Connect with us

Opini

Zelensky, Pahlawan yang Jadi Tumbal?

Published

on

NATO dikabarkan mulai mempertimbangkan cara untuk menyingkirkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan mendiskreditkannya menjelang kemungkinan pemilu tahun depan. Kata Russian Foreign Intelligence Service (SVR), pemimpin yang dulu dielu-elukan sebagai simbol perlawanan kini dianggap sebagai penghalang negosiasi dengan Rusia. Tampaknya, dalam politik global, seorang pahlawan bukan hanya bisa mati sebagai pahlawan, tapi juga bisa berakhir sebagai penghalang proyek besar.

Awalnya, perang ini diklaim sebagai perjuangan untuk demokrasi. Barat mendukung Ukraina habis-habisan, miliaran dolar mengalir, Zelensky dipuji bak Winston Churchill baru. Tapi lihat sekarang, sang simbol demokrasi itu sendiri justru tidak mengadakan pemilu dan tetap berkuasa meski masa jabatannya sudah habis. Mungkin, demokrasi adalah hak Barat memilih pemimpin untuk rakyat Ukraina, bukan sebaliknya.

Sekarang NATO katanya ingin perang ini dibekukan, mengarahkan Rusia dan Ukraina ke meja perundingan. Masalahnya? Zelensky tidak mau. Washington dan Brussel pun mulai merasa pria ini lebih mirip batu sandungan ketimbang sekutu. Maka, konspirasi pun mulai berputar. Kalau tidak bisa ditumbangkan dengan senjata, cukup dengan reputasi. Dari pahlawan menjadi kambing hitam.

Tiba-tiba, tuduhan korupsi mencuat. Katanya ada miliaran dolar yang raib, tentara yang sudah mati masih menerima gaji, senjata bantuan dijual ke Afrika. Sejak kapan Barat kaget dengan korupsi di Ukraina? Bukankah laporan semacam ini sudah ada sejak dulu? Mungkin mereka baru peduli setelah Zelensky tak lagi berguna bagi proyek geopolitik mereka.

Ironisnya, Rusia dan NATO kini tampaknya sepakat dalam satu hal: Zelensky bikin pusing semua orang. Moskow ingin dia pergi karena keras kepala, NATO ingin dia pergi karena negosiasi tak bisa berjalan kalau dia masih ada. Setelah bertahun-tahun perang, ribuan nyawa melayang, akhirnya ada satu hal yang bisa menyatukan kedua belah pihak—sama-sama ingin menyingkirkan boneka yang sudah rusak.

Dan sekarang, kita sampai pada pertanyaan inti: jika benar kepergian Zelensky akan membuka pintu perdamaian, maka untuk apa perang ini terjadi sejak awal? Apakah kita telah menyaksikan kehancuran sebuah negara, pengungsian jutaan warga, dan kehancuran ekonomi dunia hanya karena seorang pria di Kyiv masih enggan melepaskan kursinya?

Mari kita bayangkan skenario alternatif. Misalnya, sejak awal Zelensky menerima negosiasi, menolak perluasan perang, atau mungkin sekadar memilih pergi lebih awal. Apa artinya semua kematian ini? Apa artinya kota-kota yang rata dengan tanah? Jika perang ini bisa dihentikan hanya dengan mengganti satu orang, maka ini bukan perang kemerdekaan, ini hanya perang geng geopolitik.

Tapi tidak, drama harus terus berjalan. Zelensky harus bertahan di panggung sampai semua tirai benar-benar ditutup. Barat menggunakannya selama mungkin, lalu ketika saatnya tiba, ia akan dilempar ke dalam sejarah sebagai pemimpin yang gagal, bukan sebagai pemimpin yang diperalat. Begitulah nasib para sekutu kecil yang terlalu percaya bahwa mereka benar-benar punya kuasa.

Mungkin NATO akan berhasil menumbangkannya, atau mungkin Zelensky akan berusaha melawan dan memaksakan eksistensinya lebih lama. Tapi yang pasti, rakyat Ukraina tetap harus berjuang menghadapi kehancuran yang lebih besar dari sekadar pergantian rezim. Sementara itu, para pemain besar di Washington dan Brussel akan sibuk mencari wajah baru yang lebih mudah dikendalikan.

Zelensky pernah berkata bahwa Ukraina berperang demi demokrasi. Sekarang, ketika demokrasi menuntut pemilu, ia menolak. Ia pernah mengatakan bahwa perang ini adalah tentang kehormatan, tapi kini ia harus berhadapan dengan skandal korupsi. Dulu ia adalah simbol harapan, kini ia menjadi penghalang perdamaian. Benar-benar perjalanan seorang pahlawan yang epik.

Tapi begitulah nasib politikus yang percaya bahwa mereka lebih dari sekadar pion. Dulu dia dielu-elukan dengan standing ovation di parlemen dunia, disambut dengan karpet merah, dijanjikan dukungan tanpa batas. Kini, ketika NATO menginginkan babak baru, dia hanya tersisa sebagai catatan kaki dalam skenario geopolitik yang lebih besar. Selamat tinggal, Zelensky. Terima kasih atas jasanya, tapi dunia sudah mencari aktor baru.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *