tahu betul bagaimana caranya membuat dirinya tampak dibutuhkan: ciptakan krisis, lalu muncullah sebagai pemadamnya. Ulangi. Terus. Dan terus. Hingga publik tak lagi peduli siapa yang menyalakan api pertama.

Apakah ini berbeda dari gaya otokrat lain di berbagai belahan dunia? Tidak juga. Di berbagai tempat, dari Washington hingga Jakarta, dari Ankara hingga Doha, pemimpin kerap menari di atas reruntuhan untuk mempertahankan kursi mereka. Tapi Netanyahu memiliki panggung yang sangat khas: ia berdiri di atas tumpukan laporan intelijen, sanksi internasional, roket buatan sendiri, dan tentu saja—teater peradilan yang ditinggalkannya dengan mudah seperti meninggalkan ruang tunggu bandara.

Dan ya, publik pun seolah terbiasa. Seolah “perdana menteri keluar dari ruang sidang karena harus memimpin serangan ke negara lain” adalah bagian dari rutinitas. Leluconnya: jika pengadilan itu sendiri dianggap kurang penting dari rapat militer, lalu untuk siapa sebenarnya hukum dibuat?

Sebagian orang mungkin menganggap tulisan ini terlalu sinis. Tapi bagaimana bisa tidak sinis, jika realitas sudah jadi komedi gelap yang ditulis ulang setiap kali Netanyahu tersandung hukum? Seperti badut sirkus yang selalu jatuh tapi tak pernah cedera, ia bangkit, menyeka debu, lalu menunjuk ke langit: “Lihat, rudal itu bukan salahku!”

Dan sementara itu, para warga Druze di Suwayda benar-benar mati. Benar-benar terkepung. Benar-benar dikhianati oleh dunia yang sibuk menyaksikan Netanyahu keluar dari ruang sidang, bukan mendengar jeritan dari rumah-rumah yang hancur.

Apa yang lebih menyakitkan dari perang yang dijadikan panggung untuk menunda pengadilan?

Barangkali hanya satu: bahwa kita sudah terlalu sering melihatnya—dan tak lagi terkejut.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer