Analisis
Membongkar Misteri Jatuhnya Damaskus

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Pada 8 Desember 2024, dunia dikejutkan dengan jatuhnya Damaskus, ibu kota Suriah, ke tangan kelompok pemberontak. Kejadian ini tak hanya mengguncang masyarakat Suriah, tetapi juga merubah lanskap geopolitik kawasan Timur Tengah secara signifikan. Banyak yang bertanya, mengapa Suriah bisa jatuh begitu cepat setelah bertahan selama lebih dari satu dekade? Dan, kemana peran Iran dalam peristiwa ini?
Sejak enam bulan sebelumnya, Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei, telah memperingatkan Bashar al-Assad tentang potensi kebangkitan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dikenal sebagai salah satu kelompok pemberontak utama yang mendapat dukungan dari Turki. Iran, yang selama ini menjadi sekutu utama Assad, sudah memberi amaran bahwa ancaman tersebut bisa menghancurkan kekuasaan Assad. Namun, Assad memilih untuk mengabaikan peringatan ini, yang kemudian terbukti menjadi keputusan fatal.
Sejak kekalahan ISIS pada 2017, kekuatan rezim Assad semakin melemah. Iran, yang awalnya berperan sebagai penasihat dan memberikan dukungan militer terbatas, mulai mengurangi kehadirannya di Suriah setelah ISIS berhasil dihancurkan. Meskipun demikian, Assad justru mulai bergantung pada negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Keputusan ini menyebabkan berkurangnya pengaruh Iran yang selama ini menjadi penopang utama pemerintahan Assad.
Seiring dengan berjalannya waktu, Assad semakin cenderung menjauh dari Iran dan beralih mendekatkan diri dengan negara-negara Arab, terutama negara-negara GCC (Kerjasama Teluk). Pada pertemuan terakhirnya dengan Pemimpin Iran pada 10 Juni 2024, Khamenei memperingatkan Assad dengan sangat jelas: “Barat dan sekutunya berusaha menggulingkan sistem politik Suriah melalui perang, namun mereka gagal. Sekarang mereka berusaha mencapainya dengan cara lain, termasuk perang hibrida, dan janji-janji kosong yang tidak akan pernah mereka tepati.” Meskipun peringatan ini disampaikan dengan tegas, Assad justru termakan janji-janji manis negara-negara Arab yang berjanji untuk mendukung stabilitas Suriah, namun pada kenyataannya, mereka tidak memberikan dukungan nyata.
Moral pasukan Suriah yang semakin menurun juga menjadi faktor besar dalam kejatuhan Damaskus. Tentara Suriah, yang sebelumnya berjuang dengan semangat tinggi dalam menghadapi ISIS, kini tampak lesu dan kehilangan motivasi untuk bertempur, terutama dengan bertambahnya jumlah kelompok pemberontak yang semakin kuat. Kekalahan di berbagai wilayah, terutama di Aleppo, menjadi bukti nyata bahwa pasukan Assad semakin kehilangan dukungan dari masyarakat lokal yang mulai beralih mendukung pemberontak. Selain itu, ketersediaan pasukan yang semakin terbatas dan kelelahan pasukan yang terlibat dalam konflik selama bertahun-tahun menjadi faktor penting dalam menurunnya moral militer Suriah.
Sementara itu, pemberontak yang mendapatkan dukungan dari Turki semakin terorganisir dan melakukan serangan-serangan terencana yang semakin mendekatkan mereka ke Damaskus. Kelompok pemberontak ini tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga memanfaatkan strategi perang hibrida, seperti perang informasi dan propaganda yang berhasil mengubah pandangan publik terhadap Assad. Strategi hybrid warfare ini juga melibatkan kampanye media sosial yang kuat, yang menggerakkan sentimen publik untuk menentang rezim Assad, memperburuk ketegangan sosial yang sudah ada, serta menciptakan ketidakstabilan internal di Suriah.
Pada minggu pertama Desember 2024, pemberontak berhasil menguasai sebagian besar wilayah penting di sekitar Damaskus. Ketika serangan tersebut mencapai puncaknya pada 8 Desember, pasukan Assad yang sudah terpecah belah dan tidak terlatih dengan baik, gagal memberikan perlawanan yang berarti dan memilih menurunkan senjata. Dalam waktu singkat, Damaskus jatuh ke tangan pemberontak.
Iran, yang sejak awal berperan sebagai sekutu utama Assad, sudah memberikan peringatan mengenai ancaman yang datang. Bahkan, dua minggu sebelum kejadian ini, Ali Larijani, utusan khusus Iran, dilaporkan menawarkan kondisi tertentu kepada Assad untuk memperkuat posisi pertahanannya, namun Assad menolaknya. Di sisi lain, meskipun Iran mengetahui ancaman yang akan datang, mereka memilih untuk tidak langsung turun tangan dalam bentuk dukungan militer penuh, karena Assad sendiri sudah mulai menghindari bantuan langsung dari Iran dan lebih memilih untuk mengikuti arahan negara-negara Arab.
Janji-janji kosong yang diterima Assad dari negara-negara Teluk tidak pernah terbukti. Negara-negara Arab, yang menjanjikan dukungan politik dan ekonomi serta penghapusan sanksi terhadap Suriah, ternyata hanya memberikan janji-janji yang tidak diikuti tindakan nyata. Negara-negara Arab, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dengan tegas berkomitmen untuk mendukung stabilitas Suriah dan membantu pemulihan ekonomi, namun tidak ada bantuan nyata yang diberikan. Janji untuk mencabut sanksi ekonomi dan memberikan bantuan pemulihan infrastruktur tidak pernah dilaksanakan. Bahkan, Turki, yang seharusnya menjadi mitra kunci dalam mencapai stabilitas, justru memainkan peran ambigu dengan mendukung kelompok pemberontak dan memperburuk keadaan di Suriah.
Assad seharusnya menyadari bahwa negara-negara ini lebih tertarik pada kepentingan mereka sendiri dan tidak memberikan dukungan nyata ketika benar-benar dibutuhkan. Iran, meskipun menahan diri untuk tidak terlibat langsung, terus berusaha mengingatkan Assad akan bahaya yang semakin dekat, namun semuanya terlambat.
Pada akhirnya, Assad harus meninggalkan Damaskus dan melarikan diri bersama keluarganya pada 8 Desember 2024, setelah pasukan pemberontak berhasil memasuki pusat kota. Kejatuhan Damaskus ini menandai berakhirnya pemerintahan Assad setelah lebih dari satu dekade perang yang penuh kekerasan dan kehancuran. Rezimnya yang didukung oleh Iran, namun terjebak dalam janji kosong dari negara-negara Arab, harus tumbang begitu saja.
Keputusan Assad untuk lebih mengandalkan negara-negara Arab, meskipun telah diperingatkan oleh Iran, menjadi kesalahan fatal yang mempercepat kejatuhannya. Janji-janji kosong yang ditawarkan oleh negara-negara Teluk ternyata tidak dapat diandalkan. Kejatuhan Damaskus menunjukkan betapa pentingnya keputusan politik dan kepercayaan terhadap sekutu yang benar-benar dapat memberikan dukungan, bukan hanya janji belaka. Sementara itu, ketidakmampuan Assad untuk mendengarkan peringatan dari Iran dan kurangnya kesiapan internal pasukannya membuatnya terperangkap dalam serangan yang terorganisir dengan baik. Kini, Suriah menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, dengan transisi menuju perdamaian yang harus melalui berbagai tantangan besar.[]