Opini
Perang Iran-Israel Belum Usai: Bayang-Bayang Eskalasi yang Mengintai

Donald Trump, dengan nada penuh emosi, memperingatkan Israel agar tak lagi menyerang Iran, hanya beberapa jam setelah ia mengumumkan gencatan senjata pada 24 Juni 2025. Ia memaki kedua pihak, menyebut mereka tak tahu apa yang diperjuangkan—seolah perang 12 hari yang menewaskan ratusan jiwa ini telah benar-benar berakhir. Tapi benarkah semuanya kembali seperti semula? Realitas berkata lain: perang ini belum selesai, hanya tertunda. Dan kini, bola berada di tangan Israel. Satu serangan lagi, baik dari Israel maupun Amerika Serikat, bisa memicu Iran untuk membalas dan mengobarkan kembali api konflik yang baru saja mereda. Namun, mampukah Israel dan AS menahan diri dan memenuhi komitmen untuk tak lagi menyerang? Waktu yang akan menjawabnya.
Lihatlah warga Beersheba, Israel, yang terbangun di tengah malam oleh sirene peringatan rudal. Menurut laporan Associated Press (AP), serangan Iran menghantam gedung-gedung permukiman, menewaskan empat orang dan melukai 20 lainnya. Beberapa korban bahkan berada di ruang aman—tempat yang seharusnya melindungi mereka dari ancaman luar. Di Tehran, langit dipenuhi cahaya ledakan, suara dentuman mengguncang kota. BBC melaporkan bahwa warga menyaksikan ledakan dari jarak jauh, dan trauma menyebar lebih cepat daripada debu yang mengepul. Korban di Iran bahkan jauh lebih banyak: 974 orang tewas dan 3.458 terluka, termasuk 387 warga sipil, menurut Human Rights Activists. Gencatan senjata mungkin telah menenangkan senjata untuk sementara, tapi luka-luka—baik fisik maupun emosional—tak akan sembuh begitu saja. Ketika keluarga kehilangan orang tercinta, rumah hancur, dan ketakutan terus menghantui, normalitas menjadi sesuatu yang mustahil.
Gencatan senjata yang diumumkan Trump seharusnya menjadi titik balik menuju perdamaian. Namun hanya beberapa jam setelah pukul 05.00 GMT, Israel menuduh Iran telah meluncurkan dua rudal, meski berhasil dicegat. Iran membantah tuduhan itu dan justru menuding Israel sebagai pelaku serangan udara fajar yang menewaskan ilmuwan nuklir Mohammad Reza Sedighi Saber, menurut BBC. Pertukaran tuduhan ini menunjukkan bahwa gencatan senjata bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah jeda yang penuh ketegangan. Trump, dalam unggahannya di Truth Social, meminta Israel agar “jangan jatuhkan bom itu” dan menyerukan agar kedua pihak “tenang”. Tapi ketika kepercayaan nyaris tak ada, bagaimana mungkin ketenangan bisa bertahan? Ini bukan penutupan babak, melainkan awal dari permainan menunggu—menunggu siapa yang lebih dulu menarik pelatuk.
Klaim bahwa perang telah usai dan keadaan kembali normal juga dibantah oleh kenyataan di lapangan. Akar konflik tetap utuh. Netanyahu, dalam pernyataannya yang dikutip AP, mengklaim bahwa Israel telah “menghancurkan” program nuklir Iran. Namun, laporan intelijen dari Defense Intelligence Agency AS menunjukkan bahwa program tersebut hanya tertunda beberapa bulan, bukan dihancurkan. Trump bahkan sempat sesumbar bahwa program nuklir Iran telah “musnah sepenuhnya”, namun Gedung Putih buru-buru mengoreksi dan menyebut penilaian tersebut sebagai “tidak akurat”. Ketidakselarasan ini mengindikasikan bahwa ancaman yang menjadi alasan utama konflik—program nuklir Iran—masih eksis. Iran sendiri bersikeras bahwa programnya bersifat damai. Namun, peringatan dari IAEA tentang 400 kg uranium yang diperkaya hingga 60% menjadi bukti nyata bahwa ketegangan belum terselesaikan.
Jika serangan datang lagi, Iran memiliki dasar dan legitimasi untuk membalas. Saeed Khatibzadeh, dalam wawancaranya dengan Al Mayadeen, menyatakan, “Setiap agresi akan kami balas.” Pernyataan itu bukan sekadar retorika, tetapi peringatan keras yang mencerminkan kesiapan Iran menghadapi kemungkinan eskalasi berikutnya. Bahkan jika pelanggaran dianggap kecil oleh Israel, bagi Iran itu cukup sebagai pemicu untuk respons militer yang “tegas dan tepat waktu”.
Bola kini ada di tangan Israel dan AS sebagai pendukung utama. AP melaporkan bahwa Trump menghubungi Netanyahu setelah serangan AS ke Iran pada 22 Juni, memintanya mencari solusi diplomatik. Ia mengklaim bahwa “ancaman langsung Iran telah dihilangkan.” Meski Israel menahan diri dari serangan besar-besaran pasca-komunikasi tersebut, posisinya tetap agresif. Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, secara eksplisit memerintahkan serangan ke Tehran untuk “menggagalkan target rezim.” Jika retorika ini berubah menjadi aksi, respons Iran sangat mungkin terjadi, dan siklus kekerasan akan berulang dengan intensitas yang lebih besar.
Diplomasi yang seharusnya menjadi jalan keluar tampak rapuh. Qatar, atas permintaan AS, kini berperan sebagai mediator antara Washington dan Tehran. Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengecam Israel sebagai sumber ketidakstabilan, namun tetap menegaskan pentingnya diplomasi. Iran, melalui Presiden Masoud Pezeshkian, juga menekankan pentingnya hubungan baik dengan Qatar dan menjelaskan bahwa serangan ke pangkalan Al-Udeid bukanlah ditujukan ke Doha, melainkan sebagai balasan atas agresi AS. Meski begitu, sikap Iran tetap tegas: mereka menolak negosiasi di bawah tekanan militer. Utusan AS, Steve Witkoff, menyebut adanya pembicaraan awal dengan Iran, tetapi skeptisisme dari pihak Iran menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap diplomasi Barat masih sangat minim.
Korban sipil adalah pengingat paling menyakitkan bahwa tidak ada “kembali ke keadaan semula” dalam perang. Di Iran, 610 orang tewas sejak 13 Juni, menurut juru bicara Kementerian Kesehatan dalam laporan BBC. Di Israel, 28 nyawa melayang, termasuk empat orang di Beersheba. Puing-puing bangunan, mobil yang hangus, dan kaca berserakan di jalanan menjadi saksi bisu dari kekacauan. Di rumah-rumah sakit Tehran, para tenaga medis bekerja tanpa henti. Seorang ibu kehilangan dua anaknya yang tertimpa reruntuhan rumah. Di Beersheba, seorang anak berusia tujuh tahun kehilangan ayahnya yang berusaha menyelamatkan keluarga ke ruang aman. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah tragedi manusia yang membekas dan menciptakan trauma yang panjang.
Dampak ekonomi juga menunjukkan bahwa anggapan normalitas adalah ilusi. Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur penting bagi ekspor minyak dunia. AP menyebut bahwa jika jalur ini benar-benar ditutup, maka dunia akan merasakan dampaknya. Harga minyak bisa melonjak, dan ekonomi global akan terguncang. China—pembeli utama minyak Iran—sudah mengungkapkan kekhawatiran terhadap “spiral eskalasi” yang bisa mengacaukan stabilitas pasar. Trump mencoba menenangkan situasi dengan menyatakan bahwa gencatan senjata akan memastikan aliran minyak tetap berjalan, namun solusi ini hanyalah tambal sulam. Jika konflik kembali meletus, tidak hanya kawasan yang terkena dampaknya, tetapi seluruh dunia.
Pernyataan Trump di Truth Social, bahwa “Israel tak akan menyerang Iran” dan bahwa pesawat tempur akan “melambaikan tangan ramah”, terdengar seperti candaan buruk di tengah tragedi yang masih berlangsung. Kata-kata ini bukan menenangkan, tetapi justru menunjukkan betapa renggangnya pemahaman antara realitas dan retorika. Gencatan senjata ini bukan akhir, melainkan jeda yang sangat rapuh. Israel kini memegang kunci. Satu serangan lagi—dengan atau tanpa restu AS—akan memberi Iran alasan sah untuk membalas, seperti yang mereka lakukan di pangkalan Al-Udeid. Saeed Khatibzadeh sudah menegaskan: Iran siap merespons agresi apa pun.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apakah perang akan dimulai lagi?”, tapi “siapa yang pertama kali akan memicu ledakan berikutnya?”
Sumber:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/qatar-confirms-us-request-to-mediate-iran–israel–ceasefire
- https://english.almayadeen.net/news/politics/us-sent-messages-to-tehran-requesting-ceasefire–iranian-dep
- https://www.bbc.com/news/articles/czjk3kxr3zno
- https://apnews.com/article/israel-iran-trump-ceasefire-attacks-continue-f1e60190722cc3410b69f21717872ffa