Opini
Yaman Tak Tergoyahkan: Perlawanan yang Menggetarkan Dunia

Langit Sanaa berubah menjadi neraka pada 27 Maret 2025—17 serangan udara AS menghantam distrik Tahrir dan Qiyada, serta Bandara Internasional Sanaa, untuk malam kedua berturut-turut. Rumah-rumah hancur, toko-toko terbakar, dan darah rakyat Yaman membanjiri trotoar. Namun, Ansarullah Yaman tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan rudal Zulfiqar ke Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, seakan menegaskan bahwa mereka tidak akan menyerah. Dengan jet tempur F-35 seharga 80 juta dolar per unit, AS mengira akan membuat Yaman tak berdaya. Namun kenyataannya, 70 bom dalam 24 jam justru membuat mereka semakin gigih.
Pada hari yang sama, Donald Trump, dengan keyakinan penuh, naik mimbar dan menyatakan, “Serangan kami sukses melebihi ekspektasi!” Namun, sukses dalam hal apa? Menghancurkan rumah sakit di Saada, membakar pasar di Hodeidah, atau membunuh 12 anak di Al-Jawf? Sementara itu, Ansarullah Yaman merespons dengan meluncurkan rudal hipersonik Palestine-2 dan menyerang kapal perang AS di Laut Merah. “Kami siap menghadapi ini dalam waktu lama,” ujar mereka. Yaman telah bertahan selama satu dekade melawan serangan koalisi Saudi—3.650 hari penuh penderitaan, 400 ribu nyawa melayang, dan 4 juta anak mengalami kelaparan, menurut laporan PBB. Dengan fakta seperti ini, siapa yang sebenarnya lebih kuat?
Ironinya, AS dan Inggris yang memiliki anggaran militer gabungan sebesar 900 miliar dolar per tahun, kini berperang melawan negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 21 miliar dolar—lebih kecil dari pendapatan tahunan seorang bintang pop dunia. Namun, dengan drone rakitan sederhana dan persenjataan seadanya, Ansarullah berhasil memblokir Selat Bab al-Mandab. “Untuk Gaza,” teriak mereka, sementara para pemimpin Arab lainnya hanya mengirim pernyataan keprihatinan. Mengapa Yaman begitu gigih membela Palestina? Karena mereka memahami derita kelaparan—24 juta penduduknya membutuhkan bantuan pangan, dan 80 persen anak-anaknya mengalami kekurangan gizi, menurut Program Pangan Dunia (WFP). Situasi ini mengingatkan mereka pada Gaza yang dikepung oleh zionis.
Keyakinan ini bukan sekadar politik. Mazhab Zaidiyah, yang telah mereka anut sejak abad ke-9, memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap kekuatan asing. Mereka tidak identik dengan Syiah Iran, tetapi satu hal yang pasti: mereka menolak dominasi AS dan zionis. Pada 28 Maret, Abdul Malik al-Houthi menyampaikan pidato, “AS berusaha menghancurkan solidaritas Palestina.” Ia mengingatkan bahwa lebih dari 15 ribu anak di Gaza telah tewas sejak Oktober 2023, dengan total korban mencapai 35 ribu jiwa, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Bayi-bayi dibom di inkubator, mengingatkan pada 5 ribu anak Yaman yang meninggal akibat kelaparan sejak 2015, menurut UNICEF. Dunia hanya menyebutnya sebagai tragedi, tetapi Yaman memilih bertindak.
Di jalanan Sanaa, Saada, dan Al-Jawf, jutaan rakyat Yaman turun ke jalan pada Jumat 28 Maret, meski serangan udara terus berjatuhan. “Kami tidak akan tunduk!” teriak mereka. AS mengklaim serangan mereka hanya menargetkan fasilitas militer, tetapi kenyataannya, 70 persen bom menghancurkan rumah penduduk, pasar, dan rumah sakit. Data dari OCHA menunjukkan bahwa sejak 2015, lebih dari 100 ribu rumah rusak dan 4 juta orang menjadi pengungsi di dalam negeri. Ini bukan sekadar perang senjata, tetapi juga perang tekad. Yaman mungkin miskin—80 persen rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan—tetapi keberanian mereka tidak bisa dibeli.
Secara strategis, Selat Bab al-Mandab adalah senjata utama Yaman. Sekitar 10 persen perdagangan dunia melewati jalur ini, dengan nilai mencapai 1 triliun dolar, menurut IMF. Dengan memblokir kapal-kapal Israel, mereka membuat Barat panik. Dalam sebulan, 10 kapal rusak, menyebabkan kerugian 500 juta dolar, menurut Lloyd’s List. Sementara itu, Mesir tetap menjaga Terusan Suez demi pendapatan 9 miliar dolar per tahun. Arab Saudi, yang telah menghabiskan lebih dari 100 miliar dolar untuk membeli senjata AS, tetap berhati-hati menghadapi Yaman.
Selama sepuluh tahun terakhir, perang yang dilancarkan Saudi sejak 2015 gagal menghancurkan Ansarullah. Koalisi telah menghabiskan 300 miliar dolar—jumlah yang cukup untuk membeli 3 juta unit mobil listrik—namun Yaman, dengan persenjataan sederhana, tetap bertahan. Kini, AS mencoba strategi baru dengan meningkatkan serangan—70 serangan udara per hari dan lebih dari 500 ton TNT dijatuhkan—tetapi rudal Yaman ke Israel justru semakin akurat. Setiap bom yang dijatuhkan AS, dengan biaya 1 juta dolar per unit, hanya semakin memperkuat kebencian rakyat Yaman. “Kalian tidak akan berhasil,” kata al-Houthi, dan fakta di lapangan membuktikannya—15 serangan terhadap kapal-kapal Barat berhasil dilakukan sejak Januari, menurut Angkatan Bersenjata Yaman.
Ansarullah memang bagian dari Poros Perlawanan yang mencakup Iran, Hizbullah, dan kelompok Syiah di Irak, tetapi mereka bukan sekadar perpanjangan tangan Teheran. Solidaritas mereka dengan Gaza bukan karena perintah Iran, melainkan panggilan hati. Di Gaza, 2 juta penduduk terperangkap, 90 persen tidak memiliki akses air bersih, dan 60 persen rumah telah hancur, menurut WHO. Yaman memahami penderitaan itu, karena mereka juga mengalami hal serupa—50 persen penduduknya tidak memiliki sanitasi layak, dan 90 persen listrik mati, menurut OCHA. Negara-negara lain mungkin hanya menyelenggarakan seminar dan mengirim donasi 10 juta dolar, tetapi Yaman mengirim drone dan rudal.
Lihat perbandingannya: Arab Saudi memiliki pendapatan minyak 700 miliar dolar per tahun, tetapi tetap bergantung pada AS. Tahun 2024 saja, mereka menandatangani kontrak senjata senilai 50 miliar dolar, menurut SIPRI. Mesir, dengan utang 165 miliar dolar kepada IMF, lebih memilih diam dalam isu Gaza. Uni Emirat Arab sibuk membangun megaproyek baru, sementara pemimpinnya berfoto dengan Netanyahu. Di sisi lain, Yaman, meski tanpa sumber daya besar, tetap teguh dalam perlawanan. AS bisa mengirimkan pesawat tempur seharga 2 juta dolar per unit dan mengoperasikan 800 pangkalan militer di seluruh dunia, tetapi mereka tidak bisa membeli keberanian.
Sejarah Yaman penuh dengan luka—dari penjajahan Inggris di Aden, perang saudara, hingga agresi Saudi. Namun, setiap pukulan justru membuat mereka semakin kuat. Pada 21 September 2014, revolusi Ansarullah berhasil menguasai Sanaa, meski harus menghadapi koalisi sembilan negara. Ketahanan mereka bukan sekadar militansi, tetapi juga warisan sejarah. Mazhab Zaidiyah mengajarkan ketabahan, dan mereka berpegang pada keyakinan bahwa perjuangan harus terus berlanjut. Seperti yang disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 153: “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” AS mungkin memiliki teknologi canggih, tetapi waktu berpihak pada Yaman.
Ironisnya, AS dengan 5.000 hulu ledak nuklir dan lebih dari satu juta tentara, kini berhadapan dengan Yaman yang 90 persen wilayahnya mengalami pemadaman listrik dan kekurangan tenaga medis, menurut WHO. Namun, Ansarullah tidak sekadar bertahan—mereka terus berjuang dengan keyakinan bahwa kemenangan bukan sekadar tentang menguasai medan perang, tetapi mempertahankan martabat. Mungkin inilah makna sebenarnya dari kata ‘tak tergoyahkan’—dan Yaman membuktikannya dengan setiap langkahnya.