Connect with us

Opini

Diplomasi Gertak: Ketika Amerika Memainkan Dunia seperti Meja Poker

Published

on

Utusan Gedung Putih Steve Witkoff disebut-sebut akan bertemu Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, di Oslo pekan depan. Begitu katanya. Dua sumber anonim, sebagaimana biasa, membisikkan informasi ini ke Axios. Katanya, belum ada tanggal pasti, tapi “bisa jadi” ini akan menjadi pertemuan langsung pertama pasca Presiden Trump memerintahkan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran bulan lalu. Tapi tunggu, jangan keburu gembira. Sebab kata kunci di sana adalah: “katanya.”

Begitu laporan Axios menyebar, halaman-halaman berita segera menggeliat. Seolah dunia bersiap menyambut babak baru negosiasi, suasana berubah. Tapi seperti drama sinetron yang kita sudah tahu akhirnya: beberapa jam kemudian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran membantah tegas. “Tak ada rencana pertemuan,” ujarnya. Bahkan lebih keras dari itu, ia menambahkan bahwa suasana publik di Iran sedang begitu muram, begitu marah, sehingga “tak ada yang berani membicarakan negosiasi.”

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Aneh? Tidak juga. Ini bukan pertama kalinya Amerika menggembar-gemborkan pintu diplomasi sambil diam-diam menginjak rem—atau justru menekan gas untuk tabrak lari. AS tampaknya tak pernah sungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah. Yang mereka inginkan adalah narasi. Atau lebih tepatnya, kendali atas narasi. Bahkan ketika yang mereka lakukan justru baru saja mengebom Iran bersama sekutu kesayangannya, Israel, hanya beberapa pekan lalu.

Boleh jadi, ini adalah bentuk diplomasi paling elegan dari abad ke-21: diplomasi ala poker. AS duduk di meja perundingan bukan dengan niat bicara, tapi untuk menggertak. Tidak membawa solusi, tapi kartu tertutup. Lalu ketika lawan merasa tak nyaman, mereka tersenyum dan berkata, “ayo kita bicara baik-baik.” Seolah-olah yang baru saja meledakkan fasilitas nuklir Iran bukan mereka. Seolah-olah yang baru saja menewaskan 900 warga sipil Iran bukan drone mereka. Seolah-olah, mereka datang dari langit, membawa damai dan kebajikan.

Ini seperti tetangga yang membakar rumah Anda, lalu datang membawa sebotol air mineral sambil bilang, “ayo, jangan emosi, kita selesaikan dengan kepala dingin.”

Rasa-rasanya publik Iran punya cukup alasan untuk marah. Israel membombardir fasilitas nuklir dan infrastruktur sipil Iran pada 13 Juni. Beberapa hari kemudian, giliran AS yang “menyelesaikan apa yang tersisa,” menghantam Fordow, Isfahan, dan Natanz. Hasilnya: kehancuran teknis, nyawa para ilmuwan dan perwira, serta luka kolektif yang dalam. Tapi yang paling menyakitkan mungkin bukan kerusakan fisik itu. Melainkan penghinaan intelijen: ketika musuh bisa masuk, menarget, menghancurkan, lalu tersenyum mengajak bicara.

Yang membuat narasi ini makin absurd adalah betapa cepatnya AS mengklaim inisiatif diplomatik. Belum sempat debu di Natanz mengendap, mereka sudah menyusun kabar pertemuan damai. Bukan lewat kanal resmi, tapi lewat “dua sumber anonim” yang membisik ke jurnalis. Diplomasi model ini lebih mirip kampanye politik: lempar isu, ukur reaksi, lalu sesuaikan langkah. Diplomasi bukan lagi ruang negosiasi, tapi panggung teater persepsi.

Bisa jadi, ini juga semacam perang urat saraf. Dengan menyebar kabar soal diplomasi, AS menekan psikologis para pemimpin Iran: jika menolak, mereka akan tampil di mata dunia sebagai pihak yang keras kepala. Jika menerima, mereka terlihat lemah di mata rakyat sendiri. Sementara AS tetap menang dalam dua skenario: sebagai penggertak dan sekaligus penengah. Sebuah permainan poker yang licin, dan penuh racun.

Tapi ini bukan hanya tentang Iran dan AS. Ini tentang bagaimana diplomasi global sedang direduksi menjadi sekadar permainan komunikasi. Jika sebelumnya meja perundingan dihormati sebagai tempat mencari titik temu, kini ia hanya alat pencitraan. Persis seperti iklan produk kecantikan yang menjanjikan kesempurnaan instan—padahal di baliknya, hanya cat dan cahaya yang disusun hati-hati.

Mungkin di sinilah tragedi paling nyata dari sistem internasional hari ini. Di saat dunia sangat butuh ketulusan, yang kita temukan justru kebohongan yang dikemas manis. Ketika rakyat Gaza diblokade seperti Karbala yang tak punya air, ketika Yaman memanggil dunia dengan suara serak anak-anak kelaparan, para diplomat besar dunia sibuk meracik narasi agar tampak dermawan. Sementara bom terus dijatuhkan. Sementara pasokan senjata terus dikirimkan.

Dan ya, kita semua tahu siapa makelar senjatanya. Ironisnya, mereka juga yang paling sering memposisikan diri sebagai broker perdamaian. Amerika Serikat telah lama memainkan dua wajah ini: sebagai pedagang kematian dan pendakwah damai. Satu tangan membekingi Israel, tangan lain menyodorkan konferensi Oslo. Satu mulut mencela pelanggaran hak asasi, mulut lain menolak penyelidikan kejahatan perang. Ini bukan sekadar hipokrisi; ini adalah seni berdiplomasi sambil menekan pelatuk.

Di Indonesia, kita pun tak jarang terperangkap dalam ilusi semacam ini. Kita suka membayangkan Amerika sebagai kekuatan penyeimbang, padahal kerap kali mereka justru menciptakan ketidakseimbangan agar tetap dibutuhkan. Kita bicara tentang moderasi dan dialog, tapi diam ketika melihat siapa yang mendikte arah “dialog” itu. Kita memuja sistem internasional yang katanya adil, padahal tak lebih dari panggung boneka yang benangnya digerakkan dari Pentagon dan Tel Aviv.

Kita hidup di zaman di mana yang kuat tak perlu lagi membungkam yang lemah dengan peluru. Cukup dengan pernyataan pers, sedikit bocoran ke media, dan framing yang rapi—maka dunia akan berpikir bahwa pelaku kekerasan adalah pahlawan. Dan korban, jika berteriak terlalu keras, akan disebut ekstremis.

Maka pertanyaannya: sampai kapan kita akan membiarkan diplomasi berubah jadi sinema?

Mungkin sudah waktunya kita mulai bicara jujur tentang siapa sebenarnya pemain di meja ini. Dan siapa yang sesungguhnya jadi kartu. Sebab dalam poker, yang kalah bukan hanya yang kehabisan chip—tapi juga yang tak tahu bahwa dirinya sedang dipermainkan.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer