Connect with us

Opini

Yang Mundur Bukan Sekadar Amerika, Tapi Akal Sehat Dunia

Published

on

Keterlibatan yang berkelanjutan dalam UNESCO tidak sejalan dengan kepentingan nasional Amerika Serikat.”

Begitu kata Heather Nauert, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, saat mengumumkan pengunduran diri Amerika dari UNESCO pada 22 Juli. Kalimat itu terdengar rapi dan diplomatis, nyaris tak ada yang mencurigakan—kecuali jika kita mau membaca ulang dengan nalar dan nurani. Sebab, kalau urusannya soal “kepentingan nasional”, maka pertanyaannya bukan hanya apa yang penting bagi AS, tapi juga siapa yang jadi korbannya.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Masalahnya sederhana: UNESCO mengakui Palestina sebagai negara anggota penuh. Itu saja. Bagi sebagian besar dunia, itu keputusan yang masuk akal, bahkan telat. Tapi bagi Washington, itu pelanggaran. Mengapa? Karena Palestina yang diakui berarti zionis dipersalahkan. Dan bila zionis mulai dikritik, maka urat sensitif Amerika mulai berdenyut—siaga penuh, dana dihentikan, keanggotaan dicabut, dan label “bias anti-Israel” pun diluncurkan seperti peluru kendali diplomatik.

Inilah dunia yang kita huni hari ini: di mana lembaga yang mengurusi warisan budaya, pendidikan, dan ilmu pengetahuan bisa dianggap mengancam hanya karena berani berkata bahwa Ibrahimi Mosque di Hebron adalah situs warisan Palestina. Ironis? Tentu. Tapi lebih dari itu, ini adalah pameran vulgar tentang bagaimana kebenaran dikorbankan di altar kekuasaan dan lobi politik.

Kita harus jujur, Amerika Serikat sudah lama tak nyaman dengan organisasi internasional yang tak sepenuhnya patuh. Mereka mencurigai Dewan HAM PBB, menghentikan dana untuk UNRWA, dan sekarang kembali mundur dari UNESCO. Dan alasannya selalu serupa: karena “tidak adil terhadap Israel.” Rasanya, dunia harus segera mengubah standar keadilan internasional menjadi “tidak menyakiti perasaan Tel Aviv”.

Lebih jauh, langkah ini menandai satu hal yang jauh lebih penting ketimbang sekadar tarik-ulur keanggotaan: Amerika tak bisa lagi dianggap sebagai rujukan moral dunia. Negeri yang dulu menyebut dirinya sebagai pelindung demokrasi kini malah menjadi penjaga gerbang bagi segala bentuk kekebalan hukum zionis. Dunia barangkali masih pura-pura sopan, tapi publik yang jeli tahu bahwa kemanusiaan dan moralitas sudah lama dicampakkan dari ruang rapat Gedung Putih—kecuali kalau sedang dipakai untuk membenarkan invasi.

Bayangkan, UNESCO bukan lembaga yang mengurus senjata atau konflik militer. Ia berbicara soal warisan, soal literasi, soal pelestarian nilai-nilai kemanusiaan lintas peradaban. Tapi bahkan itu pun dianggap terlalu berbahaya, hanya karena lembaga ini menolak menutup mata terhadap kenyataan bahwa Palestina juga punya sejarah, budaya, dan hak untuk diakui. Di sinilah absurditas itu mencapai klimaks: bahwa membela fakta pun sekarang bisa dianggap tindakan politis.

Dan kalau ada yang masih bertanya, mengapa Palestina tak kunjung merdeka, maka inilah salah satu jawabannya: karena bahkan pengakuan simbolik pun dijegal habis-habisan. Bahkan di meja yang hanya membahas situs sejarah, nama mereka dianggap tabu. Bahkan ketika mereka bicara tentang literasi, mereka dibungkam dengan retorika tentang “bias”. Barangkali nanti, ketika Palestina mencoba ikut festival kuliner pun, akan dituduh menyelundupkan propaganda lewat hummus.

Indonesia, negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, seharusnya sudah lama berhenti bersikap netral dalam absurditas semacam ini. Kita tak bisa terus bersalaman dengan semua orang sambil berpura-pura tak melihat siapa yang sedang dicekik di sudut ruangan. Kedaulatan Palestina bukan sekadar isu Timur Tengah. Ia adalah barometer kemanusiaan global, ukuran apakah dunia ini masih punya rasa malu ketika kejahatan dibela terang-terangan, dan korban didepak diam-diam.

Apalagi jika kita bicara dari hati—bukan sekadar dari podium diplomasi. Bayangkan sebuah bangsa yang bahkan haknya untuk masuk ke UNESCO pun dijadikan bahan tawar-menawar. Ini bukan soal kebijakan luar negeri. Ini soal hak untuk diakui sebagai manusia. Dan ketika penguasa dunia mulai menentukan siapa yang boleh menjadi manusia dan siapa yang harus diam, maka kita bukan lagi hidup dalam tatanan global, tapi dalam tirani global.

Amerika mungkin masih punya nuklir dan veto, tapi itu tak berarti ia punya hak atas kebenaran. Fakta bahwa AS ingin tetap hadir sebagai “pengamat non-anggota” di UNESCO juga menunjukkan betapa munafiknya sikap mereka: ingin tetap memengaruhi arah lembaga, tapi tak mau tunduk pada konsensus bersama. Inilah model kekuasaan yang ingin duduk di meja makan, tapi tak mau ikut urunan. Bahkan maling ayam di kampung pun tahu malu lebih dari itu.

Dunia seharusnya melihat ini sebagai momentum. Bahwa barangkali sudah waktunya menggugat ulang siapa yang sebenarnya pantas memimpin wacana global. Sebab, jika negara yang paling berkuasa justru menjadi sponsor dari ketidakadilan, maka diamnya negara-negara lain hanya akan mempercepat pembusukan nilai-nilai kemanusiaan yang tersisa.

Kalau pun ada yang bisa disimpulkan dari langkah AS ini, mungkin satu hal saja: mereka tak lagi bisa menyembunyikan wajah aslinya. Pembelaan mereka terhadap zionis tak lagi berlapis bahasa halus atau retorika HAM. Kini terang-benderang: jika kau bicara tentang Palestina, maka siap-siap dibilang bias. Jika kau menyebut nama Hebron, maka siap-siap diserang dana. Dunia sedang diajari bahwa kebenaran itu boleh ada, asal jangan terlalu keras.

Dan kita semua harus memilih. Apakah ingin jadi bagian dari barisan mereka yang diam demi aman, atau mereka yang bersuara demi benar. Sebab, sebagaimana kata orang bijak: yang membuat dunia ini rusak bukan karena banyaknya orang jahat, tapi karena terlalu banyak orang baik yang memilih tutup mulut.

Dan AS? Ia mungkin bisa keluar dari UNESCO, tapi tak akan bisa keluar dari catatan sejarah. Karena sejarah—tidak seperti lobi politik—tidak bisa disogok.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer