Connect with us

Opini

Ketika Timur Tengah Mulai Melihat Israel Sebagai Masalah

Published

on

Israel menyerang Iran. Sebuah kalimat pendek yang memuat beban geopolitik begitu besar, dan seketika menggetarkan jantung kawasan. Reaksi datang bukan hanya dari musuh-musuh lama Tel Aviv, tetapi dari negara-negara yang sebelumnya memilih mendekat dan membuka diri. Bukan lagi sekadar menahan napas menghadapi ketegangan, para pemimpin Teluk kini mulai bersuara: serangan itu, kata mereka, adalah tindakan yang “tak termaafkan”. Tak bijak. Tak stabil.

Dulu, Israel dipandang sebagai pagar kuat terhadap apa yang dianggap sebagai ancaman Iran. Ia dijual sebagai perisai canggih terhadap ambisi nuklir, jaringan proksi, dan kebijakan regional Teheran yang diklaim agresif. Maka ketika Trump mendorong Abraham Accords—normalisasi hubungan antara Israel dengan UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan—banyak yang berharap poros baru ini akan memperkuat keseimbangan kawasan. Tapi sekarang, justru pagar itu retak dari dalam.

Salah satu diplomat Arab menggambarkan Netanyahu sebagai sosok yang “di luar kendali”—di Gaza, Lebanon, Suriah, dan kini Iran. Bagi negara-negara Teluk, ini bukan lagi sekadar urusan politik luar negeri. Ini tentang siapa yang benar-benar mengancam stabilitas. Pertanyaannya bergeser dari “apa yang akan dilakukan Iran” menjadi “sampai sejauh mana Israel akan melangkah?” Karena nyatanya, Tel Aviv tidak lagi membatasi ambisinya di wilayah pendudukan. Ia mulai menyasar negara berdaulat.

Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Mohammad Baharoon, direktur lembaga kebijakan B’huth di Dubai, mengingatkan satu hal yang mencemaskan: Israel kini punya kapasitas menyerang siapa pun, kapan pun. Dan jika hari ini mereka bisa menyerang Iran, apa yang mencegah mereka besok menghantam Qatar? Atau kepentingan energi Teluk yang saling terhubung, seperti ladang gas yang berbagi dengan Teheran? Ketakutan ini bukan paranoia. Ia lahir dari pola-pola yang terus berulang.

Sikap negara-negara Teluk mulai berubah. Arab Saudi dan Oman—yang dulu aktif dalam retorika anti-Iran—mengutuk serangan Israel. Meski secara pribadi sebagian pejabat masih berharap instalasi nuklir Iran lumpuh, mereka kini dibayangi kecemasan lebih besar: bahwa wilayah mereka menjadi saksi pertarungan dua kekuatan militer besar, dan mereka hanya penonton tak berdaya. Ironisnya, yang dulu mereka dorong kini menjadi beban yang tak mudah dipikul.

Perubahan ini juga mencerminkan kegagalan narasi lama. Iran telah lama dituduh sebagai biang instabilitas. Tapi kini, Iran justru memilih diplomasi, bahkan saat diserang. Serangan balasannya ke pangkalan udara al-Udeid di Qatar pun dilakukan dengan perhitungan dan keterukuran. Tak ada niat mengobarkan perang besar. Ini menantang narasi bahwa Iran adalah aktor irasional. Justru sikap Tel Aviv yang terlihat tak punya batas—tak peduli pada reaksi sekutu atau keseimbangan kawasan.

Abraham Accords yang pernah diagung-agungkan kini berada di ujung tanduk. Dulu, ia dianggap batu loncatan menuju masa depan damai dan modern di Timur Tengah. Tapi jika normalisasi itu digunakan hanya untuk membungkam suara Palestina atau membiarkan Israel menjalankan perang preventif lintas batas, apa artinya kesepakatan ini? Ketika rakyat di negara-negara penandatangan mulai mempertanyakan, akankah para pemimpin tetap bertahan atas nama ilusi stabilitas?

Fakta geopolitik hari ini menunjukkan bahwa banyak negara Teluk kini tidak tertarik lagi dengan konfrontasi. Arab Saudi, misalnya, telah menggeser prioritas dari konflik ke transformasi. Visi 2030 MBS menuntut kestabilan ekonomi, investasi, dan keterbukaan—bukan ketegangan regional yang berisiko menakut-nakuti investor dan mengusir ekspatriat. Maka tak mengherankan jika Saudi kini menolak serangan militer terhadap Iran, bahkan yang terbatas sekalipun.

Ini bukan berarti Teluk kini bersahabat penuh dengan Iran. Tapi pendekatannya berubah. UEA, walau lebih hawkish, tidak menentang rekonsiliasi Saudi-Iran yang dimediasi China. Oman dan Kuwait mengambil posisi lebih moderat, membangun jalur komunikasi tanpa provokasi. Yang mereka tolak bukan Iran sebagai entitas, tapi instabilitas yang bisa memicu krisis energi, eksodus modal, bahkan pergolakan internal di masa depan.

Israel kini terlihat lebih seperti kekuatan yang ingin “mengatur ulang” tatanan regional dengan caranya sendiri. Bahwa mereka didukung penuh oleh AS hanya memperparah kekhawatiran. Seperti yang diungkapkan Daniel Benaim dari Middle East Institute, Israel adalah “Sparta baru di Timur Tengah”—kuat, agresif, dan siap menggunakan kekuatan militer untuk mengubah lanskap regional sesuai keinginannya. Tapi apakah kekuatan seperti itu bisa diandalkan sebagai mitra jangka panjang?

Beberapa pejabat Teluk—yang meminta identitasnya dirahasiakan—mengaku sedikit “berterima kasih” karena Israel telah menghantam infrastruktur militer Iran tanpa memicu reaksi besar dari Teheran. Tapi mereka juga tahu, ini seperti menepuk bara api. Tak ada jaminan ke depan serangan semacam itu tidak akan memicu siklus kekerasan baru, yang justru melampaui kemampuan mereka untuk dikendalikan.

Refleksi ini membawa kita pada satu pertanyaan mendalam: apakah kekuatan militer tanpa batas harus terus diterima sebagai jaminan keamanan? Atau justru kekuatan seperti itu yang harus mulai diawasi—atau bahkan dibatasi? Jika dulu Teluk percaya pada perlindungan melalui aliansi, kini mereka mulai melihat bahwa aliansi dengan aktor tak terkendali bisa mendatangkan bahaya lebih besar daripada manfaat strategisnya.

Perubahan sikap ini tidak terjadi dalam semalam. Tapi perang Iran–Israel, dan cara Israel bertindak di luar kehendak kolektif kawasan, telah mempercepat krisis kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, tak ada akta diplomatik yang cukup kuat untuk menyatukan kembali tatanan lama. Mungkin inilah saatnya Timur Tengah membayangkan ulang struktur keamanannya—bukan dengan mengandalkan kekuatan asing, tapi dengan membangun kerangka kerja regional yang setara, saling menghormati, dan berbasis kepentingan bersama.

Israel mungkin masih melihat dirinya sebagai tembok terakhir menghadapi “ancaman”. Tapi jika tembok itu mulai menekan bahkan teman sendiri, maka mungkin tembok itulah yang perlu dibongkar dan diganti dengan jembatan. Karena kekuatan tanpa kebijaksanaan tak akan membangun perdamaian. Ia hanya akan memperpanjang lingkaran ketakutan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *