Connect with us

Opini

Zelensky dan Barat: Solidaritas yang Mulai Kehabisan Energi

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Zelensky berdiri di atas panggung global dengan megafon diplomasi, menyerukan dunia untuk bersatu demi “kebenaran,” “keadilan,” dan, tentu saja, kedaulatan Ukraina. Tetapi, di balik layar megah itu, para sekutu mulai melirik jam tangan mereka, menghitung ongkos dari perang yang tak kunjung usai. Dunia Barat, yang sebelumnya bertepuk tangan meriah dengan retorika heroik, kini terlihat seperti penonton konser yang menyadari tiketnya terlalu mahal untuk sebuah pertunjukan yang terasa membosankan.

Dulu, para pemimpin Eropa berlomba-lomba berfoto bersama Zelensky. Mereka memuji keberaniannya, memanggilnya “Churchill modern,” dan menyelipkan janji-janji bantuan miliaran dolar dalam amplop diplomasi. Tapi siapa yang sangka, dukungan itu rupanya memiliki tanggal kedaluwarsa. Dengan harga energi yang melonjak dan inflasi yang menggigit, “Churchill modern” itu kini terlihat lebih seperti pengamen yang dipaksa bernyanyi terlalu lama di jalanan Brussels.

Di ruang-ruang mewah istana pemerintah, pembicaraan tentang “solidaritas tanpa batas” mulai digantikan dengan desahan panjang dan diskusi tentang “kompromi realistis.” Oh, tentu saja, kompromi itu selalu dimulai dengan kata-kata manis seperti “untuk perdamaian.” Tetapi mari kita jujur: perdamaian versi mereka hanyalah nama lain dari menyerahkan sepotong besar Ukraina ke Rusia. Mengapa? Karena ternyata harga gas jauh lebih penting daripada integritas wilayah sebuah negara di Eropa Timur. Prioritas, bukan?

Dan Zelensky? Ia tetap teguh. Ia berbicara tentang “keadilan” dan “perjuangan sampai akhir.” Ia bersikeras bahwa NATO adalah tujuan akhir dan bahwa setiap jengkal tanah yang dicaplok Rusia harus dikembalikan. Namun, di balik layar, para pemimpin Barat mengangkat alis dan berbicara dengan suara yang lebih rendah. Mereka tahu, seperti halnya pemain catur yang buruk, terkadang Anda harus mengorbankan bidak untuk menyelamatkan permainan. Dan dalam hal ini, Ukraina tampaknya adalah bidak yang siap mereka korbankan.

Di Italia, Prancis, Jerman, rakyat mulai berkata, “Mengapa kita harus peduli?” Dalam poling terbaru, mayoritas penduduk lebih memilih perdamaian meski itu berarti Ukraina kehilangan sebagian wilayahnya. Solidaritas mulai kehilangan kilaunya ketika harga roti dan listrik naik. Zelensky mungkin masih memainkan biola heroismenya, tetapi sepertinya penonton sudah keluar dari gedung konser.

Barat kini menghadapi dilema moral yang aneh. Mereka berbicara tentang “membela demokrasi” sambil mengintip tagihan listrik mereka. Mereka memuji keberanian Ukraina di depan kamera, tetapi di ruang-ruang tertutup, mereka bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir. Dan di tengah semua ini, Zelensky berdiri, seperti seorang aktor yang ditinggalkan sutradara, mencoba mempertahankan panggungnya sendiri.

Mari kita tidak lupa soal Amerika Serikat. Mantan presiden Donald Trump dengan santai mengatakan ia bisa menyelesaikan perang ini dalam 24 jam. Sebuah klaim yang luar biasa, setara dengan menjanjikan dunia tanpa kemacetan di Jakarta. Tapi hei, siapa yang peduli soal realisme ketika Anda bisa membuat headline bombastis? Trump, seperti biasa, menawarkan solusi sederhana untuk masalah yang kompleks. Potong bantuan militer, beri Rusia apa yang mereka mau, selesai. Zelensky? Oh, dia mungkin tidak akan senang, tetapi siapa peduli? Lagipula, seperti kata Trump, “Tidak ada bangunan yang masih berdiri dengan baik di sana.”

Pada akhirnya, perang ini bukan lagi tentang Ukraina. Ini tentang siapa yang memiliki energi lebih lama—secara harfiah dan metaforis. Barat mulai lelah, rakyat mereka mulai marah, dan Zelensky tetap berdiri teguh, meskipun ia mungkin merasa sendirian di tengah ribuan kursi kosong. Retorika heroik itu masih ada, tetapi penontonnya sudah pulang. Pertanyaannya sekarang: Berapa lama Zelensky bisa tetap memegang megafon sebelum suaranya tenggelam dalam kebisingan pragmatisme dunia?

 

*Sumber: Russian Today

 

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Zelensky: Pahlawan, Diktator, atau Aktor yang Kehabisan Naskah? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *