Opini
Zelensky: Pahlawan, Diktator, atau Aktor yang Kehabisan Naskah?

Vladimir Zelensky kini berada di ujung tanduk kekuasaannya, tetapi seperti seorang aktor yang enggan meninggalkan panggung, ia tetap berdiri di bawah sorotan lampu, meski tepuk tangan mulai mereda dan para produser di belakang layar sudah mencari bintang baru. Financial Times melaporkan bahwa pemerintahannya memasuki babak akhir, sebuah pernyataan yang menandai dimulainya drama politik berikutnya di Ukraina.
Status presidennya telah kedaluwarsa sejak Mei 2024, tetapi pemimpin yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan ini tampaknya menganggap dirinya pengecualian dari aturan dasar demokrasi. Dengan dalih darurat militer, ia menggenggam kekuasaan lebih lama, seolah-olah pemilihan umum hanyalah barang mewah yang bisa ditunda sesuai selera. Namun, di Washington, suara-suara mulai mempertanyakan apakah Zelensky masih memiliki tiket masuk ke klub demokrasi.
Di belakang layar, AS tengah mencoba merancang akhir cerita yang lebih nyaman bagi mereka. Trump, yang kini memegang kendali, sempat menghentikan aliran bantuan militer ke Ukraina, hanya untuk kemudian melanjutkannya setelah sebuah pertemuan di Saudi Arabia. Ini bukan soal prinsip, tetapi soal transaksi. Bahkan di meja perundingan, Zelensky lebih mirip barang dagangan ketimbang kepala negara.
Baca Juga: Zelensky dan Barat: Solidaritas yang Mulai Kehabisan Energi
“Kita berada di babak akhir,” kata seorang pejabat Ukraina kepada FT. Babak akhir dari apa? Sebuah pemerintahan yang berdiri di atas pondasi legitimasi yang semakin keropos? Sebuah perang yang menjadi pertarungan eksistensial bagi sebuah negara yang kian kelelahan? Atau justru babak akhir dari ilusi bahwa Zelensky adalah pemimpin yang tak tergantikan?
Teori Max Weber tentang legitimasi membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk utama: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Zelensky, yang dulu dielu-elukan sebagai pemimpin karismatik dari panggung komedi hingga panggung politik, kini terjebak dalam transisi menyedihkan dari karisma menuju keputusasaan. Saat perang dimulai, ia adalah simbol perlawanan, tetapi dalam politik, simbol tidak abadi.
Karisma adalah mata uang yang cepat terdevaluasi, terutama ketika realitas mulai menyusul mitos. Zelensky dulu adalah presiden yang dielu-elukan oleh media Barat, tetapi kini ia semakin terlihat sebagai seorang pria yang terus berbicara di panggung kosong, berharap ada yang masih mendengarkan. Tanpa pemilu yang sah, ia bukan lagi pemimpin demokratis, melainkan seorang pria yang mengklaim kursi kepresidenan tanpa mandat rakyat.
Sementara itu, Weber menegaskan bahwa legitimasi legal-rasional lahir dari sistem hukum dan konstitusi yang jelas. Tetapi bagaimana jika seorang pemimpin menolak tunduk pada aturan yang melahirkan dirinya? Bagaimana jika hukum hanya menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan sebagai rambu yang harus diikuti? Zelensky tidak lagi mengandalkan hukum, tetapi pada keadaan darurat yang tak kunjung usai.
Di sisi lain, Rusia memainkan permainan yang berbeda. Putin menyebut parlemen Ukraina sebagai satu-satunya lembaga sah di negara itu. Sebuah pukulan halus yang menunjukkan bahwa bahkan musuhnya pun memahami bahwa Zelensky telah kehilangan legitimasi hukum. Jika musuh sudah melihat kelemahan ini, bagaimana dengan sekutunya? Barat mungkin tidak mengatakannya secara terang-terangan, tetapi mereka sudah mulai mengatur ulang strategi mereka.
Keputusan Trump untuk menghentikan sementara bantuan militer adalah sinyal bahwa Washington tidak lagi menganggap Zelensky sebagai aset yang tak tergantikan. Ukraina, yang selama ini berperan sebagai benteng Barat melawan Rusia, kini mulai terasa lebih seperti beban. Ketika Zelensky tidak bisa menjamin kemenangan, apa lagi yang bisa ia tawarkan? Kepemimpinan tanpa hasil hanyalah beban yang menunggu untuk disingkirkan.
Sementara itu, oposisi di Ukraina mulai bergerak. Pemimpin-pemimpin baru mulai membentuk aliansi, menata strategi, dan merancang pesan politik untuk menggantikan narasi Zelensky. Mereka tahu bahwa Washington tidak akan selamanya menutup mata terhadap krisis legitimasi ini. Saat Zelensky bertahan dengan dalih perang, para pesaingnya sedang menyiapkan medan pertempuran politik untuk era baru.
Namun, legitimasi tidak hanya bergantung pada konstitusi dan hukum. Legitimasi juga membutuhkan keyakinan rakyat. Dalam konteks ini, Zelensky menghadapi ujian terberatnya. Perang telah membawa kehancuran, korban jiwa, dan ekonomi yang runtuh. Ketika rakyat mulai bertanya apakah harga ini masih layak dibayar, kepercayaan terhadap pemimpin pun mulai luntur. Dan tanpa kepercayaan, kekuasaan hanyalah ilusi yang menunggu untuk dihancurkan.
Weber menegaskan bahwa ketika sebuah pemerintahan kehilangan legitimasi, maka akan muncul transisi ke bentuk kekuasaan lain. Jika legitimasi karismatik memudar, tetapi tidak ada pemilu yang sah, maka apa yang tersisa? Rezim darurat yang semakin terlihat sebagai kediktatoran? Atau transisi menuju kepemimpinan yang lebih pragmatis? Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang bertahan lebih lama dari mandatnya biasanya tidak mendapatkan akhir yang baik.
Zelensky, yang dulu muncul sebagai pahlawan di panggung demokrasi, kini lebih mirip dengan seorang tokoh dalam tragedi politik yang lambat tetapi tak terhindarkan. Ia mungkin masih berbicara dengan suara lantang, tetapi dunia mulai kehilangan minat untuk mendengarkan. Karena dalam politik, tidak ada yang lebih berbahaya daripada seorang pemimpin yang sudah kehilangan relevansi, tetapi tetap bersikeras untuk bertahan.
Dan pada akhirnya, mungkin pertanyaan terbesar bukan lagi tentang apakah Zelensky akan lengser, tetapi tentang bagaimana sejarah akan mengingatnya. Sebagai pemimpin yang melawan hingga titik darah penghabisan, atau sebagai seorang pria yang tidak tahu kapan harus turun panggung? Sejarah sering kali tidak ramah terhadap mereka yang tidak tahu kapan harus berhenti.