Connect with us

Wawancara

Wawancara Eksklusif dengan Dandhy Laksono

Published

on

Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Delapan dekade Indonesia merdeka seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan arah bangsa. Perjalanan panjang ini bukan sekadar hitungan tahun, melainkan cermin sejauh mana cita-cita kemerdekaan sudah diwujudkan. Di tengah hiruk-pikuk politik, perkembangan teknologi, dan pergulatan sosial yang semakin kompleks, refleksi menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Untuk itu, Vichara.id berbincang dengan jurnalis dan pembuat film dokumenter, Dandhy Dwi Laksono, yang dikenal lewat Ekspedisi Indonesia Biru dan Ekspedisi Indonesia Baru. Dengan gaya lugasnya, ia menanggapi pertanyaan seputar refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia (17/8).

Berikut petikan wawancara kami:

Vichara.id: Dari dua kali ekspedisi keliling Indonesia, apa kesan paling kuat yang Mas rasakan?

Dandhy Laksono: Secara fisik, kita benar-benar merasakan betapa besar negara ini. Kalau naik pesawat dari Jakarta ke Jayapura, hanya lima jam. Kita berangkat tengah malam, tidur, lalu pagi sudah sampai. Tidak terasa apa-apa.

Tapi kalau naik motor keliling Indonesia, perjalanan Jakarta–Jayapura bisa berbulan-bulan karena mampir-mampir. Dari situ terasa, Indonesia ini luasnya setara Lisbon sampai Moskow. Jadi, sebanyak itu negara terkandung dalam wilayah sebesar ini.

Kesimpulan kami setelah dua kali keliling Indonesia: ini negara yang luas sekali, tapi tidak kompeten mengurusnya. Kayak nafsu besar, tenaga kurang. Senang karena luas, bisa jual kayu banyak, batu bara banyak, nikel banyak. Semua dikeruk karena negaranya luas. Tapi begitu mengurus hal mendasar seperti BPJS, pendidikan, guru—ya sudah, lupa kalau negara ini seluas itu. Itu kesan saya.

Vichara.id: Apa perubahan besar Indonesia yang Mas lihat dari perjalanan pertama ke perjalanan kedua?

Dandhy Laksono: Perubahan paling besar jelas infrastruktur fisik. Itu tidak bisa dipungkiri. Tapi banyak infrastruktur dibangun bukan untuk kepentingan publik, melainkan untuk mempercepat ekonomi ekstraktif: sawit, tambang, dan sejenisnya.

Misalnya ada kota bernama Bahodopi, pusat nikel di Morowali tempat PT IMIP beroperasi. Walaupun industri itu menampung 70 ribu pekerja, kotanya sama sekali tidak didesain untuk itu. Tidak ada persiapan sama sekali. Jadi, seperti tidak nyambung. Infrastruktur yang dibangun—bandara, jalan, dan sebagainya—jelas untuk kepentingan industri ekstraktif, bukan publik.

Sekolah dasar atau puskesmas bisa berdampingan dengan PLTU batu bara yang penuh polusi. Sampah tidak diurus, jalan berlubang, banjir tetap terjadi, air bersih susah. Jadi, ada kemajuan infrastruktur, tapi bukan untuk publik.

Yang mencolok, jalan tol bertambah, tapi semuanya privat. Sementara proyek untuk publik seperti tol laut atau sabuk laut tidak seheboh waktu peresmian. Jadi, kalau ditanya apa yang paling menonjol: ya infrastruktur, tapi tidak semuanya untuk rakyat.

Vichara.id: Ada daerah atau peristiwa yang menurut Mas betul-betul merepresentasikan “wajah asli” Indonesia?

Dandhy Laksono: Kalau bicara wajah asli dalam arti sifat masyarakatnya, saya kira komunalisme. Itu masih ada di komunitas Baduy, Ciptagelar, masyarakat Boti, masyarakat adat di Papua—meskipun Papua sendiri tidak suka disebut Indonesia. Tapi kalau bicara Nusantara, ya itu wajah aslinya: masyarakat adat yang hidup komunal.

Bung Karno ketika menggali Pancasila sampai mengatakan bahwa ada satu pasal yang bisa memeras semuanya, bukan Ketuhanan, tapi gotong royong. Gotong royong itu konsep komunalisme.

Di masyarakat adat, konsep itu masih nyata. Mereka yang menjaga hutan, memperbaiki air, melestarikan keanekaragaman hayati. Mereka mengambil dari alam dalam batas yang bisa dipulihkan. Orang Lamalera berburu paus, masyarakat adat Papua berburu kakaktua, tapi skalanya masih bisa direstorasi oleh alam.

Beda dengan kapitalisme, negara, atau investasi yang mengambil tanpa hitungan keberlanjutan. Hari ini mungkin kaya, tapi anak-cucu belum tentu. Itu bedanya.

Vichara.id: Apa makna kemerdekaan sesungguhnya menurut Mas, terutama bagi masyarakat pelosok?

Dandhy Laksono: Menurut saya, esensi kemerdekaan adalah hak atas tanah. Itu berlaku bukan hanya untuk masyarakat pelosok, tapi di seluruh Indonesia. Karena kolonialisme dulu intinya perampasan tanah.

Belanda dulu menerapkan Domein Verklaring. Setiap tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya lewat dokumen dianggap tanah negara. Bayangkan, masyarakat adat tahun 1870-an disuruh punya dokumen. Mustahil. Maka tanah mereka dirampas.

Ketika merdeka, tanah itu tidak kembali ke rakyat. Hanya berpindah tangan: dinasionalisasi, masuk ke perusahaan perkebunan, pabrik, bahkan militer. Apa yang tadinya markas tentara Belanda jadi markas tentara Indonesia. Apa yang tadinya lapangan terbang Jepang jadi lapangan terbang Indonesia. Jadi, tidak ada perubahan bagi rakyat.

Sampai hari ini konflik tanah tetap ada. Bahkan HGU di masa Belanda 75 tahun, di masa Jokowi bisa 190 tahun. Jadi lebih panjang dari kolonial. Inilah kenapa saya katakan kemerdekaan itu esensinya hak atas tanah.

Vichara.id: Apakah kemerdekaan sudah dirasakan merata di seluruh Indonesia? Kalau belum, kenapa? Kalau sudah, alasannya apa?

Dandhy Laksono: Kalau bicara apakah kemerdekaan dirasakan merata, ya harus dilihat dulu bagaimana orang melihat kemerdekaan. Kemerdekaan itu pasti dibandingkan dengan masa kolonial. Dulu ada diskriminasi kelas: ada kelas elit Eropa, kelas Timur Jauh, Tionghoa dan Arab, lalu pribumi yang dianggap kelas ketiga.

Sekarang, ada tidak diskriminasi seperti itu? Secara hukum tentu tidak ada. Tetapi, misalnya, ada 1 persen orang Indonesia yang menguasai 70 persen aset nasional. Atau lihat indeks Gini penguasaan tanah kita: 0,58. Artinya, 1 persen orang menguasai 58 persen tanah di Indonesia. Itu apa kalau bukan menciptakan kelas?

Bedanya, kalau zaman Belanda itu apartheid—tertulis, menjadi aturan resmi. Sekarang tidak tertulis. Seolah-olah semua orang sama di depan hukum, semua orang berkedudukan sama di depan negara, semua warga negara diperlakukan setara. Begitu di atas kertas. Tetapi akses terhadap hasil kemerdekaan—kekayaan alam, tanah, perumahan, ekonomi, dan seterusnya—sangat timpang.

Indeks Gini kita timpang sekali. Indonesia termasuk salah satu negara dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi. Jadi, kalau ditanya apakah kemerdekaan dirasakan merata, ya tergantung indikator apa yang dipakai untuk membandingkan: bagaimana ketika kita disebut dijajah dan ketika kita disebut sudah merdeka.

Vichara.id: Memasuki 80 tahun kemerdekaan, apakah kemerdekaan kita masih utuh atau sudah banyak tergerus kepentingan politik dan ekonomi? Bagaimana itu bisa terjadi?

Dandhy Laksono: Seperti jawaban sebelumnya, masalahnya kita tidak pernah selesai mendefinisikan apa itu penjajahan dan apa itu kemerdekaan.

Tan Malaka, misalnya, pernah mengkritik Soekarno: kemerdekaan itu harus 100 persen, tidak bisa setengah-setengah. Kalau setelah merdeka kita masih melanjutkan sistem kolonial atas nama pembangunan, ya artinya belum benar-benar merdeka.

Bung Hatta dulu menekankan pendidikan sebelum kemerdekaan. Sementara Soekarno lebih di tengah. Menurutnya, kalau menunggu semua orang pintar dulu, kita tidak akan pernah merdeka. Justru dengan merdeka, kecepatan orang menjadi pintar akan lebih besar. Pandangan itu diterima secara umum, sementara Bung Hatta dianggap terlalu idealis.

Tapi Tan Malaka tetap mengingatkan: kalau memang mau merdeka, pastikan tujuannya merdeka 100 persen, bukan sekadar formalitas. Menurut saya, Indonesia sekarang secara sosiologis dan tren politiknya terjebak pada kemerdekaan yang formal. Perayaan kemerdekaan berlangsung, tapi tidak direnungkan dengan cara membandingkan kondisi saat kolonial dengan setelah merdeka.

Vichara.id: Bagaimana perkembangan isu lingkungan dan ketimpangan sosial yang Mas lihat dari perjalanan dan dokumenter?

Dandhy Laksono: Isu sosial dan lingkungan itu berjalan seiring. Daerah-daerah yang lingkungannya rusak justru dicatat ekonominya naik.

Contohnya Maluku Utara, pertumbuhan ekonominya diklaim 25 persen, sementara rata-rata nasional di bawah 5 persen. Seolah-olah mengundang decak kagum. Tapi kenyataannya, di semua cerita di mana terjadi kerusakan lingkungan, ekonomi memang tumbuh 20 persen, tapi untuk siapa?

Sebagian besar daerah tambang justru mengalami pemiskinan. Angka kemiskinannya naik terus: di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dan seterusnya. Indikator tingkat kemiskinannya terus naik.

Jadi, tidak nyambung: bagaimana mungkin ekonomi bisa tumbuh 20 persen, tapi kemiskinan juga naik? Surplusnya ke mana?

Vichara.id: Apa ancaman terbesar bagi masa depan Indonesia dari sudut pandang Mas?

Dandhy Laksono: Bagi saya, ancaman terbesar adalah menjadi negara gagal. Indikatornya sudah mulai terlihat. Banyak orang tidak bangga lagi menjadi orang Indonesia. Ada tagar Kabur Aja Dulu atau Indonesia Gelap.

Rasa memiliki hilang. Bahkan muncul bendera One Piece di perayaan kemerdekaan. Walaupun bentuknya satir atau sarkas, itu merefleksikan sesuatu yang lebih dalam. Ada juga ungkapan, “Ya Tuhan, kenapa aku dilahirkan sebagai WNI?” Bayangkan, sudah 80 tahun merdeka, tapi orang menyesal jadi warga negara. Itu harusnya jadi bahan renungan mendalam.

Jadi, menurut saya, ancaman itu nyata: menjadi negara gagal. Dan negara gagal dalam sejarah bisa bubar, bisa berubah bentuk, bisa pecah jadi negara-negara kecil.

Mitigasinya? Salah satunya dengan gagasan federalisme. Sejak Bung Hatta sudah ada ide itu. Bahkan Ekspedisi Indonesia Baru sendiri punya editorial: setelah dua kali keliling Indonesia, kami menyimpulkan tidak ada cara lain. Negara ini terlalu besar untuk diurus sendiri, jadi sebaiknya diurus bersama-sama dalam bentuk federalisme.

Mantan Wartawan

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer