Opini
Eropa yang Gagal Belajar: Ketika Militerisasi Menjadi Jalan Bunuh Diri Strategis

“Eropa bukan sedang bangkit. Eropa sedang panik. Dan dalam kepanikan itu, ia menggenggam senjata, membakar akalnya, dan menanggalkan industrinya sendiri.”
Barangkali pernyataan paling jujur dan brutal soal masa depan Eropa datang bukan dari seorang filsuf atau politikus, tapi dari Stefan Scherer — CEO AMG Lithium, produsen baterai kendaraan listrik di Jerman. Dalam wawancaranya dengan The Guardian, ia menegaskan bahwa jika Uni Eropa tak segera mengambil langkah untuk mandiri dari dominasi bahan mentah dan industri Tiongkok, maka sebaiknya “ajukan diri saja jadi provinsi China.” Ucapan itu sarkastik. Tapi penuh kebenaran.
Eropa sedang kalah. Dan parahnya, ia memilih melawan di arena yang bukan miliknya: militer.
Sebuah Peradaban yang Berpaling dari Mesin
Eropa pernah menjadi jantung industri dunia. Dari Revolusi Industri di Inggris hingga keajaiban ekonomi Jerman pasca-Perang Dunia II, Eropa menjadikan mesin, pabrik, dan inovasi sebagai penopang kekuatannya. Tapi kini, mesin Eropa kehilangan suara. Pabrik-pabrik ditutup. Inovasi dibajak oleh subsidi Tiongkok dan kebijakan agresif Amerika.
Namun alih-alih memulihkan daya saing ekonomi melalui kemandirian teknologi dan industri sipil, Eropa justru mengarahkan seluruh energinya ke sektor militer dan pertahanan. Sebuah jalan yang kelihatannya gagah, tapi rapuh. Sebuah langkah yang tampak strategis, padahal sesungguhnya adalah pilihan putus asa.
Militerisasi Sebagai Kompensasi Inferioritas
Pasca invasi Rusia ke Ukraina, Eropa mengalami gelombang trauma kolektif. Narasi tentang “ancaman Rusia” dijadikan justifikasi untuk melonjakkan anggaran pertahanan. Jerman mengumumkan anggaran €100 miliar untuk militer, Prancis memperbarui sistem persenjataan, Polandia bersiap menjadi kekuatan militer darat terbesar di Eropa.
Tapi tunggu dulu.
Apa yang sedang dibangun ini? Apakah ini kekuatan militer independen, atau hanya kaki tangan NATO yang diperluas? Apakah ini gerakan strategis jangka panjang, atau sekadar reaksi emosional terhadap ketakutan yang terlalu besar?
Jawabannya bisa dilihat dari satu fakta: Eropa membangun kekuatan militer tanpa membangun kekuatan industri sipil. Mereka membuat peluru, tapi lupa membuat logamnya. Mereka membeli drone, tapi tidak membut chip-nya.
Apa artinya punya rudal, kalau baterai-nya dari China? Apa gunanya punya tank, kalau mesin tempurnya dirakit di Asia?
Pelajaran dari Iran: Ketangguhan Itu Tidak Diimpor
Lihatlah Iran. Negara yang dijatuhi sanksi selama lebih dari 40 tahun. Dikucilkan dari sistem keuangan global. Diblokade, ditekan, dan disabotase. Tapi ketika perang 12 hari antara Iran dan zionis meledak pada April 2025, dunia terkejut: Iran bisa menghujani Israel dengan ratusan rudal dan drone presisi, dari berbagai arah, dan secara simultan.
Tak hanya itu. Iran membuktikan bahwa ia:
· Mampu mengembangkan sistem pertahanan udara mandiri.
· Mampu memproduksi drone tempur dan sistem elektronik canggih.
· Mampu mengintegrasikan kekuatan regional dalam satu koordinasi militer lintas negara.
Inilah bedanya Iran dan Eropa: Iran belajar dari kesakitan. Eropa hanya belajar dari kenyamanan.
China dan Rusia Sudah Bermain di Liga yang Berbeda
Di saat Eropa sibuk berdebat soal tarif dan subsidi untuk produsen lokal, China sudah menguasai 60% penyulingan lithium dunia, mendominasi produksi panel surya, baterai, dan kendaraan listrik. Dengan subsidi masif dan skala produksi yang luar biasa, China membanjiri pasar global. Eropa tidak siap. Mereka merespons dengan investigasi perdagangan dan retorika “de-risking”, tapi tak mampu bersaing secara nyata.
Di sisi lain, Rusia tetap menunjukkan ketangguhan militer, bahkan di bawah tekanan penuh dari sanksi. Rusia memang kehilangan pasar Eropa, tapi justru menemukan kekuatan baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dan meskipun ekonominya terguncang, industri militernya tetap berjalan, dengan inovasi yang tetap mengancam.
Eropa Terjepit: Jadi Konsumen China, Jadi Tentara Amerika
Eropa hari ini adalah entitas yang kacau secara identitas. Di bidang sipil dan teknologi, mereka menjadi pasar besar bagi produk China. Mulai dari kendaraan listrik, komponen baterai, hingga barang konsumsi murah — semuanya datang dari Beijing.
Sementara di sektor militer dan pertahanan, Eropa tak bisa lepas dari dominasi Amerika. Platform NATO, persenjataan standar AS, dan ketergantungan pada intelijen Washington membuat Eropa tak lebih dari kaki tangan geopolitik. Jika terjadi perang besar, Eropa akan maju — bukan sebagai kekuatan independen, tapi sebagai pasukan tambahan untuk kepentingan Barat.
Paradoks Kebijakan: Membangun Senjata Tanpa Membuat Makanan
Sementara itu, industri sipil Eropa ambruk satu demi satu. Pabrik-pabrik baja, kendaraan, dan semikonduktor kesulitan bersaing karena biaya energi tinggi, regulasi ketat, dan tekanan globalisasi. Banyak yang relokasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika — ironisnya, untuk mendapatkan subsidi dari Inflation Reduction Act buatan Joe Biden.
Eropa seperti orang yang membangun gudang senjata, tapi dapurnya kosong. Ia membuat bom, tapi tak bisa menanam gandum. Ia membuat jet tempur, tapi kehilangan pabrik semennya.
“Ini bukan kekuatan. Ini gejala bunuh diri strategis.”
Krisis Identitas dan Ketakutan Eksistensial
Mengapa Eropa bertindak begini? Karena Eropa takut kehilangan relevansi. Ia tak mau mengaku bahwa pusat dunia telah bergeser. Dulu, Eropa adalah pusat ilmu, kekuasaan, dan peradaban. Kini, ia terjepit antara dua kekuatan raksasa: China yang menjadi bengkel dunia dan Amerika yang jadi polisi global.
Maka Eropa bereaksi. Dengan senjata. Dengan aliansi militer. Dengan kebijakan pengalihan. Tapi itu semua bukan jawaban. Itu hanya pelarian.
Penutup: Jalan Kembali atau Jalan Buntu
Masih ada waktu untuk berbalik arah. Eropa bisa memilih untuk:
· Membangun kembali industri sipil dan energi mandiri.
· Mengurangi ketergantungan struktural terhadap China dan AS.
· Menjadi kekuatan global yang mandiri, bermartabat, dan seimbang.
Tapi itu semua butuh keberanian — bukan hanya dalam membangun tank dan rudal, tapi dalam mengakui kesalahan dan membangun ulang pondasi ekonomi yang sehat.
Jika tidak, maka kelak sejarah akan mencatat bahwa Eropa bukan dikalahkan oleh musuh dari luar, tapi oleh ketakutannya sendiri. Ia memilih mengangkat senjata ketika seharusnya memperbaiki cangkul. Ia memilih membakar uang untuk perang ketika seharusnya menanam untuk masa depan.
“Eropa hari ini berdiri di tepi jurang. Dan langkah berikutnya akan menentukan: bangkit sebagai kekuatan mandiri, atau tenggelam sebagai pecahan nostalgia masa lalu.”
Sumber:
- https://www.rt.com/business/620901-eu-industry-reliance-china/
- https://www.rt.com/business/597048-leyen-xi-meeting-deindustrialization/