Opini
Yang Gagal Bukan Perlawanan, Tapi Pendudukan

“Bahkan jika hanya tiga anggota Hamas yang tersisa, mereka akan membentuk sel baru dan melancarkan serangan.”
Kalimat itu tidak datang dari seorang aktivis solidaritas Palestina. Bukan pula kutipan dari pidato perlawanan di reruntuhan Gaza. Kalimat itu keluar dari mulut Ilan Segev, mantan pejabat senior Shin Bet—badan keamanan dalam negeri Israel. Disampaikan di siaran resmi milik negeri penjajah, Kan 11. Nyaring. Tanpa sensor. Seolah ingin menyatakan sesuatu yang selama ini dijaga agar tidak keluar dari ruang-ruang rapat: bahwa proyek penghancuran Hamas adalah ilusi yang dijual mahal, dan sekarang mulai busuk sebelum kadaluarsa.
Lama-lama, publik Israel tampaknya lelah jadi konsumen utama ilusi nasional. Kata Segev, mari berhenti menjual omong kosong soal “disarmament Hamas” dan “perdamaian melalui kekuatan.” Mari berhenti menipu diri sendiri. Jika mantan aparat keamanan bisa berkata seperti itu di depan kamera, maka jelas ada krisis kepercayaan di tubuh elit sendiri. Bukan kepada Hamas, tentu saja, tapi kepada janji-janji kekuasaan yang mengklaim mampu menumpas perlawanan hanya dengan bom, drone, dan tentara cadangan.
Ironisnya, mereka yang membangun negara atas nama “keamanan Yahudi” kini tak yakin bisa menjamin keamanan dirinya sendiri. Apa yang terjadi ketika pendudukan gagal meyakinkan bahkan penduduknya sendiri bahwa kemenangan itu mungkin? Jawabannya: absurditas demi absurditas yang terus dipelihara, disokong oleh anggaran tak masuk akal dan retorika yang mulai kedodoran.
Lihat saja Gaza. Sudah lebih dari sembilan bulan dibombardir, disesaki puing, mayat, dan kelaparan. Tapi tetap saja, kelompok-kelompok perlawanan Palestina masih bisa menembakkan mortir, menjebak tank, dan menghantam markas komando pasukan penjajah. Di Khan Younis, al-Qassam, al-Quds, hingga al-Nasser Salah al-Din masih menorehkan luka demi luka pada pasukan yang katanya terbaik di kawasan. Jika ini bukan kegagalan strategi, entah apa lagi namanya.
Pemerintah Israel—seperti juga sponsor imperialisnya di Barat—tahu betul bahwa kekuatan Hamas dan faksi perlawanan bukan terletak pada jumlah senjata atau bunker bawah tanah. Kekuatan mereka adalah pada kenekatan, pada perasaan tidak punya apa-apa untuk dipertahankan kecuali tanah, martabat, dan keyakinan. Melawan penjajah dengan roket rakitan memang terdengar konyol. Tapi lebih konyol lagi jika penjajah mengira bisa menumpas perlawanan dengan mengebom rumah sakit dan kamp pengungsi.
Sementara itu, para sandera Israel pun mulai merasakan pahitnya blokade yang mereka sendiri dukung. Video tawanan Evyatar David yang kurus kering menjadi bukti nyata: penderitaan tidak lagi punya batas negara. Di Gaza, tak ada pengecualian untuk kelaparan. Bahkan tahanan pun ikut dicabik oleh blokade yang seharusnya membuat mereka “diselamatkan.” Di titik ini, absurditas benar-benar mencapai klimaks: Israel membombardir Gaza dengan dalih menyelamatkan sandera, tapi akibatnya, para sandera pun kelaparan dan sekarat.
Salah siapa? Hamas? Perlawanan? Atau para elite yang lebih mementingkan citra daripada keselamatan warganya sendiri?
Di tengah reruntuhan yang tak pernah usai, para jurnalis ekonomi Israel mulai menyadari bahwa perang ini bukan hanya kekalahan moral, tapi juga bencana fiskal. Angka resmi menyebut biaya perang sudah menyentuh 300 miliar shekel—sekitar 80 miliar dolar. Dan para analis curiga angka sebenarnya jauh lebih tinggi. Bayangkan, 80 miliar dolar untuk menghancurkan sebuah wilayah kecil yang bahkan tak punya angkatan udara, tak punya kapal selam, tak punya jet tempur. Tapi tetap tak kunjung tunduk. Ada yang salah. Tapi bukan pada mereka yang melawan.
Lebih menyedihkan lagi, 21,8% dari seluruh anggaran nasional Israel pada 2025 dipakai untuk urusan militer. Itu belum termasuk hutang negara yang menumpuk. Ketika hampir seperempat kekayaan negara dikuras untuk perang yang tak kunjung dimenangkan, maka pertanyaannya bukan lagi soal strategi, melainkan soal akal sehat. Tapi ya begitulah, kadang ketakutan membuat kita rela membakar seluruh harta agar bisa tidur di atas abu.
Dan jangan lupa, jika benar Israel ingin menduduki Gaza kembali secara penuh, maka mereka harus menyediakan bukan hanya tentara, tapi juga guru, dokter, tukang ledeng, dan petugas kebersihan. Mereka harus mengurus pembuangan limbah, suplai makanan, dan kurikulum sekolah. Karena menduduki berarti mengatur. Mengatur berarti bertanggung jawab. Dan bertanggung jawab berarti tidak bisa lagi berlindung di balik propaganda “mereka yang memulai duluan.” Menjajah itu mahal, Bung.
Tapi mungkin memang tak semua hal bisa dihitung dengan kalkulator. Karena bagi sebagian orang di Tel Aviv, Yerusalem, atau bahkan Washington DC, kegagalan pendudukan bukanlah karena tak bisa menaklukkan rakyat. Tapi karena rakyat itu terlalu percaya diri, terlalu keras kepala, terlalu tidak tahu diri untuk tunduk. Maka solusinya, seperti biasa, adalah lebih banyak bom, lebih banyak senjata, lebih banyak retorika “perang melawan teror.”
Narasi seperti ini tentu mudah ditelan bagi mereka yang melihat Palestina dari layar televisi—jauh dari suara sirene, reruntuhan masjid, dan tangis anak-anak yang kehilangan seluruh keluarganya. Tapi di Gaza, cerita itu punya wujud nyata. Ada daging dan darah di balik statistik. Ada tekad yang tak bisa dibungkam, bahkan oleh 80 miliar dolar dan satu dunia yang bungkam.
Di Indonesia, kita pun seharusnya tak terlalu nyaman menjadi penonton pasif dari kegagalan kolonial ini. Sebab di negeri ini, kita masih menjunjung tinggi semangat kemerdekaan, masih mengutuk penjajahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Lalu bagaimana bisa kita diam saat penjajahan itu masih berlangsung, disiarkan langsung, bahkan didanai oleh mereka yang mengaku sebagai penjaga peradaban?
Ilan Segev sudah memberi isyarat. Seolah ingin berkata, “Kami sudah mencoba segalanya, tapi perlawanan tak bisa dimusnahkan.” Maka jika yang gagal bukan perlawanan, tak bisakah kita berani menyebut nama kegagalan itu apa adanya?
Namanya: pendudukan.
Dan mungkin sudah saatnya dunia belajar menerima kenyataan itu, meski pahit. Karena yang terlalu percaya pada ilusi, biasanya akan tersandung pada kenyataan. Dan saat kenyataan itu adalah Gaza yang tak bisa dikalahkan, maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menyerah pada akal sehat—atau terus membayar mahal untuk kegagalan yang semakin memalukan.
Sumber: