Connect with us

Opini

Zelensky Ingin Jadi Anak Emas AS seperti Israel

Published

on

Di ruang-ruang diplomasi yang dipenuhi asap rokok dan bisik-bisik penuh intrik, Volodymyr Zelensky duduk dengan tatapan penuh harap, memimpikan Ukraina sebagai bintang kesayangan baru Amerika Serikat, seperti Israel yang selalu dimanjakan. Laporan terbaru dari RT menangkap momen ini dengan apik: Zelensky, dengan penuh semangat, meminta jaminan keamanan ala Israel, seolah ingin menukar nasib Ukraina yang terombang-ambing dengan pelukan erat Washington. Tapi, benarkah dia bisa menyaingi pesona Israel di hati Paman Sam?

Zelensky, mantan komedian yang kini jadi pahlawan perang, tampaknya tergiur oleh kilau hubungan AS-Israel. Bayangkan—maaf, maksudnya, pikirkan—Israel yang setiap tahun menerima $3,8 miliar bantuan militer, jet tempur F-35, dan veto AS di PBB kapan pun dibutuhkan. Sementara Ukraina? Meski telah menerima lebih dari $50 miliar sejak 2022, bantuan itu datang dengan drama Kongres, ancaman pemotongan, dan desakan Trump untuk menyerah pada Rusia. Zelensky pasti merasa seperti anak tiri yang hanya mendapat sisa kue ulang tahun.

Laporan RT mengungkap keinginan Zelensky untuk model keamanan “setidaknya sekuat” yang diberikan kepada Israel. Ini bukan sekadar ambisi, ini cemburu tingkat dewa. Israel, dengan lobi AIPAC yang seperti sulap, bisa membuat senator AS melompat dari kursi untuk mendukungnya. Ukraina? Harus puas dengan tepuk tangan di Twitter—maaf, X—dan janji manis yang sering luntur begitu pemilu AS bergulir. Zelensky ingin Ukraina jadi prioritas, bukan sekadar proyek sampingan Washington.

Tapi, mari kita lihat kenyataannya dengan kacamata sinis. Israel punya sejarah panjang sebagai benteng AS di Timur Tengah, lengkap dengan narasi “satu-satunya demokrasi di kawasan” yang selalu laku di Capitol Hill. Ukraina, meski heroik melawan Rusia, baru jadi sorotan sejak 2014, setelah kudeta yang didukung Barat—ups, maksudnya “revolusi rakyat.” Ukraina adalah pemain baru, sementara Israel sudah jadi aktor utama dalam drama geopolitik AS selama tujuh dekade. Zelensky ingin kursi VIP, tapi antreannya panjang.

Laporan itu juga menyinggung soal Krimea, yang menurut Trump “akan tetap bersama Rusia.” Zelensky menolak mentah-mentah, seolah dia punya pilihan. Israel, di sisi lain, bisa menduduki Golan Heights dan mendapat pengakuan AS tanpa banyak cingcong. Ukraina? Harus berdebat soal setiap inci tanah yang direbut Rusia, sementara AS dengan santai menyarankan “bekukan saja konfliknya.” Ini seperti Israel mendapat kaviar, sementara Ukraina cuma kebagian roti kering.

Zelensky mungkin bermimpi tentang senjata canggih dan cek kosong dari AS, tapi dia lupa satu hal: Israel punya kemandirian militer yang Ukraina hanya bisa iri. Israel mengembangkan Iron Dome, tank Merkava, dan industri pertahanan yang bikin dunia melongo. Ukraina? Tanpa pasokan HIMARS dan Javelin dari AS, pasukannya mungkin sudah kehabisan amunisi. Zelensky ingin jadi anak emas, tapi dia lebih mirip anak yang selalu minta jajan.

Laporan RT juga menyebut ketegangan dengan Trump, yang menyebut usulannya sebagai “tawaran terakhir.” Trump, dengan gaya pengusaha yang lebih suka deal cepat, sepertinya sudah bosan dengan drama Ukraina. Israel, sebaliknya, tak pernah mendapat ultimatum seperti ini. Bahkan ketika Netanyahu menentang kebijakan AS, Washington tetap memeluknya erat. Zelensky pasti bertanya-tanya: “Apa rahasia Netanyahu? Apakah aku perlu lebih sering selfie dengan Biden?”

Dan jangan lupakan lobi politik. AIPAC, dengan kantong dalam dan pengaruh yang seperti tongkat sulap, bisa menggerakkan mesin politik AS untuk Israel. Ukraina? Komunitas diaspora Ukraina di AS memang vokal, tapi mereka bukan AIPAC. Zelensky mungkin bisa memikat dunia dengan pidato-pidatonya yang penuh emosi, tapi dia tak punya pasukan pelobi yang bisa membuat senator AS bermimpi tentang Kiev di malam hari. Ini permainan kekuatan, dan Ukraina masih pemula.

Laporan itu juga menyinggung soal NATO, yang tampaknya tak akan membuka pintu untuk Ukraina dalam waktu dekat. Israel, yang bukan anggota NATO, tak pernah membutuhkan aliansi itu untuk merasa aman—AS sudah cukup. Zelensky, dengan cerdik, mencoba meniru model ini, tapi dia lupa bahwa AS melihat Israel sebagai investasi strategis, sementara Ukraina lebih seperti amal darurat. Anak emas tak perlu memohon; Ukraina masih harus mengemis.

Sekarang, mari bicara soal ketergantungan. Ukraina, menurut data SIPRI, mengimpor 90% senjatanya, sebagian besar dari AS dan sekutu Barat. Israel, meski juga menerima bantuan, mengekspor senjata senilai $12,5 miliar pada 2022, menurut Haaretz. Israel adalah mitra yang memberi balik; Ukraina hanya bisa mengulurkan tangan. Zelensky ingin diperlakukan sama, tapi dia tak punya bargaining chip yang sebanding. Ini seperti meminta kursi di meja dewasa sambil membawa piring plastik.

Laporan RT juga menyoroti sikap Rusia, yang ingin solusi permanen, bukan sekadar gencatan senjata. Rusia tahu bahwa bantuan Barat untuk Ukraina bisa jadi celah untuk mempersenjatai Kiev lagi. Israel, di sisi lain, tak pernah mendapat omelan dari AS soal bagaimana mereka menggunakan senjata. Zelensky mungkin iri melihat betapa bebasnya Israel bergerak, sementara Ukraina terus diikat dengan syarat dan pengawasan ketat.

Dan akhirnya, ada elemen psikologis. Zelensky, dengan jaket militernya yang ikonik, telah memikat dunia sebagai simbol perlawanan. Tapi di balik itu, dia pasti merasa frustrasi melihat Israel mendapat pelukan hangat AS tanpa harus berjuang sekeras Ukraina. Israel bisa membuat AS menari mengikuti iramanya; Ukraina harus menari sesuai irama Washington. Zelensky ingin jadi anak emas, tapi dia masih di bangku cadangan.

Jadi, apakah Zelensky bisa menyaingi Israel di hati AS? Mungkin dalam mimpi terliarnya. Ukraina, dengan segala heroismenya, tetap terjebak dalam realitas pahit: anak emas AS dipilih bukan karena perjuangan, tapi karena nilai strategis dan lobi yang licin. Zelensky bisa terus memohon jaminan ala Israel, tapi tanpa kekuatan ekonomi, militer, atau politik yang setara, dia hanya akan jadi penutup telinga bagi Washington yang sibuk dengan drama global lain. Satirnya? Dia ingin jadi primadona, tapi panggungnya sudah dikuasai bintang lama.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *