Connect with us

Opini

Ketika Siprus Jadi Alasan, Milisi Turki Mengendap ke Lebanon

Published

on

Seolah dunia belum cukup gaduh dengan parade absurditas geopolitik, kini satu lagi babak drama ditampilkan di panggung Timur Tengah—kali ini melibatkan Turki, Lebanon, dan—entah mengapa selalu ada dia—kelompok ekstremis dengan wajah baru. Satu kunjungan diplomatik yang tampaknya biasa saja—Presiden Lebanon Joseph Aoun ke ibu kota Siprus, Nicosia—ternyata cukup untuk membuat Ankara bereaksi seolah disiram cuka pada luka yang belum sembuh sejak 1974. Reaksi itu bukan sekadar kecemasan diplomatik; ia datang bersama ancaman, strategi tekanan, bahkan, jika kata itu tak terlalu vulgar: pemerasan politik.

Dari informasi yang dikemukakan sumber Lebanon kepada The Cradle, tampak jelas bahwa Turki bukan sedang bermain-main. Mereka tak hanya membaca kunjungan Aoun ke Siprus sebagai manuver kecil, melainkan sebagai sinyal bahwa Beirut—yang selama ini terombang-ambing antara krisis dan kelumpuhan—tengah mencoba membuka pintu alternatif untuk bernapas. Dan Ankara, tampaknya, tak ingin Beirut bernapas lewat jalur mana pun selain lewat dia. Jika metafora ini terasa seperti kisah cinta yang posesif, itu karena begitulah cara kekuasaan bekerja di kawasan ini: mencintaimu, tapi harus dengan syarat. Bila tidak, siap-siap dicekik.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sebagai bangsa yang selama ini sering dikutuk karena terlalu terbuka, Lebanon kini justru dihukum karena mencoba membuka diri ke arah yang “salah”. Yang menarik, “salah” di sini tidak didefinisikan oleh Beirut, tetapi oleh Ankara. Bagi Turki, wilayah utara Lebanon—Tripoli, Akkar, dan sekitarnya—bukan sekadar daerah tetangga; ia adalah “wilayah pengaruh tradisional”, seperti yang disebut sumber itu. Apa arti dari frasa yang terdengar manis itu? Dalam praktiknya: wilayah yang tak boleh disentuh pihak lain tanpa izin Turki. Seperti garasi rumah orang yang diklaim sebagai milik bersama karena dulu sempat dititipkan motor di situ.

Mari kita tidak terlalu naif. Turki bukan satu-satunya negara yang memiliki ambisi di luar batas. AS, Rusia, bahkan Prancis yang tampak sopan pun tak segan menancapkan kukunya jika perlu. Tapi yang membuat kasus Turki ini lebih menggelikan—dan mengkhawatirkan—adalah karena ia membungkus semua ini dengan retorika solidaritas Islam, anti-Zionisme, dan nostalgia kekhilafahan. Ia menyerang dengan Al-Fatihah, lalu menutupnya dengan drone Bayraktar.

Kini, dengan jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024 dan naiknya Ahmad al-Sharaa alias Abu Mohammad al-Julani—pemimpin HTS yang dikenal publik sebagai bekas anak emas Al-Qaeda—ke tampuk kekuasaan di Suriah, peta berubah drastis. Julani, yang dulunya memimpin pemboman bunuh diri dan pemenggalan kepala, kini disambut dengan karpet merah di Damaskus, bahkan disebut oleh media pro-Turki sebagai “simbol perubahan.” Seakan-akan sejarah tak pernah terjadi, dan semua bisa dihapus hanya dengan jas biru dan potongan rambut baru.

Turki bukan cuma jadi pelindung di balik layar. Ia adalah penulis skenario, sutradara, bahkan produser film ini. Apa yang mereka lakukan di Suriah—mengangkat kelompok ekstremis, memperkuat posisi mereka, dan memfasilitasi kejatuhan rezim—adalah ulangan dari model Amerika Serikat di Afghanistan atau Irak, hanya saja dengan bahasa yang lebih islami dan slogan yang lebih heroik. Dan kini, dengan HTS memegang kendali penuh atas negara tetangga, banyak yang bertanya: siapa target berikutnya? Jawabannya, jika Anda cukup jujur, sudah sangat jelas: Lebanon.

Laporan yang Anda baca itu tak menabuh genderang perang secara langsung. Tapi seperti nada minor dalam lagu sedih, ia menyisipkan ketegangan yang sulit diabaikan. Infiltrasi kelompok bersenjata ke Lebanon utara, penyelundupan senjata yang didukung lembaga keamanan Turki dan Suriah, dan operasi senyap yang terendus oleh militer Lebanon adalah sinyal keras bahwa tanah air para penyair dan cedar itu tengah dijadikan papan catur baru. Bahkan penyataan dari seorang sumber Suriah yang mengancam, “Jika kalian ingin bernapas lewat Siprus, maka kalian akan dicekik lewat Damaskus,” terdengar seperti mafia yang menawarkan perlindungan setelah sebelumnya menghancurkan tokonya.

Ironi lainnya adalah ini: saat Beirut mencoba mendekat ke Siprus, sebuah negara kecil yang lebih dikenal sebagai tujuan liburan ketimbang kekuatan geopolitik, reaksi Turki justru datang seperti Beirut mencoba menjalin hubungan dengan NATO. Apakah Turki begitu takut pada Siprus, atau ada ketakutan lain yang sebenarnya? Bisa jadi, ketakutan itu adalah ketakutan bahwa wilayah yang selama ini dianggap sebagai milik “bayangan kekaisaran Ottoman” mulai lepas satu per satu. Dan karena tak bisa menjangkaunya lagi dengan diplomasi, maka proksi pun dikerahkan.

Tentu, semua ini terjadi dalam konteks yang lebih besar. Di mana ada kehampaan kekuasaan, di situ akan ada intervensi. Lebanon, sejak lama, adalah negara yang memiliki segalanya untuk menjadi kuat—budaya, sumber daya manusia, akses ke laut—namun kehilangan satu hal: konsensus. Dalam ketidaksepakatan elite dan kegaduhan sektarian yang tak kunjung padam, datanglah para oportunis dengan janji stabilitas. Tapi stabilitas ala siapa?

Jika dulu Lebanon menari antara Prancis, AS, dan Suriah, kini ia juga harus menanggapi langkah-langkah Turki yang semakin agresif. Sayangnya, langkah itu tidak datang dalam bentuk bantuan kemanusiaan atau investasi damai, tetapi dalam bentuk infiltrasi bersenjata, tekanan diplomatik, dan kampanye delegitimasi terhadap semua yang tidak sesuai agenda Ankara.

Di tengah semua itu, rakyat Lebanon tetap harus hidup. Mereka tetap harus membeli roti yang harganya melambung, membayar listrik yang hanya hidup tiga jam sehari, dan menyekolahkan anak-anak mereka di tengah ketakutan akan masa depan yang entah milik siapa. Ironi paling pedih dari semua ini adalah: kekuasaan besar bertarung di atas tanah yang tak pernah cukup luas untuk menampung ego mereka—sementara yang harus menanggungnya adalah rakyat kecil yang tak ikut memilih siapa pemimpinnya, apalagi siapa musuhnya.

Jika Turki ingin menjadi kekuatan besar, maka ia seharusnya bersikap seperti negara besar. Bukan dengan mengirimkan militan ke perbatasan negara tetangga dan mengancam pemerintahan yang mencoba membuka ruang baru bagi diplomasi. Dan jika dunia Islam benar-benar ingin membela satu sama lain, maka membela tidak berarti mengendalikan. Solidaritas sejati tak mengenal kata “ikut saya atau binasa.”

Mungkin ada yang bertanya, apa gunanya menulis semua ini? Dunia tidak berubah hanya karena satu artikel. Tapi dalam dunia yang terlalu banyak diam, menulis adalah bentuk perlawanan. Ia mengingatkan bahwa masih ada suara waras di tengah hingar-bingar kekuasaan. Bahwa masih ada orang yang melihat, dan mencatat. Bahwa absurditas ini tak akan berlalu tanpa jejak.

Dan jika kita tak bisa menghentikan sejarah yang sedang berjalan miring, setidaknya kita bisa merekamnya dengan jujur. Karena di masa depan, ketika reruntuhan kota diteliti dan arsip dibuka, akan ada yang bertanya: siapa yang tahu, tapi tetap diam?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer