Connect with us

Analisis

Tanpa Hizbullah, Lebanon Akan Mengulang Neraka Suriah

Published

on

Amerika Serikat kini mendesak Lebanon untuk memilih satu jalan yang tampaknya netral, tapi berujung destruktif: pelucutan senjata Hizbullah. Sampai di titik ini, Ibrahim Majid memberi alarm keras. Ia mengingatkan: pelucutan tidak akan menghasilkan kedamaian, tapi membuka ulang pintu bagi kekerasan sektarian dan kehancuran seperti Suriah hari ini.

Suriah yang ditinggalkan Bashar al‑Assad pada Desember 2024 pernah menjanjikan revolusi untuk rakyat. Namun rezim baru — yang dikendalikan oleh HTS (Hay’at Tahrir al-Sham) di bawah Ahmad al‑Sharaa — justru mengukir neraka nyata. Sejak revolusi yang konon “berhasil”, wilayah-wilayah minoritas menjadi target kekerasan sistematis. Komunitas Alawite di pesisir Latakia menjadi sasaran; antara 6 dan 12 Maret 2025, lebih dari 1.500 Alawite dibunuh secara brutal dalam lebih dari 40 lokasi berbeda, termasuk pembunuhan sadis seperti pengeluaran jantung manusia dan ekspresi kebencian sektarian yang terang-terangan. Tidak cukup sampai di situ: di Suwayda, benteng komunitas Druze, antara April dan Mei 2025 puluhan hingga ratusan orang menjadi korban eksekusi ekstrayudisial oleh milisi pemerintah dan kelompok sipil bersenjata. Lebih dari 1.400 orang tewas, 176.000 terpaksa mengungsi, rumah sakit jenuh, dan banyak jenazah dikubur tanpa identitas.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Video dan rekaman eksekusi di Sweida memperlihatkan sistematisnya kekerasan: pelaku memakai seragam militer, merekam eksekusi publik terhadap warga Druze—memaksa mereka mengakui agama lalu menembak kepala mereka di alun-alun kota. Setidaknya 12 eksekusi semacam itu telah diverifikasi, termasuk yang menimpa kaum migran Suriah-Amerika. Korban mencakup anak-anak dan orang tua, banyak dengan luka tembak di kepala atau leher.

Israel pun masuk. Tak seperti era Assad, sekarang Suriah tanpa pertahanan efektif. Dalam dua hari awal invasi, Israel melancarkan 480 hingga hampir 600 serangan udara, menghancurkan 70–80% sistem pertahanan udara, pangkalan militer, gudang amunisi — lumbung kekuatan militer Suriah lumpuh. Israel bahkan mengerahkan pasukan darat di Golan Heights dan menyatakan wilayah itu sebagai miliknya selamanya.

Akibatnya, jutaan warga kehilangan perlindungan. Sekitar 16,5 juta orang butuh bantuan kemanusiaan pada 2025. Lebih dari 4,5 juta mengungsi ke negara tetangga, 1,1 juta internal displaced person masih dalam krisis di seluruh negeri. Infrastrukturnya hancur: rumah sakit, sekolah, jaringan sosial, semua luluh-lantak.

Semua ini disebut sebagai “neraka” oleh Majid—bukan hiperbola, melainkan realitas. Revolusi yang konon membebaskan justru menjadi alat kekerasan sektarian. Pemerintah transisi HTS gagal melindungi mayoritas dan minoritas, malah sebagian dituduh melaksanakan agenda penghukuman terhadap simpatisan Assad. Mince justice yang tak pernah dimintai; timbal-balik balas dendam yang dilakukan oleh kelompok seperti Saraya Ansar al-Sunnah malah mengobarkan kekerasan terhadap Alawite, Druze, Syiah, komunitas Kristen serta SDF—mereka membunuh, membakar hutan, menculik, meledakkan perangkat agama, bahkan menarget gereja Ortodoks di Damascus, menewaskan puluhan orang.

Di tengah itu Majid memperingatkan: pelucutan Hizbullah akan menjadikan Lebanon target yang sama empuknya. Republik kecil di Mediterania itu memiliki lanskap internal yang jauh lebih kelam jika senjata perlawanan dicopot. AS dan Barat mencoba memaksa pemerintahan Lebanon untuk melucuti Hizbullah melalui tekanan diplomat dan keuangan. Utusan AS Tom Barrack bahkan menyebut bahwa legitimasi pemerintah bergantung pada monopoli senjata negara, dan menuntut keputusan kabinet resmi untuk menyerahkan senjata Hizbullah—dengan imbalan Washington mau melanjutkan pembicaraan mengenai gencatan senjata dengan Israel.

Tapi kondisi di lapangan: Hizbullah menolak menyerahkan senjata penuh. Ia mempertimbangkan menurunkan sebagian arsenalnya—seperti misil dan drone—setelah syarat bahwa Israel harus pertama-tama mundur dari selatan Lebanon dan menghentikan serangannya. Tanpa senjata itu, tidak ada kekuatan yang mampu menahan agresi Israel maupun ancaman ekstremis dari Suriah.

Jika Lebanon menyerahkan senjata Hizbullah sepenuhnya, siapa yang mengambil? Israel, melalui serangan udara atau darat; militan HTS dan ISIS dari Suriah yang sudah berpengalaman melakukan ekskalasi sektarian. Lebanon menghadapi tiga front: di selatan (Israel), di timur (sisa-sisa ekstremis Suriah), dan di dalam negeri (sel-sel tidur dan loyalis asing) yang bisa memicu konflik horizontal antar-sekpharian.

Lebanon tidak seperti Suriah: lebih rapuh secara politik. Sistem konsosional sektarian membuat negara ini sangat rentan terhadap konflik internal begitu ketegangan eksternal meningkat. Sekali pecah, komunitas Syiah, Sunni, Druze, Kristen bisa saling curiga dan bertikai—persis seperti yang terjadi di Suriah setelah Assad jatuh dan HTS menguasai pemerintah.

Majid menyuarakan ini sebagai refleksi strategis: pelucutan Hizbullah bukan soal modernisasi demokrasi, melainkan proyek pelemahan Lebanon dari dalam. Barat berusaha melemahkan negeri ini seperti dulu melemahkan Suriah —dan hasilnya Suriah kini menjadi panggung kehancuran, kekerasan sistematis, dan keruntuhan sosial.

Bagi pembaca di Indonesia, ini pelajaran berharga: perlawanan bukan selalu ancaman. Barang kali perlawanan adalah tameng terakhir. Apabila rakyat negara kita berupaya mempertahankan integritas bangsa—apakah dengan sistem pertahanan, kekuatan rakyat bersenjata, atau simbol penolakan terhadap opresi—itu bukan agresi, melainkan tindakan penyelamatan. Jika Lebanon menyerahkan Hizbullah, negara itu kehilangan warisan perlawanan, dan memberikan kesempatan kepada kekuatan destruktif yang pernah membantai Suriah.

Tanpa Hizbullah, Lebanon bukan hanya akan kehilangan kemampuan bertahan. Ia bisa kehilangan negaranya sendiri. Ia bisa mengulangi neraka Suriah: genosida minoritas, invasi tetangga, konflik sektarian yang tak pernah berakhir, ribuan meninggal, jutaan mengungsi, komunitas tercerai-berai, identitas musnah. Ini bukan soal politik region saja — ini soal kemanusiaan, eksistensi, dan pelajaran sejarah yang cerah-jelas menunggu untuk dihindari.

Lebih dari itu, keputusan kabinet Lebanon yang akan datang tentang senjata Hizbullah bukan hanya tata pemerintahan domestik. Besok itu bisa menjadi titik balik bagi seluruh kawasan. Apakah dunia menyaksikan pembantaian baru, ataukah Lebanon selamat karena menolak menyerah pada kekuatan yang pernah menghancurkan Suriah?

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Lebanon, Dipaksa Lepas Perisai di Tengah Badai - vichara.id

  2. Pingback: Rencana Baru AS di Lebanon: Apartheid Modern

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer