Connect with us

Analisis

Menuju Perang yang Tak Diinginkan: Amerika, Taiwan, dan Bara di Indo-Pasifik

Published

on

Di balik layar konferensi dan senyum diplomasi, ketegangan sedang disulam dengan benang-benang baja. Dunia sedang bergeser. Poros kekuasaan global tidak lagi berputar di sekitar Eropa Timur atau Timur Tengah, melainkan di suatu titik yang jauh lebih dekat bagi kita di Asia Tenggara: kawasan Indo-Pasifik.

Dan di tengah denyut politik yang makin berdebar itu, Amerika Serikat—melalui para arsitek kebijakan militernya—sedang menggeser pion-pion utama ke medan yang baru: Taiwan. Dengan diam-diam tapi pasti, sebuah perang potensial sedang dirancang, tidak selalu dengan niat terbuka, tapi dengan asumsi, skenario, dan simulasi yang kian nyata. Pertanyaannya: siapkah kawasan ini membayar harga dari obsesi global sebuah imperium?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Langkah Diam Amerika dan Bayangan Perang di Timur

Sebuah memo internal yang bocor ke Wall Street Journal membuka tabir gelap dari strategi baru Pentagon. Elbridge Colby, tokoh utama yang dulu membantu menyusun strategi pertahanan terhadap China, kini memimpin upaya pengalihan prioritas militer AS dari Ukraina ke Taiwan. Isinya sederhana tapi menggetarkan: permintaan Ukraina untuk senjata dianggap membebani stok persenjataan AS, dan oleh karena itu, alokasi harus digeser ke arah yang lebih strategis—ke arah Barat Pasifik, ke Asia, ke titik api baru yang bernama Selat Taiwan.

Tapi memo itu bukan sekadar catatan teknokratis. Ia adalah sinyal. Sinyal bahwa Washington sedang menghitung ulang prioritasnya. Bukan lagi soal membela demokrasi Ukraina dari invasi Rusia, melainkan membendung kebangkitan China dengan segala cara.

Dan seiring memo itu beredar di Pentagon, kapal-kapal perang AS mulai bermanuver lebih sering di Laut China Selatan, pertemuan militer dengan Jepang dan Australia dipercepat, dan permintaan yang lebih menekan mulai muncul: Apa yang akan kalian lakukan jika kami berperang dengan China?

Jepang dan Australia: Sekutu yang Terjebak?

Bagi Tokyo dan Canberra, permintaan itu datang seperti tamparan. Mereka adalah sekutu, ya. Tapi bahkan dalam relasi aliansi, ada batasan, ada ruang untuk kedaulatan keputusan. Namun Colby—dan Trump yang kini kembali menggenggam kekuasaan—tak mau menunggu. Mereka menuntut komitmen: berapa pasukan yang akan kalian kirim? Di mana kalian akan beroperasi? Siapkah kalian berperang jika kami memberi isyarat?

Pemerintah Jepang mencoba menjaga wajah. “Kami akan mempertimbangkan dengan merujuk pada konstitusi dan hukum internasional,” jawab mereka dingin. Australia lebih lugas: “Kami tidak menanggapi pertanyaan hipotetis.”

Tapi tekanan tetap datang. Bahkan pertemuan tingkat tinggi Jepang–AS dibatalkan setelah Colby—tanpa pemberitahuan—menuntut peningkatan belanja militer yang lebih besar dari Tokyo. Ini bukan lagi diplomasi antara teman, tapi transaksi kekuatan yang dingin dan penuh tekanan.

Ambiguitas yang Hilang, Damai yang Rawan

Selama puluhan tahun, AS menjalankan kebijakan “strategic ambiguity” soal Taiwan. Mereka tidak pernah terang-terangan menyatakan akan membela Taiwan jika diserang, tapi juga tidak pernah menutup kemungkinan itu. Ambiguitas ini adalah benteng stabilitas, sebuah keseimbangan psikologis yang membuat China berpikir dua kali untuk menyerbu, dan Taiwan tidak terlalu berani memprovokasi.

Namun Colby dan Trump mulai menggoyang fondasi itu. Mereka ingin kejelasan dari sekutu, ingin latihan militer yang spesifik untuk skenario perang Taiwan, ingin belanja militer yang melonjak drastis. Tapi mereka sendiri tetap diam soal apa yang akan dilakukan AS jika perang benar-benar pecah.

Sungguh sebuah ironi pahit: Washington menuntut loyalitas dari sekutu, tapi tidak memberi komitmen penuh. Lalu siapa yang akan memikul beban bila konflik pecah? Siapa yang akan menanggung kerusakan, kehancuran, dan darah yang tumpah di Laut China Selatan?

Bara yang Ditiup dari Jauh

Konflik bukan hanya soal senjata dan strategi. Ia adalah hasil dari psikologi ketakutan yang dikelola secara sistematis. Ketika Pentagon mengirim kapal induk ke Laut China Selatan, ketika latihan perang disimulasikan dekat dengan wilayah China, ketika sekutu diminta bersiap tanpa jaminan—maka ini bukan lagi upaya untuk menjaga perdamaian. Ini adalah upaya untuk mempersiapkan konflik, dengan harapan bahwa kekuatan akan mencegahnya.

Tapi sejarah tidak pernah setia pada logika kekuatan semata. Perang Dunia I meletus bukan karena keinginan besar, tapi karena perhitungan-perhitungan kecil yang meleset. Insiden kecil, kesalahpahaman tak disengaja, atau provokasi lokal bisa memicu badai yang melumat semua.

Dan kita, di Asia, akan menjadi tanahnya. Tanah tempat kapal-kapal asing akan berlayar. Tempat drone-drone berseliweran. Tempat roket-roket akan menghantam. Semua itu demi agenda geopolitik yang disusun ribuan mil jauhnya.

Indonesia dan Kawasan: Diam atau Bersikap?

Lalu di mana Indonesia? Di mana ASEAN? Kita berada di titik yang paling strategis dan paling rawan. Laut Natuna Utara makin ramai dengan kapal. Hubungan dagang dengan China sangat besar. Tapi di saat yang sama, tekanan untuk bergabung dalam poros pertahanan AS juga meningkat.

Jika kawasan ini diam, maka kita akan menjadi panggung yang pasif dari konflik yang ditulis oleh negara-negara besar. Kita akan menjadi penonton yang dilumatkan. Tapi jika kita bersikap, jika kita mendorong arsitektur keamanan regional yang mandiri, jika kita membangun diplomasi aktif yang menolak provokasi dari dua sisi, maka ada harapan bahwa Indo-Pasifik bisa tetap damai, bukan jadi ladang tempur baru dalam Perang Dingin modern.

Penutup: Jalan yang Belum Terlambat

Apa yang sedang dilakukan AS di Indo-Pasifik adalah pergeseran poros kekuasaan militer global yang sangat serius. Tidak salah jika mereka ingin menjaga kepentingannya. Tapi salah jika itu dilakukan dengan memprovokasi sekutu, menyebarkan ketakutan, dan menuntut komitmen tanpa kejelasan.

Dan salah pula jika negara-negara kawasan—termasuk kita—tidak bersuara.

Masih ada waktu untuk mendorong diplomasi, membangun koalisi damai, dan menegaskan bahwa Indo-Pasifik bukan zona konflik yang menunggu meledak. Tapi waktu itu tidak banyak. Karena detak jam perang tidak pernah menunggu logika. Ia berdetak bersama hasrat kekuasaan dan nafsu supremasi.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer