Analisis
Dolar Amerika yang Terbakar di Gaza dan Tel Aviv

Bloomberg baru saja mengabarkan sesuatu yang membuat dahi berkerut: Pentagon tengah meminta dana darurat lebih dari 3,5 miliar dolar untuk mengisi ulang persenjataan yang habis terbakar di langit Gaza dan Tel Aviv. Ya, terbakar—bukan sekadar digunakan. Setiap kali sebuah rudal pencegat ditembakkan, bukan hanya mesiu yang meledak, tetapi juga lembaran dolar yang hilang dalam kepulan asap. Kata “emergency” berulang di dokumen anggaran itu, seolah-olah tanpa tambahan miliaran dolar, Israel tak akan sanggup bertahan sehari pun.
Saya rasa, di sinilah absurditas itu terasa menusuk. Sebuah negara yang menyebut dirinya superpower justru terjebak dalam siklus isi ulang senjata demi menjaga sekutu kecil yang katanya kuat tapi ternyata rapuh. Ironi ini semakin kentara saat kita menelisik angka-angka detailnya. Satu miliar dolar hanya untuk sistem SM-3 buatan RTX, yang ditembakkan dari kapal perusak AS di laut. Dua ratus juta lebih dialokasikan untuk THAAD dari Lockheed Martin. Belum lagi biaya radar, kapal perang, transportasi amunisi, dan semua yang menyertainya. Semua dihitung dalam satuan miliar, seperti angka-angka di layar kalkulator raksasa yang tak pernah berhenti berputar.
Perbandingan sederhananya: sejak Oktober 2023, Amerika sudah meluncurkan 268 SM-2, 159 SM-3, dan 280 SM-6. Angka-angka yang mungkin terdengar teknis, dingin, dan tanpa emosi. Namun jika kita ubah bahasanya, itu berarti ratusan kali tombol peluncur ditekan, ratusan kali ledakan mewarnai langit, dan miliaran dolar meleleh dalam hitungan detik. Semua demi mencegat rudal yang diluncurkan Iran atau sekutunya, yang biaya produksinya jauh lebih murah. Perbandingannya begitu timpang, seperti membakar uang seratus ribu untuk menangkis lemparan batu.
Inilah momen yang membuat kita bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang dilindungi Amerika? Israel, atau industri senjata mereka sendiri? Karena setiap perang yang meletus, setiap rudal yang ditembakkan, artinya kontrak baru, pesanan baru, laporan keuangan perusahaan senjata yang menanjak. Pentagon meminta tambahan 3,5 miliar dolar, dan itu artinya Lockheed Martin, RTX, dan lainnya kembali tersenyum di balik meja rapat. Amerika tampil seolah-olah sedang menjadi pelindung demokrasi, tapi pada kenyataannya ia juga bertindak sebagai kasir tetap bagi industri perang.
Dan logika biaya ini semakin absurd ketika kita lihat stok rudal Amerika. Pada Oktober 2023, mereka punya 9.100 SM-2, 400 SM-3, dan 1.500 SM-6. Kini, hanya kurang dari dua tahun, persediaan itu tergerus signifikan. SM-3 menyusut sepertiga, SM-6 berkurang hampir seperlima. Untuk THAAD, seperempat dari total produksi sudah habis ditembakkan hanya dalam satu perang di bulan Juni 2025. Bayangkan, seperempat stok nasional lenyap dalam satu babak konflik. Jika perang baru meletus, babak berikutnya bisa lebih brutal, lebih cepat, dan tentu saja lebih mahal.
Ada sindiran pahit di sini: negara sebesar Amerika bisa kehabisan stok rudal, sementara lawan yang mereka cap “nakal” justru selalu punya cara untuk menembakkan rudal baru. Iran, misalnya, mampu melepaskan 500 rudal balistik hanya dalam rentang sebelas hari pada Juni lalu. Mereka masih menegaskan siap menyerang kapan saja. Bedanya, biaya Iran untuk meluncurkan 500 rudal mungkin hanya setara dengan harga segelintir interceptor (rudal pencegat) Amerika. Inilah duel paling ironis abad ini: orang kaya yang membakar jutaan dolar hanya untuk menepis serangan murah dari tetangganya.
Kita di sini, jauh dari Tel Aviv dan Teheran, bisa belajar sesuatu dari tontonan mahal ini. Bahwa perang modern bukan hanya soal siapa yang punya senjata lebih canggih, tapi juga siapa yang bisa bertahan menghadapi kebocoran dana. “Bangkrut” menjadi istilah metaforis yang pas. Amerika memang tak akan bangkrut secara teknis karena bisa terus mencetak dolar, tapi secara politik dan moral, mereka sedang bangkrut. Bangkrut karena membuang miliaran untuk perang yang bukan milik rakyatnya, sementara masalah domestik di negeri sendiri semakin menggunung.
Ironinya, di tengah derasnya dolar yang terbakar, Israel mulai panik. Bloomberg menulis bahwa Tel Aviv kini mempercepat pengembangan sistem pertahanan mandirinya. Itu pertanda jelas: mereka sadar Washington tak akan selamanya sanggup menjadi payung. Ada batas stok, ada batas produksi, ada batas kesabaran rakyat Amerika. Namun, selama masih ada cek dari Pentagon, Israel tetap bisa tidur lebih nyenyak, setidaknya sampai rudal berikutnya datang.
Mari kita sejenak bertanya: apa arti 3,5 miliar dolar dalam kehidupan nyata? Itu bisa membangun ribuan sekolah, membuka lapangan kerja, mendanai pendidikan, bahkan menyediakan rumah sakit gratis untuk ratusan ribu orang. Tetapi semua itu sirna begitu saja karena kata “Israel” masuk dalam catatan anggaran darurat. Jika pemerintah kita di Indonesia mengajukan dana darurat miliaran hanya untuk melindungi satu kota, sementara rakyat lain masih kesulitan mencari air bersih, sudah pasti akan muncul protes besar-besaran. Namun di Amerika, kritik semacam itu sering tertutup oleh jargon “membela demokrasi” atau “melindungi sekutu.” Padahal, intinya sederhana: uang rakyat Amerika sedang terbakar di langit Gaza dan Tel Aviv.
Dan perang berikutnya, jika analisis Trita Parsi benar, akan lebih berdarah. Iran diperkirakan tidak lagi bermain dengan strategi jangka panjang, tapi justru menyerang habis-habisan di awal. Itu artinya lebih banyak rudal ditembakkan, lebih banyak interceptor diledakkan, dan tentu lebih banyak dolar meledak di udara. Siklusnya jelas: perang, dolar terbakar, stok habis, Pentagon mengetuk Kongres, kontrak baru ditandatangani, dan industri senjata kembali berpesta.
Inilah panggung politik global hari ini, sebuah tragedi sekaligus komedi. Amerika, dengan semua klaim kekuatannya, tampak seperti sahabat lama yang terus-menerus dipalak. Setiap kali ia memberi, ia semakin terikat, semakin lelah, semakin kehilangan arah. Bangkrut bukan karena tidak punya uang, tapi karena salah menaruh prioritas. Bangkrut bukan karena tidak mampu membayar, tapi karena lupa apa sebenarnya yang harus diperjuangkan.
Saya rasa, kita semua tahu jawabannya, meski sering enggan menyebutnya lantang: ini bukan sekadar tentang keamanan Israel, tapi tentang bisnis senjata. Perang adalah pasar, rudal adalah komoditas, dan Israel adalah alasan paling efektif untuk menguras anggaran tanpa banyak debat.
Pada akhirnya, perang Iran–Israel adalah arena di mana Amerika membakar dolarnya sendiri demi mempertahankan ilusi kekuasaan. Ilusi bahwa mereka masih bisa mengatur dunia, meski kenyataannya mereka sedang berdarah secara ekonomi. Bangkrut dalam tanda kutip, tapi tetap bangkrut dalam makna yang paling manusiawi: kehilangan akal sehat, kehilangan rasa adil, dan kehilangan prioritas untuk rakyatnya sendiri.