Connect with us

Opini

Yang Membunuh di Gaza Bukan Hanya Israel, Tapi Juga Kita

Published

on

Pada sebuah titik di peta yang kini lebih banyak ditandai oleh puing dan darah daripada oleh garis demarkasi, seorang anak kecil ditembak ketika sedang antre roti. Ia tidak punya senjata. Tidak tahu apa itu Zionisme. Tidak hafal pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa. Ia cuma tahu perutnya lapar. Tapi bagi tentara dengan pelat militer dan klaim moral superior dari “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah,” kelaparan adalah bentuk ancaman. Maka peluru pun jadi jawaban.

Sejak 27 Mei hingga 7 Juli 2025, 798 nyawa melayang saat berusaha mencari makanan di Gaza. Bukan saat menyerang, bukan ketika berperang, tapi saat mencari gandum dan nasi. Angka itu lebih besar dari kapasitas stadion Kanjuruhan saat tragedi. Tapi kali ini tak ada gas air mata. Yang ada peluru tajam. Disorot dari drone. Ditembak di kepala. Dan entah kenapa dunia masih berdiskusi apakah itu pantas disebut kejahatan perang atau hanya “kesalahan prosedural”.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Apa yang sebenarnya dibela oleh negara yang mengaku jadi simbol peradaban modern itu? Bukankah seharusnya peradaban diukur dari bagaimana kita memperlakukan mereka yang lemah, bukan dari kecepatan rudal atau teknologi pemetaan target? Tapi tampaknya Gaza telah menjadi laboratorium eksperimental bagi distopia masa depan. Di sana, kehidupan manusia diuji batasnya: seberapa jauh mereka bisa menderita tanpa dunia merasa perlu bereaksi.

Dan dunia, mari kita beri dia tepuk tangan paling sarkastik. Dunia yang gemar berkicau soal demokrasi, hak asasi, dan kemanusiaan, kini menjelma menjadi komunitas internasional yang amat komunitatif dalam satu hal: diam seribu bahasa. PBB merilis pernyataan kecaman. Lembaga hak asasi menggelengkan kepala. WHO kehabisan kata-kata. Tapi itu saja. Tidak ada embargo. Tidak ada sanksi. Tidak ada penarikan duta besar. Tidak ada pasukan perdamaian. Dunia menonton dengan sopan, mencatat dengan rapi, dan tidur nyenyak.

Sementara itu, di tanah bernama Gaza, 183 orang mati ditembak di jalanan, hanya karena ingin mengejar truk bantuan. Apakah mereka para kombatan? Tidak. Mereka hanya manusia. Tapi manusia, jika lahir di tempat yang tidak sesuai dengan agenda geopolitik, tampaknya tidak cukup manusia untuk layak hidup. Bahkan binatang pun mungkin mendapat lebih banyak pembelaan jika seekor anjing tertembak karena mengejar makanan.

Dan Anda tahu apa yang lebih mengerikan dari peluru? Adalah diamnya kita semua. Diam yang beralasan. Diam yang diplomatis. Diam yang sibuk dengan urusan dalam negeri. Diam yang memilih scrolling TikTok daripada menyebut satu kutukan kecil terhadap kejahatan terang-terangan. Diam yang merasa tidak cukup paham konflik, lalu memilih tidak bersuara, seakan membela yang tertindas harus menunggu gelar PhD dulu. Diam yang merasa “itu urusan sana, bukan urusan kita.” Diam yang membuat para pembunuh bisa tidur nyenyak, karena mereka tahu: dunia akan diam.

Maka izinkan saya katakan dengan terang: kita juga para pembunuh. Bukan dengan senjata, tapi dengan pembiaran. Kita membunuh setiap kali kita melihat foto anak dengan kepala terbuka, dan cukup menekan tombol like tanpa satu pun kalimat murka. Kita membunuh setiap kali kita menghindari pembicaraan soal Palestina karena “sensitif”, atau karena takut kehilangan audiens. Kita membunuh ketika kita menyebut genosida ini sebagai “konflik kompleks” — seolah membunuh orang kelaparan adalah produk dari kompleksitas, bukan kekejaman murni.

Dan Israel? Ah, negara kecil yang katanya selalu berada dalam ancaman. Negara yang katanya paling demokratis, tapi membunuh anak-anak tiap hari lalu menyalahkan orang tua mereka karena melahirkannya. Negara yang menciptakan sistem apartheid, lalu menuduh semua pengkritiknya sebagai antisemit. Negara yang bisa membom rumah sakit, sekolah, dan pusat distribusi makanan, dan tetap disambut hangat di forum-forum internasional. Luar biasa. Sungguh, jika ada olimpiade kemunafikan global, mereka tak hanya jadi peserta, tapi jadi panitia dan juri sekaligus.

Haaretz membongkar kesaksian tentara mereka sendiri: bahwa memang diperintahkan untuk menembaki warga sipil di titik distribusi makanan. Tidak karena ancaman. Tidak karena senjata. Tapi karena ingin “menghalau mereka”. Menghalau mereka dari hidup, tampaknya. Dan para tentara itu, beberapa bahkan tampak merayakan hasil tembakannya. Layaknya orang menembak target dalam permainan arcade. Bedanya, ini bukan game. Ini darah sungguhan.

Laporan Associated Press menyebutkan bahwa kontraktor Amerika yang membantu operasi kemanusiaan melihat langsung penggunaan peluru tajam, granat kejut, dan semprotan merica terhadap mereka yang antre bantuan. Dalam beberapa video, terdengar sorak-sorai saat seseorang tertembak. Ini bukan film fiksi. Ini bukan “The Hunger Games”. Ini kenyataan. Dan dunia membiarkannya.

Di Indonesia, kita sibuk ribut soal siapa yang layak jadi influencer dan siapa yang tidak boleh naik mimbar. Di kafe-kafe, diskusi hangat tentang gaya hidup minimalis dan tren kopi fermentasi terus berputar. Tapi jarang yang membahas bagaimana satu anak di Gaza mati setiap sepuluh menit, menurut UNICEF. Barangkali karena itu terlalu berat untuk feed yang estetik. Terlalu “politik”. Terlalu “membebani energi positif”.

Tapi tolonglah, bahkan jika kita tidak bisa mengangkat senjata, bahkan jika kita tak bisa kirim bantuan, setidaknya bersuaralah. Teriak. Kutuk. Tulis. Kirim pesan. Gerakkan nurani. Jangan beri dunia ini kenyamanan untuk menganggap bahwa darah Palestina bisa mengering tanpa perlawanan.

Karena jika semua ini berlalu dan kita hanya jadi penonton, maka kelak ketika anak-anak kita bertanya: “Ayah, Ibu, apa yang kalian lakukan ketika genosida itu terjadi?”

Apakah kita akan jawab: “Kami tidak tahu harus berkata apa-apa.”

Atau kita bisa jawab, dengan suara tegas, “Kami bersuara. Kami melawan. Kami tidak diam.

Gaza tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh keadilan. Dan kita, setiap orang dari kita, bertanggung jawab — bukan hanya atas apa yang kita lakukan, tetapi juga atas apa yang kita biarkan terus terjadi.

1 Comment

1 Comment

  1. Mustofa Jufri

    18 Juli 2025 at 08:40

    Tulisan yg berakar fakta sosial dan menggelitik psikologis

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer