Connect with us

Opini

Inggris Berguru pada Ilmu Perang Gagal

Published

on

Ada sebuah ironi yang begitu telanjang, tapi justru itulah yang membuatnya terasa menyakitkan. Di satu sisi, dunia menyaksikan bagaimana militer Israel dengan segala kecanggihan teknologinya, dengan drone yang merajai langit dan sistem intelijen yang diklaim paling mumpuni, tetap gagal menaklukkan Gaza. Dua tahun lebih, mereka menyalakan mesin perang raksasa, tetapi yang dihadapi hanyalah kota-kota hancur, ribuan warga sipil terbunuh, dan sebuah kelompok perlawanan yang entah bagaimana tetap bertahan. Di sisi lain, Inggris, sebuah negara dengan tradisi militer panjang, sedang bersiap menandatangani kontrak bernilai $2,7 miliar dengan Elbit Systems—perusahaan senjata terbesar Israel yang menjadi tulang punggung operasi militer tersebut—untuk melatih 60 ribu tentaranya setiap tahun. Jika ini bukan sebuah paradoks, lalu apa?

Saya rasa publik Inggris sendiri pasti bisa merasakan getirnya logika ini. Bagaimana mungkin sebuah negara yang katanya modern dan beradab rela menyerahkan masa depan pelatihan militernya pada perusahaan yang reputasinya justru dibangun di atas reruntuhan Gaza? Elbit adalah pemasok 85 persen drone dan perangkat keras darat Israel. Senjata-senjata yang mereka produksi bukan hanya diuji di laboratorium, melainkan langsung di tubuh rakyat Palestina. Dan dari situ pula Elbit menjual produknya ke dunia dengan label yang terdengar gagah: combat proven. Teruji di medan tempur. Ya, teruji di atas penderitaan orang lain.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi mari kita gali lebih dalam absurditas ini. Israel, meski menebar bom dan roket tanpa henti, gagal mencapai target utamanya: menghapus Hamas. Faktanya, Hamas tetap eksis, bahkan masih bisa meluncurkan serangan roket. Jadi pertanyaan sederhana pun muncul: untuk apa Inggris membeli ilmu perang dari pihak yang bahkan tak mampu meraih kemenangan nyata melawan kelompok perlawanan di sebuah wilayah kecil? Seperti seorang murid yang membayar mahal untuk belajar dari guru yang tak pernah lulus ujian, MoD tampak rela membuang miliaran dolar demi menyerap taktik yang pada kenyataannya buntu.

Bayangkan jika analogi ini diterjemahkan ke dunia sehari-hari. Itu seperti seseorang yang rela membeli resep masakan dari seorang koki yang berkali-kali gagal membuat hidangan enak, hanya karena resep itu terkenal “sering dipakai.” Atau seperti seorang pelajar yang ikut les privat pada guru yang terkenal keras, padahal nilai murid-muridnya selalu jeblok. Kita mungkin akan mengernyitkan dahi, lalu tertawa kecut, sambil bertanya: benarkah ini pilihan yang masuk akal?

Namun, jangan salah kira. Tentu saja bukan hanya soal militer murni. Ada kepentingan politik, bisnis, dan geopolitik yang melingkar di balik kontrak ini. Inggris, dengan segala retorikanya tentang kemanusiaan, jelas lebih memilih menjaga kedekatan dengan sekutu strategisnya ketimbang mendengarkan nurani publik. Apalagi, Elbit bukan pemain baru. Cabangnya di Inggris sejak 2023 sudah mengelola Project Vulcan, program pelatihan berbasis simulasi untuk kru tank dengan nilai kontrak £57 juta. Jadi kontrak $2,7 miliar ini bukan lompatan tiba-tiba, melainkan eskalasi hubungan yang sudah lama dipupuk.

Tetapi tetap saja, paradoksnya terlalu kentara untuk disembunyikan. Di saat yang sama, pemerintah Inggris sempat membekukan 30 lisensi ekspor senjata ke Israel karena khawatir akan digunakan untuk melanggar hukum internasional. Tetapi lisensi untuk komponen F-35—pesawat tempur yang aktif membombardir Gaza—justru dibiarkan. Kini, kontrak besar dengan Elbit hanya akan memperdalam jejak keterlibatan Inggris dalam perang yang sudah banyak disebut sebagai genosida. Saya rasa, ini bukan lagi soal abu-abu moral, melainkan hitam pekat.

Yang lebih mencemaskan, kontrak ini bukan hanya soal siapa yang mendapat untung dari tender. Lebih jauh, ia berarti Elbit akan membentuk cara berpikir dan berlatih tentara Inggris. Digitalisasi, simulasi perang, perubahan relasi militer dengan industri—semua itu akan diwarnai oleh doktrin militer Israel. Dan doktrin itu jelas lahir dari pengalaman menghancurkan wilayah sipil, menguasai ruang urban dengan cara represif, serta mengandalkan teknologi jarak jauh untuk menekan lawan. Artinya, pengalaman Gaza akan menjadi kurikulum tak resmi dalam pendidikan militer Inggris. Apa ini yang kita mau? Sebuah generasi tentara yang belajar bukan dari kemenangan strategis, melainkan dari seni menekan populasi sipil yang lemah.

Paradoks itu semakin mencolok bila dilihat dari sisi domestik Inggris. Elbit UK selama ini menjadi sasaran utama protes kelompok pro-Palestina seperti Palestine Action. Alih-alih mendengar aspirasi warganya yang marah melihat keterlibatan industri senjata dalam tragedi Gaza, pemerintah justru melabeli kelompok itu sebagai organisasi teroris. Dengan kontrak baru ini, posisi Elbit akan semakin kebal, seakan-akan dilindungi negara. Maka jelas, negara memilih berdiri di sisi industri perang, bukan di sisi nurani publik.

Saya jadi teringat pada sebuah ungkapan lama: “kekalahan terbesar adalah ketika kita belajar dari kegagalan, lalu menirunya.” Itu yang sedang dilakukan Inggris. Israel gagal menumpas Hamas meski memakai segala kecanggihan, tetapi Inggris memilih menyalin metode itu untuk tentaranya. Bukankah itu ibarat membeli tiket menuju kegagalan yang sama, hanya dalam panggung berbeda? Mungkin ada keuntungan sesaat: kontrak besar, relasi diplomatik yang terjaga, dan tentara yang sibuk dengan simulasi digital canggih. Tapi jangka panjangnya, Inggris justru menanam benih doktrin yang tidak kompatibel dengan realitas perang modern, apalagi dengan kebutuhan moral bangsa yang ingin dilihat sebagai penjaga hukum internasional.

Kita semua tahu, perang bukan hanya soal senjata, melainkan juga soal legitimasi. Hamas bertahan karena punya basis sosial dan ideologi, sesuatu yang tak bisa dihancurkan dengan drone atau simulasi digital. Dan ini pelajaran yang seharusnya bisa dipetik siapa saja—bahwa teknologi tanpa legitimasi hanyalah mesin kosong. Ironisnya, Inggris justru memilih belajar dari sisi yang salah. Ia tidak belajar mengapa Hamas tetap bertahan, tetapi justru membeli paket pengetahuan dari pihak yang gagal menundukkannya.

Di titik ini, saya tak bisa tidak merasa bahwa kita sedang menyaksikan sebuah komedi pahit di panggung global. Sebuah negara besar seperti Inggris rela menggelontorkan miliaran dolar untuk menggandeng perusahaan yang namanya harum di pasar senjata tapi berdarah di mata kemanusiaan. Dan yang lebih tragis, semua ini dilakukan di tengah teriakan jutaan orang yang menuntut keadilan untuk Gaza.

Mungkin Inggris bisa berkata ini hanyalah soal strategi militer, soal modernisasi pelatihan, soal kepentingan pertahanan. Tapi kita tahu, tidak ada yang benar-benar netral ketika bicara soal senjata. Setiap kontrak adalah sikap, setiap kerjasama adalah pesan. Dan pesan yang keluar dari kontrak ini jelas: Inggris memilih menutup mata dari genosida, demi sebuah ilmu perang yang sudah terbukti gagal.

Apakah itu langkah cerdas? Atau justru sebuah kecerobohan yang akan ditertawakan sejarah? Saya rasa jawabannya sudah kita dengar sejak lama, hanya saja pemerintah Inggris berpura-pura tuli. Mereka lebih suka berdiri di sisi industri perang daripada menghadapi suara nurani rakyatnya. Dan seperti semua paradoks besar dalam sejarah, barangkali nanti kita akan mengenangnya dengan satu kalimat getir: Inggris berguru pada ilmu perang yang gagal, sambil mengira dirinya sedang membeli kemenangan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer