Connect with us

Opini

Gas Mahal, Patriot Terbang: Siapa Sebenarnya Musuh Jerman?

Published

on

Jerman akan mengirimkan dua sistem pertahanan udara Patriot ke Ukraina dalam beberapa hari mendatang. Bloomberg melaporkan langkah ini sebagai bagian dari kesepakatan dengan Amerika Serikat, yang akan mengganti sistem tersebut melalui industri pertahanannya. Satu hari sebelumnya, Kiev dihantam salah satu serangan udara terbesar sejak awal invasi Rusia. Tiga puluh satu orang tewas. Lima di antaranya anak-anak. Enam belas anak lainnya luka-luka. Presiden Volodymyr Zelenskiy melaporkan total korban luka mencapai 159 orang.

Berita ini, seperti biasa, dikemas dalam bungkus kata-kata besar: komitmen kemanusiaan, solidaritas keamanan, langkah strategis. Tapi jauh dari lorong-lorong diplomasi NATO, ada ibu rumah tangga di Leipzig yang meringis tiap kali meteran gas berdetak. Ada sopir truk di Hannover yang memandangi sisa gajinya setelah harga solar melompat. Dan di pinggiran Berlin, pensiunan dengan pensiun tetap harus berhadapan dengan biaya hidup yang tak lagi tetap. Dalam kehidupan sehari-hari warga Jerman, patriot bukan sistem rudal—tapi harga roti gandum dan listrik di dapur.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pemerintah Jerman menyebut langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab geopolitik. Tapi di tengah inflasi yang membandel, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan defisit kepercayaan publik yang menganga, pertanyaan itu muncul lagi: siapa sebenarnya musuh Jerman? Apakah misil Rusia yang mendarat di Kiev, atau suara sumbang dari bilik-bilik dapur Jerman yang dingin karena pemanasnya dipadamkan lebih awal?

Kanselir Friedrich Merz—yang dengan rapi mengunci dasinya dalam konferensi pers—mengatakan bahwa Jerman akan menerima sistem Patriot generasi terbaru dari AS sebagai pengganti. Ia terlihat puas. Mungkin karena pembelian ini dibingkai sebagai investasi keamanan jangka panjang. Tapi apakah itu juga berarti rakyat Jerman sedang ditarik cicilan untuk konflik yang tak pernah mereka minta?

Mari jujur sebentar. Ini bukan lagi soal moralitas, tapi logika: negara yang ekonominya stagnan sedang menyubsidi perang negara lain. Dan bukan hanya itu—Jerman juga akan menjadi donor utama untuk “PEACE Act,” sebuah rancangan undang-undang di AS yang menciptakan dana multi-miliar dolar untuk membantu Ukraina. Ironinya? Nama undang-undangnya damai (PEACE), isinya pengadaan senjata. Jika itu bukan satir internasional, entah apa lagi.

Dalam narasi resmi, pengiriman sistem Patriot adalah untuk mencegah tragedi sipil seperti yang terjadi pekan lalu di Kiev. Ini mulia. Tapi tidak bisa diabaikan bahwa setiap sistem Patriot bernilai ratusan juta euro. Dan itu baru perangkat kerasnya. Belum biaya pelatihan, pemeliharaan, suku cadang, dan logistik pengiriman. Ketika masyarakat sipil di Jerman sendiri mulai antre di dapur umum karena inflasi pangan, haruskah negara ini menjadi gudang senjata Eropa?

Rusia, tentu saja, tidak butuh undangan untuk membaca ini sebagai provokasi. Kremlin sudah lama menuduh NATO menggunakan Ukraina sebagai pion untuk menekan Moskow. Kini dengan Jerman menjadi pemain aktif dalam sirkuit senjata, posisi Berlin bukan lagi sebagai pengamat, tapi partisipan. Dan partisipan biasanya juga target. Jerman bisa saja menjadi sasaran empuk perang non-konvensional: serangan siber, kampanye disinformasi, hingga serangan energi. Bukan dalam bentuk bom, tapi lonjakan harga gas yang mendadak dan sabotase pasokan bahan bakar musim dingin.

Rakyat Jerman bukan bodoh. Mereka tahu Putin bukan orang suci. Tapi mereka juga tahu bahwa moral clarity sering dijual dengan harga tinggi, dan sering dibayar bukan oleh mereka yang menandatangani dokumen, tapi oleh mereka yang antre di apotek dan supermarket. Tidak sedikit yang mulai bertanya, “Apakah perang di Ukraina benar-benar ancaman eksistensial bagi Jerman, atau kita sedang ikut-ikutan saja karena takut dianggap tidak setia pada NATO?”

Sementara itu, partai sayap kanan AfD perlahan-lahan memetik hasil dari kegamangan ini. Mereka tumbuh bukan karena rakyat mendadak pro-Rusia, tapi karena mereka—dengan narasi yang sangat sederhana—menyuarakan satu hal yang sudah lama mengendap: “Bantu rakyatmu dulu sebelum bantu orang lain.” Ini populisme. Tapi populisme, seperti kita tahu, tumbuh subur di tanah yang kering oleh pengabaian.

Pemerintah Jerman tampaknya bermain di ranah paradoks. Di satu sisi ingin tampil sebagai pemimpin moral Eropa, di sisi lain menghadapi krisis kepercayaan dalam negeri. Mereka ingin dunia melihat Jerman sebagai kekuatan stabil, tapi lupa bahwa fondasi stabilitas itu adalah perut kenyang dan rumah yang hangat. Tidak ada sistem pertahanan udara secanggih apa pun yang bisa membendung kemarahan rakyat bila mereka merasa tak didengar.

Mungkin ini saatnya bertanya dengan lebih jujur: apakah ketegangan di Ukraina—betapapun tragisnya—layak mendorong Jerman mengambil posisi konfrontatif penuh risiko, sementara rakyatnya sendiri merasa ditinggalkan? Apakah membeli sistem Patriot baru dari Amerika, mengirim yang lama ke Ukraina, dan membiayai PEACE Act, adalah bentuk kepahlawanan… atau bentuk ketergantungan baru terhadap industri perang?

Kita tahu, sejarah tidak selalu berulang, tapi kadang berima. Jerman pernah terjebak dalam euforia kekuasaan, kemudian terjerembap dalam kehancuran yang tak terkira. Kini, saat dunia kembali membelah diri dalam blok-blok dan senjata menjadi mata uang diplomasi, Jerman tampaknya sedang bermain api—dengan korek yang bukan miliknya dan bahan bakar yang ditagihkan ke rakyat.

Patriot terbang ke Timur, sementara gas tetap mahal di rumah. Di televisi, para analis dan mantan jenderal sibuk menjelaskan range sistem rudal dan strategi multilayer defense. Tapi di rumah-rumah Jerman, rakyat sibuk menghitung pengeluaran, mematikan pemanas lebih awal, dan bertanya-tanya—siapa sebenarnya yang sedang kita lawan?

Jika musuh adalah ketakutan akan invasi, maka langkah ini masuk akal. Tapi jika musuh adalah ketidakmampuan melihat prioritas di tengah krisis, maka jawabannya bukan di Kiev atau Moskow—melainkan di Berlin sendiri.

Dan sampai jawaban itu muncul, kita hanya bisa menatap langit, melihat Patriot meluncur ke Timur, sambil bertanya dalam hati yang mulai getir: Apakah keamanan negeri ini benar-benar dibangun di atas sistem rudal, atau seharusnya dimulai dari rasa aman membuka tagihan bulanan?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer