Opini
Zionis Gunakan Manusia sebagai Perisai, Dunia Bungkam!

Seorang tentara Israel akhirnya buka suara. Ia menulis di Haaretz, mengakui bahwa militer Israel menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia di Gaza lebih sering dari yang diakui. Katanya, ini bukan insiden langka, tapi rutinitas harian. Enam penyelidikan resmi? Lelucon. Kalau serius, harus ada lebih dari dua ribu penyelidikan. Tapi siapa yang peduli?
Para prajurit mengikatkan kehormatan mereka pada gagasan kemanusiaan yang sudah lama mati. Mereka menyebutnya “Shawish“, atau kalau diterjemahkan lebih jujur: budak. Palestina, dalam logika kolonial modern, bukan lagi sekadar tanah jajahan. Itu laboratorium eksperimentasi moral di mana kejahatan bisa diulang, dipelajari, dan disempurnakan tanpa konsekuensi.
Hukum internasional? Ah, tentu. Konvensi Jenewa melarang penggunaan warga sipil sebagai tameng manusia. Itu bukan sekadar pelanggaran, tapi kejahatan perang. Tapi mari kita tertawa bersama, karena siapa yang akan menegakkannya? Amerika Serikat? Uni Eropa? PBB? Mereka semua tahu, tapi memilih diam. Hukum hanya berlaku bagi musuh yang kalah.
Seorang sipil Palestina dipaksa masuk ke sebuah rumah. Apakah ada pejuang di dalamnya? Apakah ada ranjau? Itu bukan urusan tentara Israel. Mereka tak perlu mengambil risiko ketika bisa memerintahkan seseorang dengan todongan senjata. Jika selamat, rumahnya hancur. Jika tidak, hanya satu lagi angka dalam statistik. Dunia pun kembali minum kopi.
Dulu, tentara menggunakan anjing atau robot untuk membersihkan rumah-rumah itu. Sekarang, manusia yang dipilih. Jauh lebih murah. Lebih efisien. Tidak ada biaya perawatan, tidak ada sensor kemanusiaan yang perlu dihadapi. Jika korban menolak, ada metode lain. Dorongan senjata, tinju ke wajah, atau sekadar menembak kakinya. Ah, keajaiban demokrasi.
Hukum internasional seharusnya melindungi yang lemah. Tapi sistem ini tidak dibangun untuk Palestina. Jika hukum benar-benar ditegakkan, ada ribuan tentara, perwira, dan politisi Israel yang harus duduk di kursi terdakwa. Tetapi bagaimana mungkin itu terjadi jika hakimnya adalah kawan dekat terdakwa? Inilah pengadilan dunia, di mana keadilan hanya berlaku untuk yang kalah.
Prajurit yang membocorkan ini bukan whistleblower sejati. Ia hanya terkejut bahwa kejahatan ini dianggap langka, padahal ia menyaksikan sendiri betapa sistematisnya praktik ini. Ia tidak menyesali apa yang terjadi. Ia hanya kesal bahwa dunia luar masih percaya ada aturan main. Sementara itu, remaja Palestina dipaksa membersihkan jalan bagi pasukan yang sudah ditakdirkan menang.
Di mana Mahkamah Pidana Internasional? Bukankah mereka memiliki yurisdiksi atas kejahatan perang? Tetapi kita tahu, hukum internasional adalah permainan politik. Tentu, jaksa ICC bisa mengeluarkan pernyataan keras, tapi tanpa persetujuan negara-negara besar, itu hanya retorika. Palestina adalah eksperimen kekebalan hukum, di mana pelaku kejahatan bisa melenggang tanpa rasa takut.
Sejarah menunjukkan bahwa kejahatan yang dibiarkan akan berkembang menjadi budaya. Dari sekadar strategi militer, kini pemakaian tameng manusia telah menjadi norma. Ini bukan penyimpangan. Ini bukan keputusan individu tentara di lapangan. Ini kebijakan yang sudah disetujui secara diam-diam oleh mereka yang berkantor di Tel Aviv dan Washington.
Ada yang mengatakan bahwa para tentara itu hanyalah korban doktrinasi. Mereka dibesarkan dalam sistem yang membuat mereka percaya bahwa Palestina bukan manusia. Itulah esensi kolonialisme: mendidik penindas agar melihat korbannya sebagai makhluk tanpa hak. Begitu sebuah bangsa kehilangan haknya untuk dianggap manusia, maka semua perlakuan terhadapnya menjadi sah.
Dunia melihat ini terjadi dan memilih mengalihkan pandangan. Ada yang sibuk dengan sepak bola, ada yang sibuk membicarakan harga minyak, ada yang hanya takut bersuara karena konsekuensinya. Tapi satu hal yang pasti: kejahatan yang tidak dihukum akan terus berlanjut. Dan kejahatan yang dilindungi negara bukan lagi kejahatan individu, melainkan kejahatan negara.
Israel telah menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan apa pun tanpa hukuman. Mereka bisa mengebom rumah sakit, menembak jurnalis, menculik anak-anak, dan masih diterima di panggung dunia sebagai negara demokratis. Jika tidak ada hukuman, maka pesan yang dikirim ke dunia adalah bahwa kejahatan ini sah. Bahwa ini bukanlah pengecualian, tapi aturan main baru.
Di pengadilan sejarah, setiap negara yang diam akan ditanyai: mengapa kalian membiarkan ini terjadi? Mengapa kalian memilih berdiri di sisi penjahat? Dan mereka tidak akan memiliki jawaban selain kebisuan yang memalukan. Palestina telah menjadi saksi bisu dari pengkhianatan dunia terhadap prinsip-prinsip yang mereka klaim suci.
Prajurit itu menyebut ini sebagai “operasional necessity“. Istilah steril untuk tindakan biadab. Tentu, semua penindas dalam sejarah memiliki alasan rasional. Perbudakan dulu dianggap keharusan ekonomi. Kolonialisme dianggap tugas suci. Dan kini, apartheid di Palestina disebut sebagai kebutuhan keamanan. Definisi kejahatan selalu bisa diubah demi kenyamanan.
Tetapi sejarah tidak melupakan. Setiap kekaisaran yang pernah berpikir bahwa mereka kebal, akhirnya runtuh. Roma, Inggris, Uni Soviet—semuanya punya hari penghakiman. Israel boleh merasa aman hari ini, karena didukung oleh imperium yang sedang berkuasa. Tetapi arus sejarah tidak selamanya berpihak pada tiran. Suatu hari, impunitas ini akan berakhir.
Palestina bukan hanya korban dari kejahatan perang, tapi korban dari sistem yang gagal. Kegagalan hukum internasional, kegagalan moral global, dan kegagalan kita semua dalam melawan kebisuan. Mungkin saat ini dunia masih membiarkan mereka dipaksa masuk ke rumah-rumah sebagai tameng manusia. Tapi setiap tindakan penindasan menanam benih perlawanan. Dan sejarah telah membuktikan bahwa tak ada imperium yang bertahan selamanya.
Pertanyaannya bukan apakah keadilan akan datang. Pertanyaannya hanya kapan.