Opini
Perang Narasi: Upaya Sistematis Memecah Iran, Rusia, dan China

Ketika sebuah laporan dari Axios menyebut bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin secara pribadi menyarankan Iran untuk menerima kesepakatan nuklir “nol pengayaan”, respons keras langsung datang dari pihak Iran. Kepada kantor berita Tasnim, seorang sumber resmi menegaskan bahwa pernyataan tersebut sepenuhnya tidak benar, bahkan topik itu tidak pernah dibahas dalam pertemuan antara Putin dan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi. Tidak ada pesan yang disampaikan, tidak ada desakan yang disepakati. Namun berita itu terlanjur beredar luas. Ia tak hanya menjadi berita, tapi bahan bakar untuk menciptakan persepsi: bahwa Rusia mulai meninggalkan Iran, bahwa bahkan sekutu terdekat tak lagi berdiri bersama Teheran.
Hanya berselang beberapa hari sebelumnya, sebuah laporan dari Middle East Eye menyebar isu lain. Kali ini menyasar China. Disebutkan bahwa Beijing telah mengirim sistem pertahanan udara ke Iran, dibayar melalui pengiriman minyak, menyusul konflik antara Iran dan Israel. Tak butuh waktu lama untuk pihak China membantah informasi itu. Dalam laporan South China Morning Post, otoritas Tiongkok menegaskan bahwa mereka tidak mengirim perangkat militer ke Iran, apalagi dalam konteks pasca-konflik. Dua berita, dua negara, dua bantahan keras. Tapi lebih dari itu: dua skenario yang—secara mencurigakan—muncul hampir berurutan, dengan narasi yang saling melengkapi.
Jika kita perhatikan, kedua laporan tersebut memiliki pola yang mirip. Keduanya berasal dari media atau platform yang sering menjadi referensi Barat. Keduanya mengandalkan sumber anonim, semacam “pejabat senior” atau “tokoh intelijen regional”. Dan keduanya disebarkan pada momen yang sangat sensitif: ketika hubungan antara Iran, Rusia, dan China menjadi perhatian global karena posisi mereka yang semakin solid sebagai penyeimbang dominasi geopolitik Barat. Apakah dua informasi ini kebetulan? Ataukah bagian dari operasi yang lebih luas—sebuah perang opini yang sengaja dilancarkan untuk menanam benih keraguan di antara ketiga negara tersebut?
Laporan terakhir dari Yahoo News dan New York Times seolah mempertegas arah operasi narasi ini. Dalam tulisan panjang yang dikutip oleh berbagai analis Barat, ditegaskan bahwa tidak ada koordinasi nyata antara Iran, Rusia, dan China. Bahwa ketika Iran diserang oleh Israel dan fasilitas nuklirnya dihantam oleh Amerika, tak ada satu pun dari kedua negara itu yang benar-benar membantu. Hanya kata-kata, tidak ada aksi. Bahkan muncul pendapat yang mengatakan bahwa ketiganya—meski tampak bersatu dalam menentang AS—sebenarnya tidak saling percaya, tidak punya nilai bersama, dan siap meninggalkan satu sama lain kapan saja.
Narasi ini, jika ditelusuri lebih dalam, bukan sekadar analisis netral. Ia adalah bentuk pembingkaian strategis (strategic framing) yang ingin menunjukkan bahwa aliansi Iran–Rusia–China adalah palsu, rapuh, dan transaksional. Bahwa ketika krisis benar-benar terjadi, tidak ada yang bisa diandalkan. Dan lebih penting lagi, bahwa Iran-lah yang paling sendirian. Bahwa Rusia lebih mementingkan Israel, bahwa China lebih sibuk menjaga relasinya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, bahwa dalam peta geopolitik baru ini, Iran hanyalah pion, bukan partner sejati.
Namun, benarkah demikian? Atau pertanyaan yang lebih tepat: siapa yang berkepentingan agar dunia melihatnya seperti itu?
Penting untuk kita cermati bahwa semua narasi ini—mulai dari “Putin mendesak Iran soal nuklir”, “China kirim rudal ke Iran”, hingga “Iran tak dibantu oleh siapa pun saat perang”—bermuara pada satu titik: dekonstruksi hubungan strategis antara tiga negara yang selama ini dianggap sebagai poros tandingan Barat. Tujuannya jelas. Jika ketiganya dipersepsikan tidak solid, maka narasi multipolaritas dunia bisa dilemahkan. Jika Iran merasa ditinggalkan oleh Rusia dan China, maka Teheran akan terdorong ke dalam posisi yang lebih terisolasi, rentan terhadap tekanan diplomatik, bahkan mungkin tergoda untuk bernegosiasi ulang dengan Barat dalam posisi lemah.
Ini bukan skenario baru. Dalam sejarah politik internasional, membenturkan sekutu melalui disinformasi dan framing media telah lama menjadi bagian dari strategi klasik divide et impera—pecah dan kuasai. Tapi yang membedakan zaman ini dengan era sebelumnya adalah kecepatan dan daya jangkau informasi yang begitu luas. Sekali sebuah laporan muncul di outlet media besar—terlebih jika mengutip “pejabat anonim”—maka efek psikologis dan diplomatiknya langsung terasa. Tidak perlu bukti kuat. Yang dibutuhkan hanyalah keraguan. Dan itu cukup untuk menggeser orientasi kebijakan, mengubah persepsi elite, bahkan memperlemah solidaritas publik.
Dalam hal ini, Iran tampaknya sadar. Klarifikasi yang cepat terhadap laporan-laporan tersebut menunjukkan bahwa Teheran menyadari bahwa perang hari ini tidak hanya terjadi di medan militer atau ruang diplomatik, tetapi juga di ruang persepsi. China juga menunjukkan kehati-hatian serupa. Ia tidak hanya membantah isu pengiriman rudal, tapi juga tetap menjaga posisi diplomatiknya di kawasan, termasuk melalui pendekatan damai seperti yang ditunjukkan dalam mediasi antara Iran dan Saudi pada 2023. Sementara Rusia, meski kadang bersikap ambigu, tetap mempertahankan kerja sama teknis dan militer dengan Iran di berbagai sektor.
Namun pertanyaan reflektif tetap penting diajukan: seberapa kuat hubungan ini mampu bertahan jika narasi tentang keterpisahan terus dibangun dan disebarkan? Apakah publik di ketiga negara akan cukup kritis untuk memilah mana yang informasi sahih dan mana yang disusupi motif adu domba? Di era ketika opini bisa diciptakan dengan satu headline dan satu kutipan anonim, ketahanan informasi menjadi bagian penting dari ketahanan nasional.
Lebih jauh dari itu, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari kolonialisme informasi, di mana sebuah entitas tidak lagi perlu menguasai secara fisik, cukup dengan mengendalikan wacana. Iran, Rusia, dan China bukan hanya sedang menghadapi tekanan ekonomi dan militer, tapi juga tekanan naratif. Dan jika mereka gagal menjaga persepsi bersama, gagal memotong aliran disinformasi yang mencoba memisahkan mereka, maka perpecahan tidak perlu dimulai dari perjanjian. Cukup dari keraguan.
Di sinilah pentingnya kesadaran publik, termasuk kita sebagai pembaca dan pengamat. Untuk tidak menelan mentah-mentah laporan yang mengaku berdasarkan “sumber intelijen”, untuk memeriksa pola dan motif di balik berita, dan untuk terus bertanya: siapa yang diuntungkan jika kita percaya pada narasi itu? Sebab dalam konflik geopolitik hari ini, kebenaran bukan hanya soal data. Ia adalah medan perebutan. Dan kita tak boleh membiarkannya jatuh ke tangan mereka yang membungkus propaganda sebagai fakta.
*Sumber:
- https://thecradle.co/articles/Tehran-denies-receiving-Russian-message-saying-Putin-backs-‘banning-Iranian-uranium-enrichment‘
- https://www.scmp.com/news/china/military/article/3317538/china-denies-giving-iran-air-defence-systems-after-conflict-israel?module=inline&pgtype=article
- https://sg.news.yahoo.com/iran-alone-crises-where-were-191826465.html
Pingback: Netanyahu Salah Prediksi, Rakyat Iran Bersatu Hadapi Israel
Pingback: Pidato Xi dan Poros Baru Musuh Barat di