Connect with us

Opini

Abraham Accords Babak Baru: Ketika Suriah dan Lebanon Didekati dengan Umpan Damai

Published

on

Ada dialog langsung setiap hari di semua level antara Israel dan rezim di Suriah. Saya sendiri yang memimpinnya bersama para pejabat politik di sana.” Pernyataan itu bukan disampaikan oleh juru bicara biasa. Ia keluar dari mulut Tzachi Hanegbi, kepala Dewan Keamanan Nasional “Israel,” dalam sidang tertutup Knesset yang kemudian bocor ke media. Seketika, lanskap politik Timur Tengah seakan bergeser dalam diam. Tidak dengan dentuman bom, tetapi dengan kata-kata yang menyelipkan satu pesan: babak baru sedang dimulai, dan kali ini Suriah disebut-sebut sebagai calon anggota Abraham Accords.

Abraham Accords bukan lagi sekadar kesepakatan diplomatik. Ia telah menjelma menjadi cetak biru tatanan baru kawasan. Dimulai dari UEA, Bahrain, dan Maroko, kini pintu-pintu yang dulunya tertutup perlahan diketuk. Dan Suriah—yang selama lebih dari satu dekade porak-poranda oleh perang, sanksi, dan isolasi—tiba-tiba muncul sebagai kandidat potensial untuk menjalin hubungan resmi dengan entitas zionis. Seolah sejarah, trauma, dan perlawanan yang melekat dalam tubuh bangsa itu bisa dipangkas dengan satu kata: normalisasi.

Dalam laporan yang dipublikasikan oleh Israel Hayom dan dikutip oleh Al Mayadeen serta The Cradle, disebutkan bahwa dialog langsung antara Tel Aviv dan pemerintahan transisi Suriah dipimpin langsung oleh Hanegbi. Pemerintah sementara di Damaskus, yang disebut-sebut dipimpin Ahmad al-Sharaa—nama yang diyakini merujuk pada Abu Muhammad al-Julani, mantan komandan Jabhat al-Nusra—terlibat dalam percakapan politik dan koordinasi keamanan harian. Ini bukan rumor. Ini konfirmasi langsung dari pejabat tertinggi keamanan Israel sendiri.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin seorang yang sebelumnya dicap “jihadis ekstrem” kini jadi perwakilan politik yang dilibatkan dalam negosiasi perdamaian? Jawabannya mungkin tak sesederhana kutukan atau konspirasi. Dunia ini terlalu kompleks untuk dibagi dalam hitam-putih, tapi terlalu absurd jika dihadapi tanpa rasa curiga. Perang Suriah telah menghancurkan bukan hanya bangunan dan infrastruktur, tapi juga peta aliansi dan batas-batas ideologis. Dan dalam kehancuran itu, hadir ruang untuk rekayasa, baik dari kekuatan lokal maupun global.

Fakta bahwa Sharaa mengaku berbagi “musuh bersama” dengan Israel menjadi sinyal paling terang bahwa poros perlawanan sedang dihadapkan pada tantangan internal yang tak kalah serius dari ancaman eksternal. Ini bukan sekadar soal diplomasi; ini soal ke mana arah Suriah akan dibawa. Apakah akan kembali ke poros perlawanan yang selama ini menjadi ciri khasnya, atau justru menjelma menjadi satelit baru dari tatanan Timur Tengah yang disusun ulang oleh AS dan sekutunya?

Seiring dengan itu, muncul laporan bahwa Suriah telah melakukan penangkapan terhadap anggota kelompok perlawanan Palestina seperti PIJ dan PFLP–GC. Aset mereka disita, dan aktivitas mereka direpresi. Ini bukan langkah netral. Ini adalah pesan bahwa rezim baru sedang melakukan “pembersihan ideologis” untuk menyesuaikan diri dengan norma baru—norma yang ditulis di Tel Aviv dan disahkan di Washington. Jika ini benar, maka Suriah bukan hanya menjauh dari perlawanan, tetapi juga menjadi bagian dari proyek penghancurannya.

Tidak berhenti di situ, Lebanon juga disebut sebagai kandidat untuk bergabung dalam Abraham Accords. Meski belum ada konfirmasi resmi, langkah diplomatik semacam ini tak bisa dilepaskan dari tekanan besar terhadap Hizbullah—satu-satunya kekuatan militer yang masih menjadi duri dalam daging zionis. Jika Damaskus benar-benar berbalik arah, maka Hizbullah akan terisolasi dari sisi timur. Dan itulah tujuan jangka panjang normalisasi: memecah front perlawanan secara geografis dan psikologis.

Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara yang konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina dan menolak normalisasi dengan zionis seharusnya tidak memandang isu ini sekadar sebagai urusan Timur Tengah. Jika negara-negara yang dulu menjadi simbol perlawanan seperti Suriah mulai menandatangani kesepakatan damai tanpa keadilan, bagaimana kita akan menjelaskan kepada publik bahwa perjuangan Palestina belum selesai? Bagaimana kita bisa terus menjaga suara publik tetap tegas jika dunia Arab sendiri mulai bungkam?

Bahkan jika Suriah mengklaim bahwa ini demi “stabilitas regional” atau “perlindungan komunitas Druze di Golan”, kebenaran tetap satu: Israel masih menduduki tanah itu. Pernyataan Hanegbi bahwa “kami tidak akan mundur dari Hermon” hanya mengukuhkan bahwa normalisasi ini bukan bentuk kompromi timbal balik. Ia adalah bentuk akomodasi sepihak. Pendudukan tidak dihentikan. Penjajahan tidak dikutuk. Yang ada hanyalah janji kerja sama keamanan dan iming-iming ekonomi.

Uni Eropa, dalam waktu hampir bersamaan, menawarkan paket pemulihan senilai $200 juta untuk Suriah. SWIFT—sistem keuangan global yang sebelumnya menendang Suriah keluar—kini membukakan pintu kembali. Semua ini bukan kebetulan. Mereka adalah bagian dari orkestrasi besar untuk menggiring Damaskus ke panggung diplomasi yang dikendalikan oleh Barat. Dan untuk itu, harga yang harus dibayar adalah prinsip.

Mungkin sebagian akan berkata, “Bukankah perdamaian lebih baik dari perang?” Ya, tentu. Tapi perdamaian macam apa? Jika itu berarti mengesahkan pendudukan, menekan kelompok perlawanan, dan menerima Israel tanpa pengakuan atas hak-hak Palestina, maka itu bukan perdamaian. Itu penyerahan. Itu kooptasi. Dan sejarah menunjukkan bahwa perdamaian semacam itu hanya memperpanjang penderitaan dalam bentuk yang lebih sunyi.

Hari ini, kita menyaksikan bagaimana ide besar tentang perlawanan dan pembebasan diuji. Tidak oleh tank atau rudal, tapi oleh meja perundingan, oleh janji bantuan, oleh diplomasi yang dibungkus “stabilitas.” Dan dalam ujian itu, satu demi satu mulai goyah. Namun barangkali di sanalah titik baliknya. Ketika semua yang semula dianggap sebagai tiang perlawanan mulai runtuh, maka rakyat-lah yang harus berdiri. Bukan sekadar memprotes atau berteriak, tapi memahami bahwa perlawanan tidak boleh tergantung pada elit, apalagi yang mudah dibeli.

Mungkin ini waktunya kita kembali bertanya: apa makna kemerdekaan dan perlawanan di abad ke-21? Apakah itu hanya slogan? Atau sebuah pilihan sadar untuk tidak menyerah, bahkan saat dunia menormalisasi penjajahan? Pertanyaan itu penting. Bukan hanya bagi Suriah dan Lebanon, tapi juga bagi kita di Indonesia—yang selama ini mengklaim berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Sebab diam di tengah pengkhianatan kolektif bukanlah netralitas. Ia adalah bentuk lain dari keberpihakan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *