Connect with us

Opini

Ketika ISIS Jadi Alat Mossad: Waspadai Jejak dan Jaringannya di Indonesia

Published

on

Penangkapan sekelompok warga Suriah yang diduga anggota ISIS di Bourj al-Barajneh, Beirut Selatan, bukan sekadar peristiwa kriminal biasa. Operasi tersebut membuka tabir keterhubungan antara sel-sel ISIS dan badan intelijen Israel, Mossad. Dalam penggerebekan itu, aparat keamanan Lebanon menemukan bahwa kelompok ini menggunakan aplikasi komunikasi khusus yang terhubung langsung dengan Mossad. Fakta ini bukan hanya mengagetkan publik Lebanon, tapi juga menyentak siapa pun yang selama ini memandang kelompok seperti ISIS hanya sebagai gerakan radikal semata, tanpa keterkaitan geopolitik yang lebih dalam.

Apa yang terjadi di Lebanon adalah sinyal yang sangat serius—bahwa kelompok teroris seperti ISIS bisa dan mungkin memang telah dijadikan alat oleh kekuatan intelijen asing, terutama Israel, untuk melemahkan musuh-musuh strategis mereka seperti Hizbullah dan Iran. Fakta ini juga menggugah kesadaran kita di Indonesia: jika di Timur Tengah, kelompok radikal bisa dimanfaatkan oleh Mossad, mengapa kita berpikir bahwa hal itu tidak mungkin terjadi di Indonesia?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita tahu bahwa ISIS adalah jaringan internasional yang longgar. Sejak kemunculannya di Irak dan Suriah, ISIS telah menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan ini bukan seperti negara dengan struktur vertikal yang ketat, melainkan kumpulan sel dan simpatisan yang terhubung oleh ideologi dan komunikasi digital. Justru karena model desentralistik inilah mereka menjadi sangat rentan untuk disusupi, diprovokasi, dan diarahkan oleh kekuatan luar—baik secara sadar maupun tanpa sadar.

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, adalah medan yang sangat potensial untuk operasi semacam itu. Kita tidak bicara soal keterlibatan langsung Mossad dengan tokoh-tokoh ekstremis di Indonesia—karena hingga saat ini belum ada bukti kuat ke arah itu—namun logika struktur dan modus operandi ISIS serta pola gerakan intelijen asing membuat kemungkinan tersebut tidak bisa begitu saja diabaikan. Sebaliknya, justru kita perlu lebih waspada terhadap kemungkinan infiltrasi ideologis maupun manipulasi narasi yang merugikan posisi umat Islam dan perjuangan Palestina.

Salah satu indikator yang bisa dilihat adalah pola narasi yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok radikal maupun tokoh-tokoh tertentu di media sosial Indonesia. Setiap kali Iran atau Hizbullah terlibat dalam konflik langsung melawan zionis Israel, selalu saja muncul akun-akun dan figur yang justru menyebarkan konten-konten yang mendiskreditkan Iran. Bukan sekali dua kali, tetapi menjadi pattern (pola) yang konsisten. Saat Iran mebalas serangan militer langsung terhadap Israel dalam perang 12 hari yang dimulai sejak 13 Juni 2025, gelombang narasi justru muncul di media sosial Indonesia—bukan untuk mendukung, melainkan menyerang Iran. Narasi-narasi ini menyebut Iran sebagai Syiah sesat, menuduh serangannya hanya ‘sandiwara’, atau bahkan menyebut Iran lebih berbahaya daripada Israel itu sendiri.

Tokoh-tokoh ini, yang dikenal dengan pengaruh besar di jagat digital Indonesia, memproduksi narasi bahwa Iran dan Hizbullah adalah musuh Islam, bukan sekutu. Padahal, dari sisi geopolitik dan data lapangan, Iran adalah satu-satunya negara Muslim yang secara konsisten memberi dukungan militer, ekonomi, dan diplomatik kepada kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Bandingkan dengan negara-negara lain yang justru menormalisasi hubungan dengan zionis. Maka pertanyaannya sederhana: mengapa yang diserang justru Iran?

Mungkin Anda sudah tahu siapa tokoh yang dimaksud. Mereka punya jutaan pengikut, rutin tampil dalam video pendek, sering berbicara soal “tauhid murni” atau “kembali ke Islam,” namun dalam setiap konflik Israel-Iran atau Israel-Hizbullah, posisi mereka selalu aneh: menyerang Iran, diam terhadap Israel. Dalam bahasa geopolitik, mereka mungkin tidak bekerja untuk Mossad, tapi mereka sedang menjalankan misinya—secara sukarela.

Fenomena ini sejalan dengan strategi intelijen asimetris: menggunakan pihak ketiga, menyusup lewat identitas agama, dan menyerang lawan dari dalam. Dan yang lebih mengerikan adalah: mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang menjadi bagian dari proyek besar yang lebih luas. Mereka pikir mereka sedang berdakwah, sedang menyebarkan Islam, padahal mereka sedang menyebarkan narasi perpecahan, menjauhkan umat dari poros perlawanan, dan memperkuat dominasi zionisme di Timur Tengah.

ISIS sendiri, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menyerang Israel secara langsung. Mereka justru menghancurkan Suriah, menyerang Irak, membantai warga sipil di Libya, dan menjadi dalih bagi AS dan NATO untuk mengintervensi kawasan. Saat kelompok perlawanan Palestina sedang bertempur mati-matian di Gaza, ISIS tidak pernah hadir membantu. Sebaliknya, ketika Hizbullah mengalahkan al-Qaeda dan ISIS di Lebanon, mereka justru diserang balik dengan narasi sektarian. Ini bukan kebetulan. Ini adalah desain geopolitik.

Kita harus jujur dan berani melihat ini sebagai fenomena global yang kini sedang merembes ke Indonesia. Ketika narasi anti-Iran dan anti-Syiah lebih dominan di media sosial dibandingkan narasi anti-zionis, maka ada yang salah dalam arah kesadaran kita. Apalagi ketika narasi-narasi itu disampaikan oleh figur-figur agama yang tidak pernah menyuarakan solidaritas kepada Palestina secara konsisten, dan tidak pernah sekalipun menyebut Israel sebagai penjajah.

Kita juga melihat kecenderungan masyarakat yang mudah terbakar emosi ketika mendengar kata “Syiah” atau “Iran,” tapi adem ayem ketika melihat kekejaman zionis di Gaza. Ini semua bukan karena umat Islam Indonesia jahat atau tidak peduli, melainkan karena kesadaran mereka telah dibentuk secara sistematis oleh narasi yang keliru—yang dibangun oleh mereka yang (disadari atau tidak) sedang melayani agenda musuh.

Oleh karena itu, negara perlu membuka mata bahwa gerakan radikalisme di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari dinamika global, termasuk konflik intelijen dan operasi informasi. Kita tidak cukup hanya bicara deradikalisasi dalam bentuk seminar atau dialog agama. Yang kita perlukan adalah pemahaman strategis yang lebih dalam: bahwa ISIS dan kelompok-kelompok ekstremis bisa saja menjadi bagian dari perang hibrida dan perang narasi yang menguntungkan zionis, bahkan jika mereka sendiri tidak sadar.

Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas intelijen dan literasi digital untuk mengidentifikasi narasi-narasi destruktif yang berbalut agama tapi menyusupkan agenda geopolitik asing. Masyarakat pun perlu lebih cerdas memilah mana dakwah yang mencerahkan, dan mana “dakwah” yang justru menyesatkan umat dari arah perjuangan yang benar. Jangan sampai kita terjebak dalam perang sesama Muslim, sementara penjajah tanah suci Palestina malah tertawa melihat perpecahan kita.

Waspada terhadap ISIS bukan hanya soal menangkal bom atau serangan fisik. Waspada terhadap ISIS juga berarti membongkar narasi, membedah motif ideologis, dan mengenali siapa yang diuntungkan. Jika narasi radikal di Indonesia terus menyerang Iran dan kelompok perlawanan, tapi abai terhadap kejahatan zionis, maka itu adalah tanda besar bahwa kita sedang diseret masuk ke dalam perang yang tidak kita sadari.

Dan dalam perang seperti itu, senjatanya bukan lagi peluru, tapi kata-kata. Dan musuhnya bukan hanya di luar, tapi sudah berdiri di mimbar, bersuara di TikTok, dan viral di timeline kita sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer