Connect with us

Analisis

David’s Corridor: Jalan Sunyi Menuju Greater Israel

Published

on

Langit politik Timur Tengah tampak penuh retakan yang semakin menganga. Seorang menteri luar negeri Suriah duduk berhadap-hadapan dengan seorang menteri Israel, membicarakan bagaimana caranya agar Hizbullah dan Iran tidak punya jejak di selatan Suriah. Pertemuan yang oleh sebagian orang mungkin dianggap diplomasi biasa, padahal justru mencerminkan absurditas realitas: negara yang selama ini dikenal sebagai benteng perlawanan, kini tampak rela membuka pintu bagi musuh lamanya. Saya rasa, ada semacam ironi pahit di sini, sebuah drama yang lebih mendekati sandiwara daripada diplomasi.

Kita tahu, Israel menuntut lebih dari sekadar “keamanan perbatasan.” Selama puluhan tahun, Tel Aviv membungkus ambisinya dengan alasan keamanan, tapi hasilnya selalu sama: ekspansi tanpa henti. Kini, dalihnya adalah “menjaga Druze di Suwayda,” sebuah alasan yang terdengar manis tapi sesungguhnya adalah pintu masuk untuk agenda jauh lebih besar: David’s Corridor. Nama yang mungkin terdengar indah, seolah jalan ziarah kuno, padahal ia adalah jalur politik ekspansionis yang berambisi menghubungkan Israel ke Irak dan bahkan Teluk Persia. Jika kita mau jujur, ini bukan soal kemanusiaan; ini soal geopolitik dengan aroma kolonial gaya baru.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

David’s Corridor menjadi penting karena ia bukan hanya jalan darat, melainkan jalan ideologi. Bayangkan sebuah jalur yang membelah Suriah, menghubungkan Israel dengan wilayah Kurdi di utara yang dilindungi AS, lalu menembus Irak hingga menjangkau Teluk. Jalur itu tidak hanya memutus suplai senjata bagi Hizbullah, tapi juga mengubah peta kekuatan kawasan. Dan ironisnya, Suriah kini tampak digiring untuk mengiyakan proyek ini, meski dengan bungkus kemanusiaan yang tampak anggun. Seperti seseorang yang diberi segelas madu, padahal di dalamnya bercampur racun yang pelan-pelan melumpuhkan.

Saya teringat bagaimana Israel dulu selalu menggembar-gemborkan bahaya dari perlawanan bersenjata. Hizbullah, Iran, Hamas—semua digambarkan sebagai ancaman eksistensial. Tapi lihat sekarang, siapa yang benar-benar sedang menekan Suriah agar justru menyingkirkan sekutu-sekutu lamanya? Israel tak lagi sekadar menuding; ia sudah duduk semeja dengan Damaskus untuk merancang masa depan wilayah selatan Suriah. Betapa ironis, jika rezim yang pernah berdiri gagah dengan slogan perlawanan kini justru ikut menutup jalan bagi logistik perlawanan sendiri. Rasanya seperti seorang penjaga rumah yang dengan sadar membuka pintu untuk maling, asal tidak terlalu berisik.

Yang lebih menggelitik, Netanyahu beberapa hari lalu bicara terang-terangan soal mimpi “Greater Israel” di sebuah wawancara dengan channel i24. Banyak orang menanggapinya sebagai retorika politik domestik, bumbu kampanye untuk memuaskan pendukung garis keras. Tapi ketika pernyataan itu disandingkan dengan pertemuan Suriah–Israel yang membicarakan zona terbatas di selatan, aroma konspirasi bukan lagi sekadar teori. Inilah jalan sunyi yang sedang dirintis Netanyahu: bukan lewat perang terbuka, tapi lewat koridor kemanusiaan yang dikawal Amerika, yang pelan-pelan membentuk jalur darat strategis. Sebuah proyek yang dengan halus menyalakan lilin bagi bayangan Greater Israel.

Lalu, bagaimana dengan nasib Druze di Suwayda yang katanya dilindungi? Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahwa Israel jarang benar-benar peduli pada minoritas kecuali jika bisa dijadikan alat tawar. Sama seperti ketika isu Kurdi dipakai untuk menekan Irak dan Suriah, kini Druze dijadikan alasan mulia untuk membuka koridor. Padahal yang mereka butuhkan adalah stabilitas dan jaminan kehidupan, bukan menjadi pion dalam papan catur geopolitik. Kita di Indonesia tentu paham logika ini: berapa sering rakyat kecil dijadikan tameng untuk agenda elit, seolah demi kesejahteraan, padahal demi proyek yang hanya menguntungkan segelintir.

Ironi berikutnya adalah bagaimana Suriah, yang sejak lama menjadi arteri utama Poros Perlawanan justru dipaksa menutup jalur itu sendiri. Iran, Hizbullah, bahkan Palestina, akan semakin kesulitan menyalurkan logistik perlawanan jika David’s Corridor benar-benar terwujud. Jalur yang dulunya menjadi nadi perlawanan akan dipotong, diganti dengan koridor baru yang justru menguntungkan Tel Aviv. Seperti seseorang yang menukar pedang dengan rantai, dengan alasan keamanan, padahal tahu betul rantai itu kelak akan mencekiknya.

Kita bisa membayangkan betapa gembiranya Netanyahu dengan perkembangan ini. Ia bisa tampil di hadapan publik Israel dan berkata: lihat, tanpa perang besar pun kita bisa menundukkan Suriah. Tanpa menyalakan bom setiap hari, kita bisa membuat Damaskus ikut menjaga perbatasan dari Iran dan Hizbullah. Dan jika koridor ke Druze benar-benar dibuka, itu akan menjadi langkah simbolis: Israel berhasil menancapkan pengaruhnya langsung di jantung Suriah, di bawah restu Amerika, tanpa protes keras dari komunitas internasional. Dunia akan melihatnya sebagai proyek kemanusiaan, padahal di baliknya ada desain geopolitik yang ambisius.

Saya rasa, absurditas terbesar ada pada sikap Suriah sendiri. Negara yang selama ini berteriak tentang perlawanan kini justru meredam kelompok Palestina di dalam negeri, bahkan mencegah aliran senjata ke Hizbullah. Jika benar Presiden Ahmad al-Sharaa—pengganti Bashar al-Assad—sudah menyampaikan minat untuk normalisasi dengan Israel, maka kita sedang menyaksikan sebuah babak baru: Suriah beralih dari benteng perlawanan menjadi buffer zone (wilayah penyangga) yang jinak di bawah orbit Amerika dan Israel. Dan jika ini benar terjadi, dampaknya tak hanya pada peta militer, tapi juga pada moral perlawanan. Karena siapa lagi yang bisa diandalkan jika Suriah pun menyerah?

Di sinilah kita harus membaca David’s Corridor bukan hanya sebagai jalan fisik, tapi juga sebagai jalan simbolik. Jalan yang memisahkan masa lalu perlawanan dengan masa depan kompromi. Jalan yang, jika terbuka, akan memaksa Iran dan Hizbullah mencari cara baru untuk bertahan. Jalan yang akan membuat Palestina semakin terisolasi, karena satu-satunya jalur darat besar yang tersisa ditutup atas nama stabilitas. Dan jalan itu, perlahan tapi pasti, semakin nyata setiap kali pejabat Suriah duduk semeja dengan pejabat Israel.

Bagi kita yang jauh di Indonesia, mungkin semua ini terasa seperti drama jauh di negeri orang. Tapi coba bayangkan jika negeri ini suatu hari berunding dengan penjajah yang merebut Papua, lalu dengan dalih melindungi satu kelompok kecil kita rela membuka koridor bagi kepentingan mereka. Apa yang akan kita rasakan? Marah? Sedih? Atau justru getir, karena kita tahu pengkhianatan seringkali dibungkus dengan kata-kata manis? Itulah yang sedang terjadi di Suriah.

David’s Corridor adalah mimpi panjang Tel Aviv, dan kini langkah-langkah kecil menuju ke sana sudah diambil. Netanyahu tak perlu lagi menyalakan perang besar; cukup memelihara konflik kecil, cukup memanfaatkan isu minoritas, cukup menampilkan wajah kemanusiaan. Sementara Suriah, yang dulu menjadi penghalang, kini justru berpotensi menjadi jembatan. Dan kita semua tahu, jembatan bukanlah bangunan netral: ia selalu menghubungkan dua kepentingan, dan dalam kasus ini, jelas siapa yang lebih diuntungkan.

Pada akhirnya, absurditas ini akan tercatat dalam sejarah. Bahwa sebuah rezim yang lahir dari semboyan perlawanan bisa tergoda untuk membuka jalan bagi proyek Greater Israel. Bahwa sebuah koridor yang katanya kemanusiaan bisa berubah menjadi jalan ekspansi. Dan bahwa Netanyahu, dengan senyum sinisnya, bisa berkata pada dunia: mimpi Greater Israel semakin dekat, dan jalannya bernama David’s Corridor. Kita hanya bisa berharap, jalan ini kelak terbukti lebih rapuh dari yang dibayangkan, karena jika tidak, maka peta Timur Tengah akan berubah selamanya—dan perubahan itu jelas bukan ke arah yang lebih adil.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Suriah dan Israel: Stabilitas atau Penyerahan?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer