Connect with us

Opini

YouTube: Dari Platform Hiburan Menjadi Senjata Perang Israel

Published

on

Pada 13 Juni, langit Timur Tengah kembali dihiasi kilatan rudal dan dentuman ledakan. Israel menyerang Iran, memicu eskalasi baru dalam percaturan geopolitik yang tak kunjung usai. Tapi rupanya, perang tak hanya berlangsung di udara atau tanah gersang di sekitar Teluk Persia. Di balik layar-layar datar dan ponsel-ponsel pintar Eropa, sebuah perang lain telah dimulai—lebih halus, lebih licin, dan jauh lebih menyesatkan. Perang ini bernama iklan. Tempatnya: YouTube. Pelakunya? Pemerintah Israel, tentu saja. Dan sasarannya adalah benakmu.

Berdasarkan laporan investigasi MintPress News, sejak serangan terhadap Iran itu, Israel menggelontorkan puluhan juta dolar hanya untuk memasang iklan di YouTube. Bukan iklan parfum, bukan video klip boyband, tapi kampanye propaganda kelas berat yang menyebut serangan itu sebagai “pembelaan peradaban Barat.” Dengan latar musik heroik dan narasi bergetar seperti trailer film Marvel, Israel menggambarkan dirinya bukan sebagai penjajah, tapi penyelamat. Dari siapa? Dari rakyat Palestina dan Iran yang dilabeli “teroris.” Luar biasa, bukan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bayangkan: sebuah negara yang telah menghancurkan 94% rumah sakit di Gaza, membunuh lebih dari 1.400 tenaga medis, melukai dan membunuh lebih dari 50.000 anak-anak Palestina, justru tampil di YouTube sebagai aktor kemanusiaan paling peduli sedunia. Mereka bahkan menyebut diri mereka sedang melakukan “operasi kemanusiaan terbesar di dunia.” Entah harus tertawa atau menangis ketika melihat Dr. Adnan al-Bursh, kepala ortopedi di Rumah Sakit Al-Shifa, yang ditangkap, disiksa, dan tewas di penjara Israel, lalu disandingkan dengan narasi “Israel membawa senyum untuk anak-anak Gaza.” Mungkin maksudnya, senyum pahit terakhir sebelum napas mereka dicabut.

Lebih menyedihkan lagi, video-video iklan ini menyasar pemirsa di Inggris, Prancis, Jerman, Italia, dan Yunani—negara-negara yang seharusnya punya warisan humanisme. Video ini muncul sebagai iklan paksa sebelum menonton vlog kucing, tutorial makeup, atau resensi film. Dengan jumlah views mencapai 45 juta hanya dalam sebulan, dan dalam lima bahasa, kampanye ini bukan sekadar presentasi, tapi invasi wacana.

Dan jangan salah, semua ini tidak organik. Hampir tak ada komentar, nyaris nol diskusi publik, dan hanya sedikit “likes”—video-video ini ibarat selebriti yang terkenal karena dipromosikan, bukan karena prestasi. Sementara video yang tidak dipromosikan oleh pemerintah Israel? Paling banter ditonton oleh dua lusin orang. Artinya, narasi Israel hidup bukan karena relevan, tapi karena dibayar mahal.

Ironisnya, saat Israel dengan leluasa memasarkan versi heroiknya di YouTube, konten-konten yang mendukung Palestina justru diberangus. Dihapus. Diblokir. Dicap sebagai “dukungan terhadap kelompok kekerasan.” Akun-akun yang selama ini menyuarakan penderitaan rakyat Gaza mendadak menghilang—tak ada penjelasan rinci, hanya sebaris email dingin dari YouTube: “telah melanggar pedoman komunitas.” Tidak disebutkan bahwa pelanggaran itu mungkin hanya berupa foto anak yang menangis di puing rumahnya.

Apakah ini hanya algoritma yang salah arah? Atau, seperti puzzle yang pelan-pelan membentuk gambar utuh, kita melihat skema yang lebih besar? Dugaan yang menguat: bukan mustahil Israel tidak hanya membayar iklan, tapi juga—secara tersirat atau tersurat—membayar untuk membungkam. Sampai hari ini belum ada bukti publik bahwa ada transfer uang khusus untuk menghapus konten pro-Palestina. Tapi pola dan kejanggalannya terlalu rapi untuk sekadar kebetulan. Mungkin uang tak selalu harus berpindah tangan; cukup dengan kekuasaan, lobi, atau mitra strategis dalam platform global, hasilnya sudah bisa ditebak.

YouTube, dalam hal ini, tampaknya bukan lagi ruang netral bagi ekspresi bebas. Ia telah menjadi arena yang dimenangkan oleh yang punya dana lebih besar dan akses lebih dalam. Israel tahu betul: jika ingin menguasai dunia, jangan hanya kuasai tank dan rudal—kuasai juga pikiran orang-orang yang menonton iklan sebelum video masakan.

Dan Google, perusahaan induk YouTube, dengan santainya menjawab bahwa mereka memiliki “kebijakan yang ketat terhadap konten kekerasan dan diskriminatif,” dan bahwa semua iklan dipantau secara objektif. Mereka bahkan menyatakan bahwa jika iklan melanggar aturan, maka akan segera dihapus. Lucunya, iklan yang menuduh Iran sebagai ancaman eksistensial Eropa, memperlihatkan grafik benua merah darah disertai musik horor, dinyatakan aman dan sesuai kebijakan. Tapi video dokumenter tentang anak Palestina yang kelaparan, diblokir.

Kita sedang hidup di era di mana kebenaran bisa dibentuk seperti plastisin (lilin malam untuk modeling). Dan YouTube, yang dulunya tempat orang belajar bikin kopi atau menonton stand-up comedy, kini menjadi panggung propaganda negara. Negara mana? Negara yang secara sistematis membungkam suara-suara yang memperjuangkan kemanusiaan, sambil berteriak bahwa dirinya adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Lebih tragis lagi, negara itu bukan satu-satunya pelakunya. Banyak negara lain yang bersekongkol dalam diam. Tidak ada iklan Israel di Irlandia atau Spanyol, karena dua negara ini dengan jelas mengutuk agresi Israel. Tapi lihat siapa yang paling banyak disasar? Negara-negara yang secara politis dekat dengan Tel Aviv, meski warganya makin muak dengan kebohongan yang dijejalkan lewat layar mereka. Di Yunani, satu video propaganda Israel dalam bahasa lokal ditonton lebih dari satu juta kali—hampir 10% dari populasi negara itu. Dan video itu? Tak ada komentar, tak ada diskusi. Hanya angka yang digelembungkan.

Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan YouTube sepenuhnya. Mereka adalah perusahaan, dan perusahaan punya logika pasar. Tapi ketika logika pasar mendukung mesin pembunuh dan membungkam suara korban, maka platform itu bukan lagi korporasi biasa. Ia telah menjadi bagian dari mesin kekerasan global.

Di Indonesia, kita pun harus waspada. Jangan-jangan, satu hari nanti, anak-anak kita akan lebih dulu mengenal Israel sebagai penyelamat dari YouTube daripada dari buku sejarah. Jangan-jangan, narasi kemanusiaan kita akan dikalahkan oleh iklan pre-roll berdurasi 30 detik dengan efek sinematik dan bahasa yang merayu. Dan ketika kita memprotesnya? Akun kita dilaporkan, video kita dihapus, suara kita dibisukan.

Tapi mungkin, justru karena itu, kita tidak boleh diam. Kita harus terus bersuara, terus menulis, terus bertanya. Karena dalam dunia yang dikuasai oleh algoritma dan uang, mempertahankan suara kebenaran adalah tindakan radikal. Dan barangkali satu-satunya cara agar kelak sejarah tidak ditulis oleh mereka yang paling kaya, tapi oleh mereka yang paling benar.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer