Connect with us

Opini

Energi Tanpa Rusia: Jalan Baru Ukraina dan Azerbaijan

Published

on

Di tengah riuh rendah dunia yang tak pernah benar-benar hening, di mana krisis demi krisis menyambar seperti angin musim dingin yang menggigit, satu langkah kecil diambil oleh dua negara yang terluka namun tegak: Ukraina dan Azerbaijan menandatangani sebuah roadmap baru. Bukan sekadar kesepakatan teknis soal gas dan penyimpanan energi, tapi semacam pernyataan keberanian yang lahir dari situasi sulit—bahwa dalam reruntuhan, kolaborasi bisa menjadi jalan pulang menuju kedaulatan dan daya tahan.

Di Baku, saat mata dunia tertuju ke Gaza dan Taiwan, sekelompok pejabat duduk satu meja, memikirkan cara menata ulang peta energi kawasan. Menteri Energi Ukraina German Galushchenko dan Perdana Menteri Azerbaijan Ali Asadov menyepakati langkah-langkah strategis untuk memperluas kerja sama gas: dari produksi hingga transportasi, dari penyimpanan hingga infrastruktur logistik. Bagi sebagian orang, itu terdengar teknokratik. Tapi di balik kata-kata teknis itu, tersimpan narasi besar tentang bangsa yang menolak tunduk, dan tentang bangsa lain yang ingin keluar dari bayang-bayang dominasi Rusia.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ukraina, sejak invasi penuh Rusia pada 2022, bukan hanya jadi arena perang senjata. Ia menjadi medan tarik-menarik pengaruh energi. Ukraina yang dulu dikenal sebagai koridor penting bagi gas Rusia ke Eropa, kini mengumumkan sikap barunya: gas Rusia tidak akan lagi mengalir lewat wilayahnya. Sebuah keputusan politis yang mahal, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara strategis. Namun keputusan itu justru membuka peluang bagi mitra baru, seperti Azerbaijan, untuk mengisi celah yang ditinggalkan Rusia. Dan di situlah letak titik baliknya.

Azerbaijan memproduksi sekitar 40 miliar meter kubik gas setiap tahun. Lima belas miliar di antaranya digunakan untuk kebutuhan domestik, sisanya diekspor. Dalam skema baru ini, Ukraina menawarkan fasilitas penyimpanan bawah tanahnya—yang terbesar di Eropa—bagi gas Azerbaijan untuk ditampung, dialirkan, dan didistribusikan ke kawasan. Menariknya, fasilitas ini tersedia dalam rezim pergudangan bea cukai (customs warehouse regime), yang dibebaskan dari pajak dan biaya tambahan. Langkah itu tidak hanya menguntungkan secara logistik, tapi juga memberi sinyal bahwa Ukraina tengah mendefinisikan ulang peran strategisnya: bukan sebagai negara korban, tetapi sebagai simpul baru jaringan energi Eropa.

Kita bisa melihat dari sini bahwa perang, sebrutal apa pun, tak melulu menghapus daya pikir strategis suatu bangsa. Dalam kasus Ukraina, tekanan justru melahirkan ketajaman baru untuk membangun ulang posisi mereka—dengan energi sebagai porosnya. Kerja sama ini juga menyiratkan bahwa Ukraina ingin memisahkan nasibnya dari infrastruktur lama yang dikendalikan oleh Moskow, dan menuju sistem yang lebih otonom serta berjejaring ke selatan dan timur.

Namun siapa sangka bahwa di tengah jalan berliku ini, Azerbaijan justru muncul sebagai mitra yang paling siap. Negeri kecil di Kaukasus ini mungkin tidak sebesar Rusia, namun dalam beberapa tahun terakhir, ia sukses menegaskan dirinya sebagai energy state yang gesit. Gas dari Azerbaijan kini mengalir ke Italia melalui Trans Adriatic Pipeline (TAP), dan ke Turki lewat TANAP. Kini, dengan membuka ruang kerja sama dengan Ukraina, Azerbaijan seolah meneguhkan satu hal: bahwa ia adalah pilar energi Eropa yang baru, bukan sekadar alternatif sementara.

Lalu bagaimana kita di Indonesia membaca ini? Kita, yang begitu sering membincang ketahanan energi dalam seminar dan naskah akademik, kadang lupa bahwa dunia luar sedang bergerak cepat. Ukraina dan Azerbaijan tak punya kemewahan waktu untuk merancang grand strategy selama puluhan tahun. Mereka bertindak sekarang—karena kalau tidak, mereka akan tersingkir. Kita yang masih menggantungkan energi nasional pada batu bara dan gas dalam negeri, dan terus menunda transisi energi yang serius, mungkin perlu cermin dari kawasan konflik ini: bahwa urgensi bisa menjadi bahan bakar bagi inovasi dan kolaborasi.

Pertemuan di Baku itu juga membicarakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar tabung gas dan pipa besi: Middle Corridor. Jalur perdagangan dan energi ini membentang dari Asia Tengah melewati Laut Kaspia dan Kaukasus menuju Eropa. Jika difungsikan secara optimal, Middle Corridor bisa menjadi penantang serius jalur Rusia atau bahkan jalur Tiongkok. Ukraina dan Azerbaijan tampaknya sadar, bahwa penguatan koridor ini bisa memberi mereka posisi tawar yang lebih baik di hadapan Eropa maupun Asia. Dalam satu tarikan napas, kerja sama ini bukan hanya soal energi, tetapi tentang menulis ulang geopolitik kawasan.

Di tengah semua itu, ada dimensi lain yang tak kalah penting: solidaritas. Wakil Menteri Energi Ukraina Mykola Kolisnyk secara terbuka mengapresiasi dukungan Azerbaijan sejak awal invasi Rusia. Tak banyak yang tahu bahwa di saat Eropa ramai bicara bantuan senjata, Azerbaijan mengirimkan dukungan nyata dalam upaya stabilisasi sistem energi Ukraina—dari pasokan teknis hingga keahlian. Ada semacam persaudaraan antara dua negara yang sama-sama pernah diremehkan dalam urusan geopolitik, namun kini menulis bab baru dalam buku sejarah kawasan.

Kita bisa merenung sejenak: apakah solidaritas yang dibangun oleh Ukraina dan Azerbaijan ini, meskipun dibalut kepentingan strategis, lebih tulus ketimbang aliansi-aliansi besar yang kerap dibangun di atas retorika kosong? Apakah dalam dunia multipolar yang semakin kacau ini, justru kerja sama antarkorban yang menawarkan harapan baru? Dan lebih jauh lagi, mampukah kita di Indonesia—yang punya banyak potensi energi, banyak pulau, banyak sumber daya—belajar untuk tak hanya bicara soal kemandirian energi, tetapi benar-benar merancangnya dalam aliansi yang aktif dan strategis?

Kita sering membicarakan Asia Tengah dan Kaukasus sebagai wilayah jauh, nyaris eksotis dalam pandangan kita. Tapi jika kita ingin jujur, dinamika di sana lebih relevan daripada yang kita kira. Di saat kita sibuk menghitung subsidi dan tarik-ulur antara energi fosil dan EBT, negara-negara seperti Azerbaijan dan Ukraina justru sedang merancang infrastruktur baru yang terhubung lintas benua. Mereka tidak hanya berbicara soal masa depan energi, mereka membangunnya sekarang.

Ada saatnya kita harus berhenti melihat konflik sebagai akhir dari segala-galanya. Justru dalam konfliklah, lahir pilihan-pilihan yang lebih jernih, karena kompromi tak lagi bisa jadi tameng. Ukraina dan Azerbaijan memilih untuk tidak sekadar bertahan. Mereka memilih membentuk ulang masa depan energi mereka sendiri, tanpa Rusia, tanpa tekanan berlebihan dari Barat, dan—ini yang paling penting—dengan saling percaya.

Ketika roadmap itu ditandatangani, mungkin tak ada sorakan atau breaking news seperti saat rudal mendarat atau presiden berpidato. Tapi itulah barangkali kekuatan sejati dari langkah strategis: ia bekerja dalam diam, namun efeknya bisa terasa jauh hingga bertahun-tahun ke depan. Dan siapa tahu, beberapa tahun lagi kita akan menyebut kerja sama Ukraina–Azerbaijan ini sebagai tonggak awal sistem energi Eurasia yang benar-benar mandiri.

Sebuah kesepakatan yang tak hanya soal pipa dan kilang, tetapi tentang martabat dan arah masa depan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer