Connect with us

Opini

Tak Ada Gencatan Senjata Iran-Israel, Ini yang Sebenarnya Terjadi

Published

on

Donald Trump, dengan gaya khasnya yang meledak-ledak, mengumumkan gencatan senjata antara Iran dan Israel telah berlaku. Ia bahkan sempat membumbuinya dengan kalimat “Do not drop those bombs!” dalam unggahannya di Truth Social. Namun tak lama berselang, dentuman rudal terdengar di langit Teheran dan Beersheba. Kedua negara masih saling menyerang. Di lapangan, realitas membantah klaim presiden Amerika Serikat itu.

Pernyataan Trump adalah potongan dari gambaran yang lebih kompleks dan jauh dari selesai. Ia berbicara seolah mampu mendikte dua kekuatan besar di Timur Tengah, tapi faktanya, kendali itu nihil. Ia menyebut gencatan senjata telah disepakati penuh sejak Senin malam, dan menyerukan agar semua pihak menahan diri. Namun, tak sampai 24 jam kemudian, rudal kembali mengudara, korban kembali berjatuhan, dan tuduhan pelanggaran kesepakatan dilontarkan ke segala arah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Israel menuduh Iran meluncurkan serangan setelah waktu yang disepakati, menyebutnya pelanggaran mutlak. Mereka membalas dengan serangan tiga fase yang menghantam barat Iran, termasuk radar militer di dekat Teheran. Iran menyangkal tuduhan itu. Menurut pernyataan resmi dari IRGC, mereka hanya menyelesaikan rangkaian pembalasan atas serangan terhadap ilmuwan nuklir dan infrastruktur mereka. Tidak lebih. Tidak kurang. Semuanya dilakukan tepat sebelum pukul 4 pagi waktu Teheran.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyebut bahwa tidak pernah ada gencatan senjata dalam arti formal. Tidak ada negosiasi. Tidak ada perjanjian. Tidak ada satu pun kata sepakat yang diucapkan. Yang ada hanyalah kesepahaman tidak tertulis: jika Israel berhenti, maka Iran juga akan berhenti. Tapi syaratnya jelas—tanpa prasyarat dan tanpa tipu muslihat. Begitu Israel mengisyaratkan penghentian serangan pukul 4 pagi, Iran pun menghentikan serangannya. Tapi itu bukan kesepakatan. Itu respons strategis.

Lalu apa yang membuat dunia—dan sebagian besar media—seakan percaya bahwa gencatan senjata telah terjadi? Barangkali karena pernyataan keras dan klaim politis lebih mudah diangkat ketimbang penjelasan nuansa dan fakta lapangan. Atau mungkin karena sebagian besar dunia sudah lelah dan ingin segera mendengar kata “perdamaian”, betapapun palsunya. Tapi jika ini disebut perdamaian, maka itu adalah perdamaian yang retak sejak awal. Perdamaian dalam bayang-bayang misil dan ancaman balas dendam.

Sementara itu, korban terus bertambah. Kementerian Kesehatan Iran melaporkan 610 orang tewas dan 4.746 luka-luka sejak awal konflik pada 13 Juni. Di Israel, korban tewas mencapai 28 orang. Di Beersheba, serangan udara menghancurkan rumah warga dan melukai 22 orang. Tak ada yang sungguh-sungguh aman. Tak ada yang benar-benar menang. Tapi yang paling menderita tetaplah warga sipil—mereka yang tak punya kendali atas peluru maupun diplomasi.

Israel memulai eskalasi ini dengan menyerang fasilitas nuklir Iran. Mereka berdalih bahwa Iran tengah mendekati kemampuan senjata nuklir. Namun, Badan Energi Atom Internasional belum menyimpulkan bahwa Iran benar-benar membangun senjata nuklir. Memang, Iran memperkaya uranium hingga 60%—dekat dengan level senjata. Tapi apakah itu bukti persiapan perang atau langkah pertahanan dari tekanan eksternal? Dunia belum sepakat. Tapi Israel tak menunggu jawaban.

Iran membalas, tapi dengan kalkulasi. Bahkan saat membombardir posisi militer Israel, IRGC tetap menyampaikan bahwa pembalasan dilakukan sesuai jadwal dan akan dihentikan bila agresi berakhir. Mereka menyebut ini sebagai hak bela diri. Dan ketika Israel menghentikan serangan mereka, Iran juga tidak melanjutkan. Namun mereka menolak menyebutnya “gencatan senjata”. Karena bagi mereka, kata itu mengandaikan dua pihak duduk bersama, menegosiasikan, dan mencapai kata sepakat. Hal yang tak pernah terjadi.

Pertanyaannya kini, mengapa dunia begitu cepat menyambut klaim Trump? Apakah demi stabilitas jangka pendek? Ataukah karena gencatan senjata adalah narasi yang lebih “menenangkan” daripada mengakui bahwa dua kekuatan regional ini tengah berada di tepi jurang perang besar? Sementara itu, Washington juga dilematis. Mereka ikut menyerang Iran bersama Israel—terutama terhadap fasilitas nuklir Fordo—namun juga ingin menjaga agar konflik tidak berkembang menjadi perang regional yang tak terkendali.

Trump sendiri, dalam satu kalimat, mengatakan ia “tidak senang” dengan Israel. Tapi di kalimat lain, ia menegaskan bahwa “gencatan senjata berlaku.” Kontradiksi ini mencerminkan satu hal: ketidakpastian. Bukan hanya soal kontrol AS terhadap sekutunya, tapi juga mengenai posisi Amerika di tengah dunia yang semakin enggan tunduk pada dikte sepihak. Iran tahu itu. Maka mereka tidak merasa perlu tunduk pada narasi yang bukan mereka sepakati.

Kenyataan ini membawa kita pada satu refleksi penting: bahwa bahasa diplomatik, ketika tak dibarengi realitas lapangan, bisa berubah menjadi alat propaganda. Kata “gencatan senjata” seolah digunakan untuk meredam kepanikan pasar, untuk menunjukkan kemajuan diplomasi, padahal faktanya tidak ada dasar faktual untuk menyebut bahwa perang telah berhenti. Yang terjadi hanyalah jeda—jeda yang setiap saat bisa berubah menjadi kobaran lagi.

Iran tidak merasa kalah. Bahkan dalam pernyataan resmi, mereka berterima kasih kepada para prajuritnya yang terus berjaga hingga tetes darah terakhir. Dan mereka menegaskan bahwa jika diserang lagi, mereka akan membalas. Sementara itu, Israel masih siaga. Jet tempur mereka masih melintasi wilayah udara. Unit radar masih dalam posisi tempur. Dan tak satu pun pihak benar-benar menutup kemungkinan serangan susulan. Maka pertanyaan pentingnya: ini gencatan senjata, atau hanya pernapasan sebelum babak selanjutnya?

Dalam dunia yang diwarnai informasi instan, kadang kebenaran tidak bersuara. Ia tenggelam dalam kebisingan narasi, klaim, dan manipulasi kata. Tapi yang tak bisa dimanipulasi adalah nyawa yang melayang, kota yang hancur, dan anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Di balik semua pernyataan politik itu, satu fakta paling sunyi tetap berlaku: tak ada gencatan senjata. Yang ada hanyalah jeda yang terlalu rapuh untuk disebut damai.

*Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer