Opini
Putin–Trump: Diplomasi Tanpa Tuan Rumah

Pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 15 Agustus 2025 di Alaska menggemparkan panggung geopolitik dunia. Bukan hanya karena mempertemukan dua tokoh besar dengan sejarah panjang konflik dan persaingan, tetapi juga karena implikasinya yang begitu luas terhadap nasib Ukraina, Eropa, dan bahkan tatanan global. Pertemuan itu seolah menjadi panggung diplomasi akbar yang aneh: pembicaraan mengenai perang yang berlangsung di tanah Ukraina, tetapi justru tanpa kehadiran Ukraina sendiri.
Dalam catatan sejarah diplomasi, kita kerap menemukan perundingan damai yang tidak sepenuhnya inklusif. Namun apa yang terjadi dalam pertemuan Putin–Trump kali ini terasa lebih ironis. Ukraina, yang tanahnya porak-poranda akibat invasi, yang rakyatnya terusir dan ekonominya hancur, justru diperlakukan sebagai pihak pinggiran. Sementara Eropa, yang selama ini mengklaim sebagai sekutu setia Kyiv, juga tersisih. Narasi yang terbentuk adalah sederhana namun menyakitkan: seolah konflik Ukraina bukanlah tentang Ukraina, melainkan tentang dua raksasa dunia—Rusia dan Amerika Serikat—yang sedang bertarung soal pengaruh, keamanan, dan dominasi global.
Trump, dengan gayanya yang khas, tampak tidak memandang Ukraina sebagai entitas berdaulat yang layak menentukan nasibnya sendiri. Sejak masa kampanye 2024 hingga kini menjabat kembali sebagai presiden, ia berulang kali menyampaikan pandangan bahwa perang Ukraina adalah “perang yang konyol” dan hanya akan membuang-buang dana pajak Amerika. Ia bahkan menyinggung bahwa Eropa seharusnya lebih banyak mengeluarkan dana, karena mereka yang paling dekat dengan ancaman Rusia. Namun, di balik semua pernyataan itu, tersirat sikap yang lebih mendalam: Trump melihat Ukraina dan Eropa sebagai subordinat, pihak yang pada akhirnya hanya bisa mengikuti apa yang ditetapkan Washington.
Putin tentu memahami hal ini. Dengan pengalaman panjangnya berhadapan dengan para presiden AS sebelumnya, ia tahu bahwa Trump berbeda. Jika di masa lalu Rusia harus berhadapan dengan aliansi transatlantik yang relatif kompak, kini yang dihadapinya adalah seorang presiden Amerika yang sering meremehkan Uni Eropa, menganggap NATO usang, dan lebih suka melakukan kesepakatan langsung dengan lawan. Bagi Putin, pertemuan dengan Trump adalah kesempatan emas untuk membalikkan keadaan. Jika ia bisa meyakinkan Trump bahwa menghentikan bantuan bagi Ukraina adalah demi kepentingan Amerika, maka pertahanan Kyiv akan runtuh bukan karena kekalahan militer di medan perang, tetapi karena ditinggalkan oleh sponsor utamanya.
Pertanyaannya kini: apakah Eropa dan Ukraina mampu melawan cengkeraman Trump jika perjanjian itu benar-benar tercapai?
Secara realistis, jawaban itu penuh keraguan. Ukraina selama ini sangat bergantung pada bantuan militer dan finansial dari Amerika. Rudal pertahanan, tank, drone, hingga sistem intelijen yang menopang pertahanan mereka sebagian besar adalah produk dukungan Washington. Tanpa itu, Kyiv akan menghadapi kesulitan luar biasa dalam menahan laju pasukan Rusia. Presiden Volodymyr Zelensky mungkin bisa berteriak menolak perundingan yang dilakukan tanpa dirinya, tetapi teriakannya bisa menjadi suara yang hampa jika Amerika benar-benar menutup keran bantuan.
Eropa pun tidak jauh berbeda. Meski mereka telah menyatakan dukungan penuh pada Ukraina, kenyataannya kapasitas mereka masih terbatas. Jerman, Prancis, dan Inggris memang memberikan bantuan senjata, tetapi jumlah dan kualitasnya tidak sebanding dengan yang diberikan Amerika. Lebih jauh, politik dalam negeri Eropa juga penuh dilema. Krisis energi akibat perang, beban inflasi, serta tekanan dari kelompok populis yang mulai bangkit membuat komitmen mereka rapuh. Trump tahu betul kelemahan ini, dan itulah sebabnya ia percaya bahwa jika Washington memutuskan jalan damai ala “Trump–Putin deal,” maka Eropa tak punya pilihan selain mengikuti.
Namun, apakah Eropa benar-benar akan pasrah? Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tunduk pada keputusan Amerika, meski dengan wajah muram, karena sadar bahwa tanpa koordinasi dengan Washington, mereka tidak punya kekuatan memadai untuk menghadapi Rusia. Kedua, skenario yang lebih menantang: Eropa mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang AS dan membangun poros keamanan baru yang lebih mandiri. Tetapi langkah kedua ini bukan hanya sulit secara teknis, melainkan juga membutuhkan waktu panjang, padahal situasi Ukraina terus mendesak.
Di sisi lain, pertemuan Putin dan Trump itu juga menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai makna kedaulatan. Bagaimana mungkin nasib sebuah negara ditentukan oleh dua kekuatan eksternal tanpa melibatkan negara itu sendiri? Jika kita melihat sejarah, peristiwa ini mengingatkan pada praktik “konser kekuatan” abad ke-19, ketika negara-negara besar Eropa membagi wilayah dunia seolah papan catur, tanpa mempedulikan rakyat yang tinggal di sana. Ukraina kini berisiko menjadi korban modern dari praktik lama itu.
Dalam konteks ini, sikap Trump menegaskan pola pikir hegemonik khas Amerika: bahwa sekutu bukanlah mitra sejajar, melainkan bawahan yang harus mengikuti garis kebijakan Washington. Ia pernah mengatakan bahwa jika terpilih kembali, ia akan “mengakhiri perang dalam 24 jam.” Janji itu terdengar bombastis, tetapi logikanya sederhana: ia bisa menekan Ukraina untuk menerima kesepakatan yang menguntungkan Rusia, lalu menjualnya sebagai “perdamaian cepat” kepada publik Amerika yang sudah jenuh dengan perang panjang. Dengan begitu, Trump bisa mengklaim dirinya sebagai pembawa damai, meski faktanya ia hanya memaksakan kompromi yang timpang.
Bagi Putin, hal ini adalah kemenangan strategis. Ia tidak perlu menaklukkan seluruh Ukraina dengan kekuatan militer. Cukup menunggu perpecahan di kubu Barat, menanti AS menarik diri, dan Kyiv akan jatuh ke dalam posisi tawar yang sangat lemah. Bahkan jika Ukraina tetap berusaha bertahan, tekanan ekonomi dan politik bisa membuat mereka akhirnya menyerah. Putin tahu bahwa Trump lebih peduli pada citra dan kepentingan domestik ketimbang idealisme demokrasi yang dulu sering digembar-gemborkan presiden-presiden AS sebelumnya.
Tetapi jangan salah, skenario ini juga menyimpan risiko besar bagi Eropa. Jika mereka tunduk total pada kesepakatan Putin–Trump, maka kredibilitas mereka sebagai kekuatan geopolitik akan hancur. Uni Eropa selama ini berusaha menampilkan diri sebagai blok yang mampu mempertahankan nilai-nilai demokrasi dan hukum internasional. Namun jika mereka tidak berdaya menolak tekanan Washington, maka dunia akan melihat Eropa sebagai kekuatan yang lemah, tak lebih dari satelit Amerika. Hal ini bisa memperdalam krisis identitas Eropa, dan pada jangka panjang, merusak mimpi mereka untuk menjadi aktor global yang independen.
Lebih jauh, muncul pertanyaan apakah rakyat Ukraina akan menerima “perdamaian” yang dipaksakan itu. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perdamaian yang dibangun di atas pemaksaan jarang bertahan lama. Rakyat Ukraina, yang sudah mengorbankan begitu banyak darah dan air mata, mungkin tidak rela menerima kesepakatan yang menyerahkan sebagian wilayah mereka kepada Rusia. Jika itu terjadi, maka yang akan lahir bukanlah perdamaian sejati, melainkan bara dendam yang sewaktu-waktu bisa menyala kembali.
Pada akhirnya, pertemuan Putin–Trump ini memperlihatkan wajah telanjang dari politik global: bahwa kekuasaan besar kerap berbicara atas nama perdamaian, tetapi sebenarnya hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. Ukraina mungkin akan disebut sebagai pihak yang “dibebaskan dari perang,” tetapi sesungguhnya ia justru sedang dipenjara dalam kompromi yang tidak adil.
Maka, judul “Putin-Trump: Diplomasi Tanpa Tuan Rumah” bukan sekadar metafora. Ia adalah kenyataan getir bahwa dalam percaturan ini, tuan rumah sejati—Ukraina—tidak memiliki kursi di meja perundingan. Sementara Eropa, yang seharusnya punya kepentingan langsung, hanya menjadi penonton dalam drama besar antara Washington dan Moskow. Pertemuan ini menegaskan satu hal: dunia masih dikendalikan oleh politik kekuatan, bukan oleh keadilan.
Dengan segala dinamika yang ada, sulit membayangkan Ukraina dan Eropa mampu sepenuhnya melawan cengkeraman Trump jika ia benar-benar mencapai kesepakatan dengan Putin. Mereka mungkin bisa menunda, menawar, atau menyuarakan penolakan, tetapi pada akhirnya kekuatan material dan politik berada di tangan dua aktor besar itu. Tragisnya, nasib jutaan manusia di Ukraina kini dipertaruhkan dalam percakapan dua orang di ruangan tertutup, tanpa jaminan keadilan, tanpa suara dari mereka yang paling terdampak.