Opini
Zelensky Dijerat! Trump Peras Ukraina dengan Utang & Mineral

Bayangkan sebuah panggung dunia dengan dua aktor utama di bawah sorotan lampu: Donald Trump, sang maestro transaksi dengan rambut emas, dan Volodymyr Zelensky, pahlawan tragis yang terjebak dalam skenario yang bukan ciptaannya. Laporan terbaru dari Reuters membuka babak baru drama ini: Trump, dari ketinggian Air Force One, memperingatkan Zelensky agar tidak main-main dengan tawaran terbaru AS soal mineral Ukraina. Ini bukan negosiasi diplomasi, ini transaksi bisnis brutal.
Trump, layaknya pedagang ulung yang tak sabaran, menuntut Ukraina membayar kembali “utang” ratusan miliar dolar—versinya $300 miliar, meski Kiel Institute hanya mencatat $123 miliar—melalui hasil tambang mineral langka yang terkubur di tanah Kyiv. Zelensky, dengan wajah lelah dan sorot mata waspada, mengeluh bahwa draf terbaru ini penuh jebakan, lebih kejam dari sebelumnya, termasuk bunga 4% yang pasti bikin perutnya melilit. Perdamaian dengan Rusia? Sepertinya bukan prioritas utama.
Mari kita tarik mundur sedikit untuk melihat gambaran besarnya. AS, di bawah Trump, bukanlah malaikat penolong dengan sayap putih dan hati emas. Tidak, ini adalah AS yang membawa buku besar dan kalkulator, menghitung setiap sen yang dikeluarkan sejak 2022, lalu menagihnya dengan bunga layaknya rentenir di gang sempit. Mineral Ukraina jadi jaminan, dan Zelensky—yang mungkin membayangkan dirinya sebagai pahlawan rakyat—justru terperangkap dalam skema bisnis ala Washington.
Ini bukan soal mengakhiri perang dengan Rusia, meski Trump senang membual soal kepiawaiannya bernegosiasi. Ia terang-terangan mengatakan bahwa Ukraina tidak akan pernah masuk NATO—pernyataan yang terdengar lebih seperti bisikan manis ke telinga Putin daripada tamparan bagi Kyiv. Jika tujuan utama adalah perdamaian, bukankah masuknya Ukraina ke aliansi pertahanan justru menjadi solusi logis? Tapi tidak, Trump lebih suka memeras Ukraina sampai kering, sementara Rusia mungkin sedang tertawa di sudut panggung.
Kini, bayangkan Zelensky duduk di meja perundingan dengan tangan gemetar. Di satu sisi, ia butuh senjata dan dana AS untuk melawan tank Rusia di timur. Di sisi lain, Trump menyodorkan kontrak dengan nada dingin, berkata, “Tanda tangan di sini, atau hadapi Putin sendirian.” Pilihan yang luar biasa: menyerahkan mineral yang bisa menjadi tulang punggung masa depan Ukraina atau kehilangan bantuan yang menjaga negerinya tetap bernapas. Ini bukan tawaran, ini ultimatum.
Dan Trump? Dia memainkan perannya dengan apik. Ia membekukan bantuan militer dan intelijen segera setelah Zelensky berani membantahnya di Oval Office—sebuah balasan kecil yang terasa seperti adegan dalam reality show. Lalu, ia kembali dengan draf baru yang lebih keras, lebih rakus, seolah berkata, “Kau pikir ini negosiasi? Ini perintah.” AS bukan sekutu di sini; mereka adalah tuan tanah yang menagih sewa dari penyewa yang sudah jatuh bangkrut.
Tapi mari kita jujur, ini bukan pertama kalinya AS memainkan kartu “bantuan bersyarat”. Laporan ini hanya memperjelas pola lama: bantuan selalu datang dengan tali yang mengikat erat di leher penerima. Ukraina, dengan tanahnya yang kaya mineral langka—bahan baku masa depan teknologi—adalah jackpot yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. Perdamaian? Itu cuma embel-embel opsional.
Sekarang, bayangkan peta dunia sebagai papan Monopoli raksasa. Trump, dengan topi “America First”, melempar dadu dan mendarat di kotak Ukraina. Ia tak peduli apakah Kyiv dan Moskow berdamai; yang ia incar adalah tambang emas yang tersembunyi di bawah tanah itu, dengan keuntungan yang mengalir ke kantong AS. Zelensky mungkin berpikir bisa menawar, tapi di mata Trump, dia hanyalah pion yang lupa membaca aturan permainan.
Lalu, ada angka-angka yang dilemparkan ke publik: $123 miliar menurut Kiel Institute, $300 miliar menurut Trump. Dari mana selisihnya? Mungkin dari imajinasi sang presiden, atau mungkin dari kalkulasi ajaib yang hanya dia pahami. Tapi itu tak penting—yang penting adalah narasinya. Dengan mengumbar angka besar, Trump membenarkan langkahnya: “Kami sudah terlalu banyak memberi, sekarang giliran kalian membayar!” Dan pembayarannya bukan dengan ucapan terima kasih, melainkan dengan aset nasional.
Sementara itu, di Kyiv, rakyat Ukraina mungkin bertanya-tanya: untuk apa kami bertarung? Melawan Rusia di garis depan, hanya untuk disandera AS di meja perundingan? Mineral yang seharusnya menjadi harapan masa depan mereka—untuk membangun kembali kota-kota yang hancur, sekolah-sekolah yang rata—malah menjadi jaminan utang kepada negara yang katanya sekutu. Ini seperti diselamatkan dari serigala hanya untuk dilempar ke kandang singa.
Trump, dengan gayanya yang tanpa basa-basi, menyatakan bahwa Zelensky “punya masalah besar” jika berani menolak. Ancaman itu terdengar seperti dialog antagonis dalam film murahan, tetapi di dunia nyata, itu lebih nyata dan lebih dingin. Zelensky tahu ia tak punya banyak kartu untuk dimainkan: tanpa AS, Ukraina bisa runtuh lebih cepat ke tangan Rusia. Jadi, ia menelan ludah, tersenyum kecut, dan mungkin berdoa agar rakyatnya tidak terlalu marah saat kontrak itu diteken.
Di balik layar, Rusia pasti sedang menikmati pertunjukan ini dengan popcorn di tangan. Setiap langkah Trump yang memperlemah Ukraina adalah kemenangan kecil bagi Putin, tanpa perlu mengeluarkan peluru tambahan. Dan AS? Mereka tak peduli siapa yang menang di medan perang, asalkan cadangan mineral mereka tetap aman. Ini bukan tentang keadilan atau perdamaian—ini tentang siapa yang membawa pulang keuntungan terbesar.
Jadi, apa sebenarnya tujuan AS di Ukraina? Laporan ini memberi kita jawaban yang jelas: bukan untuk mengakhiri perang, bukan untuk stabilitas Eropa Timur, melainkan untuk mengamankan jackpot ekonomi yang berkilau di bawah tanah. Trump memainkan perannya sebagai bos kasino, dan Ukraina adalah meja judi yang tak bisa mundur. Perdamaian mungkin akan menjadi lagu penutup yang indah, tapi keuntungan adalah bintang utama di panggung ini—dan AS tidak akan turun sebelum mengantongi semuanya.
Akhir cerita ini belum ditulis, tapi satu hal pasti: Zelensky berdiri di tepi jurang, dengan Trump di satu sisi dan Putin di sisi lain, masing-masing dengan senyum yang sulit dipercaya. Rakyat Ukraina? Mereka hanyalah penonton yang tak diajak bicara, menyaksikan nasib mereka ditentukan oleh tangan-tangan yang lebih peduli pada mineral daripada darah yang telah tertumpah. Selamat datang di geopolitik—di mana perdamaian hanyalah dalih, dan keuntungan adalah tujuan sebenarnya.