Connect with us

Opini

AS Kewalahan, Israel Terancam: Rudal Iran Mengubah Peta Pertahanan

Published

on

Amerika Serikat, negara adidaya yang konon punya teknologi paling canggih di kolong langit, baru saja kehabisan nafas—bukan karena dihantam rudal nuklir, bukan karena diserang dengan pasukan berkuda ala Mongol, tapi karena terlalu sibuk… menangkap rudal. Selama 12 hari yang lebih mirip mimpi buruk daripada latihan militer, AS membakar 15 sampai 20 persen stok global sistem pertahanan THAAD demi menyelamatkan ‘sekutu kecilnya’ di Timur Tengah dari banjir rudal Iran. Dan dalam dunia yang mulai jenuh dengan propaganda “invincibility,” kenyataan itu datang seperti pukulan telak di ulu hati.

Konfliknya bukan dimulai oleh Iran. Seperti biasa, keributan dimulai dari Washington dan Tel Aviv yang entah dapat ilham dari mana, tiba-tiba menyerang fasilitas militer, nuklir, dan sipil Iran. Serangan yang “unprovoked” ini—istilah sopan dari Newsweek—membuka babak konfrontasi yang membuktikan bahwa ketika lawanmu sudah cukup sabar, dia bisa merespons dengan cara yang tak terduga. Iran tak sekadar membalas. Ia mengirim pesan. Dengan rudal. Banyak rudal. Dan yang lebih penting, rudal yang ternyata cukup pintar untuk membuat sistem pertahanan AS—yang nilainya miliaran dolar—terlihat seperti gawang bolong dalam pertandingan tarkam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ada satu yang sangat ironis: Amerika datang membela ‘Israel’, tapi yang diselamatkan justru kredibilitasnya sendiri. Sayangnya, kredibilitas itu pun ikut hangus bersama rudal-rudalnya. Sistem THAAD, mahakarya Lockheed Martin yang katanya bisa menghentikan rudal balistik di fase terminalnya, berkali-kali gagal. Fattah-1, rudal hipersonik Iran, lewat begitu saja. Mach 15 katanya kecepatannya. Di atas kertas, THAAD bisa melawan itu. Tapi kertas dan kenyataan kadang tidak akur. Apalagi di medan perang.

Dan ini belum menghitung rudal dari Yaman. Iya, Yaman. Negara yang sering dianggap ‘lapar dan lumpuh’ itu berhasil meluncurkan Zulfiqar sejauh 2.200 km, tepat ke Beer al-Sabe’. Tanpa dicegat. Tanpa dihalau. Sistem pertahanan ‘Israel’ hanya bisa menyalakan sirene, memberi efek teatrikal yang sia-sia. Sementara rudal itu menghantam lokasi militer sensitif. Kabar baiknya: tidak ada ledakan besar. Kabar buruknya: ilusi keamanan meledak lebih keras dari kepala rudal itu sendiri.

Dalam kondisi semacam itu, Washington tak bisa banyak bicara. Ketika ditanya soal rincian, Pentagon hanya menjawab, “We have nothing to provide.” Barangkali yang mereka maksud bukan data, tapi harga diri. Atau rasa percaya diri. Atau sisa THAAD yang kini tinggal 80 persen. Sementara dunia menyaksikan bahwa bahkan negara paling kuat pun bisa kelelahan hanya dalam dua minggu, dan yang dilawannya bukanlah Rusia, bukan China, tapi Iran dan aliansinya di kawasan.

Setiap rudal THAAD dihargai 12 hingga 27 juta dolar. Dalam waktu singkat, AS membakar lebih dari satu miliar dolar. Bukan untuk menang, tapi untuk bertahan. Bukan karena ingin, tapi karena harus. Bayangkan: negara dengan utang publik lebih dari $34 triliun, mencetak uang demi menembakkan rudal pencegat, hanya agar tak terlihat lemah. Bukankah ini seperti membeli payung seharga Ferrari, padahal yang datang bukan hujan badai, tapi hujan batu dari tetangga yang sudah lama sakit hati?

Kita di Indonesia pun harus mencermati ini. Bukan karena kita akan beli THAAD (uangnya nggak cukup), tapi karena kita diajari untuk selalu memandang Barat sebagai poros kekuatan tak tertandingi. Buku-buku pertahanan kita dipenuhi puja-puji terhadap sistem NATO, seolah tidak ada celah di balik baja. Padahal, ketika rudal-rudal Iran dan Yaman lewat seperti peluru nyasar di gang sempit, semua pujian itu berubah menjadi catatan kaki sejarah.

Ada satu hal yang lebih menyedihkan daripada senjata gagal: doktrin yang tak pernah dikaji ulang. Amerika Serikat, dalam seluruh kemegahannya, tak pernah menyangka bahwa musuh bisa sekreatif itu. Mereka tidak memperhitungkan bahwa perang modern tak melulu soal siapa punya bom paling besar, tapi siapa bisa bertahan paling lama dengan biaya paling rendah. Dan hari ini, itu bukan AS. Itu Iran, Yaman, dan siapa saja yang berani bilang: “Kami tidak butuh miliaran dolar untuk membuat kalian panik.”

Karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari kekacauan ini. Ketika mereka sibuk menyempurnakan rudal pencegat, yang lain sibuk menyempurnakan rudal yang sulit dicegat. Ketika mereka menggantung harapan pada sistem elektronik dan radar canggih, yang lain berinvestasi pada ketahanan sosial dan jaringan milisi yang tak bisa diredam dengan satelit. Dan ketika mereka menganggap perang hanya bisa dimenangkan oleh kekuatan, lawannya membuktikan bahwa keletihan lawan adalah senjata yang jauh lebih mematikan.

Di tengah semua ini, satu hal menjadi terang: perang bukan lagi soal siapa lebih kaya, tapi siapa lebih siap. Amerika mungkin punya gudang senjata. Tapi gudang itu tak akan membantu kalau pelurunya habis sebelum babak kedua dimulai. Dan ‘Israel’? Ia bukan lagi ‘benteng tak tertembus’, tapi lebih mirip bunker bocor yang butuh perawatan darurat dari AS setiap kali hujan rudal datang.

Maka kita sampai pada kesimpulan getir: dunia sedang berubah. Tatanan lama yang bergantung pada superioritas militer Barat sedang retak. Sementara poros perlawanan justru belajar, beradaptasi, dan menyerang di waktu yang tepat. Jika ini adalah awal dari era baru, maka bab pertamanya sudah ditulis dengan jelas: “Kami bisa membuatmu membayar miliaran, dengan rudal seharga motor bekas.”

Dan seperti biasa, sejarah tak ditulis oleh mereka yang punya senjata paling mahal. Tapi oleh mereka yang tahu bagaimana cara membuat musuhnya salah langkah — dan membayar harga dari kesombongannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer